Rabu, 13 Agustus 2014

Potensi IS di Indonesia

                                             Potensi IS di Indonesia

Muhammad Ja’far  ;   Pengamat Politik Timur Tengah
KORAN TEMPO, 12 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Dilihat dari dimensi mana pun, baik teologis, ideologis, sosiologis, antropologis, maupun kultural, gerakan Islamic State of Iraq and al-Sham (ISIS)-selanjutnya disebut Islamic State (IS)-sebenarnya tidak memiliki relevansi untuk tumbuh di Indonesia. Jika nyatanya IS berhasil menanamkan pengaruhnya di negeri ini, hal itu menandakan dua hal. Pertama, bangsa ini sedang mengalami krisis di kelima dimensi tersebut sehingga dengan mudahnya terinfiltrasi oleh pengaruh ekstremisme IS. Kedua, pada saat yang sama, tingkat antisipasi pemerintah sangat lemah sehingga gagal mencegah masuknya pengaruh tersebut.

Secara ideologis-teologis, gradasi ekstremisme IS berada di sisi yang paling ekstrem dari paham takfirisme. Mereka tak hanya tidak mengakui eksistensi keimanan dan keislaman yang lain (kafir), tapi juga merasa memiliki hak untuk merenggut hak hidup orang lain. Di Irak, setelah menguasai sebuah wilayah, IS memberi tiga pilihan kepada "yang selain mereka": beralih agama menjadi Islam, membayar pajak, atau keluar dari wilayah kekuasaannya. Pilihan itu ditujukan pada penganut Kristen, muslim Sunni, dan Syiah.

Secara organisatoris, kelahiran IS masih memiliki tautan dengan Al-Qaidah, meski berbeda target. IS lebih berorientasi pada okupasi wilayah bagi proses pembentukan negara Islam global. IS memulai perjuangannya dari Suriah melalui rencana awal menumbangkan kekuasaan Bashar Assad, Presiden Suriah. Suriah menjadi titik kumpul para "jihadis"-demikian mereka kerap menyebut dirinya-dari berbagai negara. Dari kawasan Timur Tengah (Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Turki, Yordania), Eropa (Inggris, Prancis, Amerika Serikat), hingga warga negara Indonesia sendiri. Inilah proses terjadinya "gelombang keberangkatan".

Seharusnya, sejak "gelombang keberangkatan" ke Suriah ini, pemerintah Indonesia dan aparatur keamanan sudah melakukan tindakan antisipasi sekaligus penindakan. Karena ibarat bencana tsunami, "arus keberangkatan" berpotensi menimbulkan "arus kepulangan" yang ternyata terjadi pada kemudian hari. Setelah gagal menumbangkan pemerintahan Assad, para "jihadis" tersebut pulang ke negara asalnya, membawa oleh-oleh berupa spirit ekstremisme yang sudah terasah oleh ekstremisme ideologi IS.

Untuk Indonesia, "gelombang kepulangan" sepertinya juga tidak diantisipasi dan ditindak secara tegas sehingga para "jihadis" tersebut memiliki ruang gerak yang relatif leluasa untuk menyebarkan dan mengimplementasikan konsep ideologi-teologi IS-nya di negeri ini. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir, ideologi-teologis takfirisme cukup subur sebarannya di Indonesia. Semua itu adalah bom waktu ekstremisme yang secara ideologis sudah pada level menegasikan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kegagalan di Suriah membuat IS mengalihkan perjuangannya ke Irak. Kebetulan basis kekuasaan Abu Bakar al Baghdadi, pemimpin kelompok ini, adalah Irak. Hal ini membuat IS lebih yakin bahwa perjuangan mereka di Irak tidak akan bernasib sama dengan yang terjadi di Suriah. Keberhasilan merebut beberapa kawasan di Irak menciptakan euforia di tubuh IS. Euforia inilah yang coba "diekspor" ke beberapa negara, termasuk Indonesia. Salah satunya dengan memanfaatkan para "alumnus" yang sudah pulang dari Suriah. Jika melihat sebaran IS yang relatif simultan di beberapa kota di Indonesia, ada kemungkinan mereka telah bersinergi dengan beberapa jaringan ekstremis lainnya yang sudah ada. Misalnya, jaringan kelompok teroris, "alumnus jihadis" Afganistan dan beberapa kelompok Salafi-Takfiri. Jaringan-jaringan tersebut dimanfaatkan IS untuk mempercepat penyebaran ideologinya. Ini adalah gelombang ketiga, yaitu "gelombang sinergi", di mana IS berupaya mensinergikan jaringan yang potensial untuk diajak bergabung mengimplementasikan ideologi ekstremisnya.

Melihat empat gelombang di atas, yang kemungkinan terjadi selanjutnya adalah "gelombang konsolidasi". Pada tahap ini, IS akan mengkonsolidasikan kekuatan "software" dan "hardware" yang telah dirintisnya. Mereka akan mensinkrionisasi ideologi takfirismenya (pendirian negara Islam) ke dalam jaringan yang telah disinergikannya. Meski proses konsolidasi tidak akan cepat sehingga kekuatan jaringannya relatif lemah, itu lebih dari cukup untuk menandai lahirnya sebuah kelompok super-ekstrem yang secara kasatmata menentang konsep NKRI. Dan seiring dengan waktu, IS akan terus memperkuat perangkat surprastruktur dan infrastrukturnya, layaknya bom waktu.

Pemerintah hendaknya melakukan langkah simultan pada tiga tingkat: pertama, secara ideologi berupa melarang eksistensi dan operasionalisasi IS. Keputusan ini sudah diambil oleh beberapa negara di Timur Tengah dan kawasan lainnya yang menggolongkan IS sebagai teroris. Kedua, secara hukum, menindak mereka yang tergabung dalam IS, karena terkategori menentang konsep NKRI. Ketiga, secara organisatoris, menelusuri, memutus, serta menumpas mata rantai IS dan jaringan-jaringan di bawahnya. Ketiga, ini yang urgen, harus mampu berpacu, "adu cepat" dengan meluasnya penyebaran pengaruh gerakan IS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar