Potensi
IS di Indonesia
Muhammad Ja’far ;
Pengamat Politik Timur
Tengah
|
KORAN
TEMPO, 12 Agustus 2014
Dilihat dari dimensi mana pun, baik teologis, ideologis,
sosiologis, antropologis, maupun kultural, gerakan Islamic State of Iraq and
al-Sham (ISIS)-selanjutnya disebut Islamic State (IS)-sebenarnya tidak
memiliki relevansi untuk tumbuh di Indonesia. Jika nyatanya IS berhasil
menanamkan pengaruhnya di negeri ini, hal itu menandakan dua hal. Pertama,
bangsa ini sedang mengalami krisis di kelima dimensi tersebut sehingga dengan
mudahnya terinfiltrasi oleh pengaruh ekstremisme IS. Kedua, pada saat yang
sama, tingkat antisipasi pemerintah sangat lemah sehingga gagal mencegah
masuknya pengaruh tersebut.
Secara ideologis-teologis, gradasi ekstremisme IS berada di sisi
yang paling ekstrem dari paham takfirisme. Mereka tak hanya tidak mengakui
eksistensi keimanan dan keislaman yang lain (kafir), tapi juga merasa
memiliki hak untuk merenggut hak hidup orang lain. Di Irak, setelah menguasai
sebuah wilayah, IS memberi tiga pilihan kepada "yang selain
mereka": beralih agama menjadi Islam, membayar pajak, atau keluar dari
wilayah kekuasaannya. Pilihan itu ditujukan pada penganut Kristen, muslim
Sunni, dan Syiah.
Secara organisatoris, kelahiran IS masih memiliki tautan dengan
Al-Qaidah, meski berbeda target. IS lebih berorientasi pada okupasi wilayah
bagi proses pembentukan negara Islam global. IS memulai perjuangannya dari
Suriah melalui rencana awal menumbangkan kekuasaan Bashar Assad, Presiden
Suriah. Suriah menjadi titik kumpul para "jihadis"-demikian mereka
kerap menyebut dirinya-dari berbagai negara. Dari kawasan Timur Tengah (Arab
Saudi, Kuwait, Qatar, Turki, Yordania), Eropa (Inggris, Prancis, Amerika
Serikat), hingga warga negara Indonesia sendiri. Inilah proses terjadinya
"gelombang keberangkatan".
Seharusnya, sejak "gelombang keberangkatan" ke Suriah
ini, pemerintah Indonesia dan aparatur keamanan sudah melakukan tindakan
antisipasi sekaligus penindakan. Karena ibarat bencana tsunami, "arus
keberangkatan" berpotensi menimbulkan "arus kepulangan" yang
ternyata terjadi pada kemudian hari. Setelah gagal menumbangkan pemerintahan
Assad, para "jihadis" tersebut pulang ke negara asalnya, membawa
oleh-oleh berupa spirit ekstremisme yang sudah terasah oleh ekstremisme
ideologi IS.
Untuk Indonesia, "gelombang kepulangan" sepertinya
juga tidak diantisipasi dan ditindak secara tegas sehingga para
"jihadis" tersebut memiliki ruang gerak yang relatif leluasa untuk
menyebarkan dan mengimplementasikan konsep ideologi-teologi IS-nya di negeri
ini. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir, ideologi-teologis takfirisme
cukup subur sebarannya di Indonesia. Semua itu adalah bom waktu ekstremisme
yang secara ideologis sudah pada level menegasikan eksistensi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Kegagalan di Suriah membuat IS mengalihkan perjuangannya ke
Irak. Kebetulan basis kekuasaan Abu Bakar al Baghdadi, pemimpin kelompok ini,
adalah Irak. Hal ini membuat IS lebih yakin bahwa perjuangan mereka di Irak
tidak akan bernasib sama dengan yang terjadi di Suriah. Keberhasilan merebut
beberapa kawasan di Irak menciptakan euforia di tubuh IS. Euforia inilah yang
coba "diekspor" ke beberapa negara, termasuk Indonesia. Salah
satunya dengan memanfaatkan para "alumnus" yang sudah pulang dari
Suriah. Jika melihat sebaran IS yang relatif simultan di beberapa kota di Indonesia,
ada kemungkinan mereka telah bersinergi dengan beberapa jaringan ekstremis
lainnya yang sudah ada. Misalnya, jaringan kelompok teroris, "alumnus
jihadis" Afganistan dan beberapa kelompok Salafi-Takfiri.
Jaringan-jaringan tersebut dimanfaatkan IS untuk mempercepat penyebaran
ideologinya. Ini adalah gelombang ketiga, yaitu "gelombang
sinergi", di mana IS berupaya mensinergikan jaringan yang potensial
untuk diajak bergabung mengimplementasikan ideologi ekstremisnya.
Melihat empat gelombang di atas, yang kemungkinan terjadi
selanjutnya adalah "gelombang konsolidasi". Pada tahap ini, IS akan
mengkonsolidasikan kekuatan "software" dan "hardware"
yang telah dirintisnya. Mereka akan mensinkrionisasi ideologi takfirismenya
(pendirian negara Islam) ke dalam jaringan yang telah disinergikannya. Meski
proses konsolidasi tidak akan cepat sehingga kekuatan jaringannya relatif
lemah, itu lebih dari cukup untuk menandai lahirnya sebuah kelompok
super-ekstrem yang secara kasatmata menentang konsep NKRI. Dan seiring dengan
waktu, IS akan terus memperkuat perangkat surprastruktur dan
infrastrukturnya, layaknya bom waktu.
Pemerintah hendaknya melakukan langkah simultan pada tiga
tingkat: pertama, secara ideologi berupa melarang eksistensi dan
operasionalisasi IS. Keputusan ini sudah diambil oleh beberapa negara di
Timur Tengah dan kawasan lainnya yang menggolongkan IS sebagai teroris.
Kedua, secara hukum, menindak mereka yang tergabung dalam IS, karena
terkategori menentang konsep NKRI. Ketiga, secara organisatoris, menelusuri,
memutus, serta menumpas mata rantai IS dan jaringan-jaringan di bawahnya.
Ketiga, ini yang urgen, harus mampu berpacu, "adu cepat" dengan
meluasnya penyebaran pengaruh gerakan IS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar