Cahaya
Lilin dalam Gelap
Mohamad Sobary ;
Esais, Anggota Pengurus
Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 12 Agustus 2014
Makin berbeda, makin jelas
di mana titik-titik persamaan kita (Gus Dur)
Gus Dur itu ibarat orang yang menyalakan lilin dalam kegelapan.
Banyak aspek kebudayaan kita gelap. Struktur kehidupan sosial-politik kita
juga gelap.
Pertama, penguasa otoriter, dan mereka yang masih tetap
bertangan besi, kelihatan jelas ingin hidup seenaknya seperti di zaman
kegelapan beberapa abad yang lalu. Kedua, kelompok- kelompok sosial
keagamaan— terutama para pembawa misi perjuangan agama, yang membolehkan
sikap dan tingkah laku serbakeras dan memuja kekerasan— tampak makin terbuka
untuk mendominasi kehidupan, seolah hidup ini milik mereka sendiri.
Di tengah proses di mana hidup makin tertata secara terbuka dan
adil serta manusiawi banyak kekuatan budaya, kekuatan kemasyarakatan, dan
politik, yang merasa bersukacita hidup dalam kegelapan etis maupun
kemanusiaan, seolah fajar baru kemanusiaan di zaman ini bukan hanya tak
memengaruhi mereka, melainkan bahwa dengan sengaja mereka musuhi. Pagi ini
ada sebuah media yang mengenang kembali Gus Dur.
Karikaturnya, yang khas Gus Dur, ditampilkan di bawah penjelasan
”Mengenang Gus Dur”. Ungkapan bijaknya dikutip kembali: ”Agama melarang ada
perpecahan, bukan perbedaan”. Ada penjelasan tambahan: Gus Dur dikenal
sebagai tokoh bangsa yang memberikan tempat lebih layak bagi kaum minoritas
di Indonesia. Kata ”dikenal” di sini sebuah ”kredit” yang diberikan
kepadanya.
Tapi, kelihatannya, ini ”kredit kecil” atau hanya berskala
”menengah”, yang jelas tak disengaja, malah ”mendegradasikan” apa yang dapat
kita sebut ”life achievement” Gus
Dur. Lain soal bila di sana disebutkan: Gus Dur merupakan tokoh bangsa yang
berdiri di garis paling depan, sejauh menyangkut pembelaannya untuk memberi
tempat lebih layak bagi kaum minoritas di negeri ini.
Komentar ini bukan hanya sekadar berbicara mengenai ”tata
bahasa” dan cara memberinya apresiasi, melainkan mengenai makna penghormatan
yang— sekali lagi jelas tak dimaksudkan— untuk malah mengurangi arti
perjuangannya di bidang keadilan budaya, hukum, dan politik yang kejam
terhadap kaum minoritas. Kita tahu, selain Gus Dur, dalam perjuangan itu ada
juga Cak Nur, orang saleh, militan, dan tulus berbicara mengenai keadilan,
demokrasi, dan kemanusiaan.
Platform Cak Nur membela ”nilai-nilai” dan tak pernah bicara membela
teman, golongan, atau kelompok-kelompok dalam masyarakat yang bisa saja
salah. Tapi, perjuangan dan pemihakan terhadap nilai-nilai tidak. Cak Nur
sering terlalu lembut, hati-hati, dan bijaksana yang bisa saja menyembunyikan
suatu rasa takut tertentu. Gus Dur keras, berani sekali, sering sangat tidak
hati-hati, dan lebih sering kelihatan nekat.
Tapi, nekat di sini bukan fenomena psikologi massa yang
menggambarkan sikap kehilangan ”kepala”, tidak rasional, dan ”kalap”. Gus Dur
sangat berani dan nekat dengan perhitungan; siapa berani menangkap ”panglima”
umat yang jumlahnya maharaksasa di bumi kita ini? Kalau sudah sampai di sini,
apa yang nekat tadi sebetulnya bukan nekat, apa lagi ”kalap”, melainkan sikap
yang didasarkan pada perhitungan politik yang sangat cermat, sangat rasional.
Dia menikmati suasana psikologi politik menjadi orang
”pemberani” yang bisa diberi penghormatan ”dies
only once”, dan penuh keagungan, bukan ”pengecut” yang sebutannya ”dies many times”, dan mungkin penuh
keresahan. Dia bilang, seorang pemberani itu bukan orang yang tak pernah
mengenal takut.
Pemberani itu orang yang juga takut, tapi bisa mengelola
ketakutannya sedemikian rupa dengan perhitungan dan strategi sehingga
ketakutannya kalah. Salah satu keberaniannya yang tak mungkin kita lupakan
karena tak ada seorang pun yang mau melakukannya saat itu dalam suasana
mencekam, penuh teror dan ketakutan, pada Jumat pekan pertama setelah terjadi
apa yang kita kenal sebagai peristiwa Tanjung Priok pada 1985.
Tidak ada khatib pada salat Jumat yang saat itu berani naik
mimbar karena dipelototi tentara dan intel yang ganas. Tapi, Gus Dur tampil.
Mungkin atas persetujuan Pak Benny Moerdhani atau ber-dasarkan sikap lain.
Gus Dur pun naik mimbar dan memberi apresiasi pada sikap dan perjuangan Amir
Biki dan anak buahnya.
Tapi, Gus Dur juga mengkritik mereka sebagaimana tampak dalam
buku Jejak Guru Bangsa: Meneladani Kearifan Gus Dur, yang saya tulis dan
diterbitkan Gramedia pada 2010. Di sana Gus Dur mengatakan, berjuang tidak
cukup hanya dengan keberanian, tapi harus juga mengingat perlu saling
menimbang nasihat yang bijak dan di atas segalanya berjuang itu juga perlu
kesabaran. Pada mulanya Gus Dur juga gentar kalau tiba-tiba ditembak di atas
mimbar. Tapi, itu tak terjadi, kita tahu itu. Turun mimbar dengan selamat
membuatnya lega.
Tokoh-tokoh Islam Tanjung Priok lega, tentara lega,
intel juga lega atas langkah berani yang bijak itu. Kita semua tahu Gus Dur
tak pernah ragu sedikit pun, menaruh dirinya di dalam banyak kemungkinan
risiko tak mengenakkan, yang tempo hari, pada 1990-an, dilempari banyak
tuduhan: agen Yahudi, kadang-kadang ”agen Israel”, yang keduanya kurang lebih
sama. Sikap populisnya yang jelas dan berwarna ”pluralis”, yang memberi
tempat lebih layak pada kaum minoritas seperti disebut tadi.
Sejumlah tokoh Islam sendiri ada yang tak memahami sikap dan perjuangannya,
ada yang curiga, ada yang marah, ada juga yang memprotes karena terlalu baik
hati pada kaum minoritas dan sering sangat keras kepada anak-anaknya sendiri,
golongan Islam. Gus Dur mendengarkan semua itu bukan untuk menurutinya,
melainkan untuk mencari celah di mana kelemahan argumen mereka.
Gus Dur menikmati perdebatan karena dia tahu perdebatan itu
jalan menemukan titik persamaan. Tapi, yang terpenting, perdebatan itu proses
pendewasaan umat. Dia sangat sadar bahwa di dalam perjuangan keumatan di
dalam NU maupun Islam pada umumnya tak banyak tokoh yang terlalu peduli,
apalagi dengan serius, untuk menjadikan diskursus di bidang ini sebagai
kapital mengembangkan diskursus ”Islam dan demokratisasi”. Ini wilayah ” tak
terjamah” seperti lahan ”tidur” yang tak digarap siapa pun. Para tokoh lain
berbeda cara melihatnya.
Gus Dur suka akan perbedaan macam itu. Baginya, makin berbeda
makin jelas di mana titik-titik persamaan kita seperti dikutip di atas. Dia
pun tak takut akan kegelapan sebab dia bisa menyalakan lilin yang bisa
meneranginya. Bagi negeri ini, dia mungkin ibarat ”cahaya lilin dalam gelap”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar