Desa
sebagai Basis Pembangunan
Rikson Pandapotan Tampubolon ; Mahasiswa Pascasarjana Program
Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan USU
|
KORAN
JAKARTA, 25 Agustus 2014
Setelah gugatan kubu Prabowo-Hatta Rajasa
ditangkal Mahkamah Konstitusi, wajar bila presiden terpilih mulai bicara
susunan kabinet. Wacana pembentukan kabinet pemerintahan presiden ke-7
Republik Indonesia sudah lama beredar. Formasi kabinet yang mengemuka,
menurut beberapa pihak, tidak jauh berbeda, bahkan cenderung sama dengan
rezim lama.
Perlu sentuhan kreasi dengan membentuk
wadah-wadah baru atau menutup kementerian yang tidak perlu. Ini semua demi
tercapainya asas keefektifan dan efisiensi pemerintahan. Sangat menarik
mengamati salah satu visi misi presiden terpilih yang akan lebih
memprioritaskan pembangunan perdesaan yang sering diabaikan. Selama ini, desa
hanya muncul dalam seminar dan diskursus. Desa berada di urutan terjauh
prioritas pembangunan.
Membentuk kabinet profesional, berpengalaman,
dan integritas tidak mudah. Perlu masukan banyak pihak. Prinsip the right man
on the right place harus menjadi panduan mendasar dalam menempatkan seseorang
pada posisi tertentu. Masyarakat tentu tidak mau kabinet hanya alat berbagi
kekuasaan seperti yang lumrah dalam politik sebelumnya.
Inisiatif memberi ruang bagi masyarakat luas
untuk merekomendasi rekam jejak, kapabilitas, dan integritas calon menteri
perlu diapreasi. Langkah ini sangat luar biasa dan belum pernah ditempuh
presiden-presiden terdulu. Keterbukaan akan masukan calon menteri adalah
terobosan besar, walaupun penyusunan kabinet adalah hak prerogatif presiden.
Daya Tawar
Ada
jargon, pembangunan dimulai dari desa. Pernyataan ini menarik karena bisa
saja dianggap sebagai senjata pamungkas sekaligus representatif untuk
menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat kecil (wong cilik). Namun,
kenyataannya, para pemimpin banyak lupa atau mengesampingkan agenda tersebut.
Buktinya, tidak ada satu pos pun dalam kabinet pemerintahan yang secara
khusus mengurusi perdesaan.
Sangat penting untuk memulai pembangunan dari
desa. Ini tidak ada yang berani menyangkal. Bahkan, dua pasangan calon yang
berlaga dalam pilpres 9 Juli kemarin juga sama-sama mengamini bahwa orientasi
pembangunan harus bergeser ke desa. Sudah waktunya desa menjadi fokus karena
kota telah lama menjadi perhatian. Mari secara konsekuen dan konsisten
mengedepankan perdesaan sebagai basis pembangunan.
Kementerian Dalam Negeri telah mencatat dalam
buku induk kode dan data wilayah administrasi pemerintahan per provinsi,
kabupaten/kota, dan kecamatan seluruh Indonesia tahun 2013 bahwa jumlah desa
mencapai 72.944. Sekitar hampir setengahnya (32 ribu desa) merupakan desa
dalam kategori membutuhkan perhatian khusus.
Sudah saatnya perdesaan menjadi primadona
pembangunan yang harus diperhatikan secara serius. Apalagi payung hukum
mengenai hal tersebut juga telah dikeluarkan pemerintah melalui Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang No 06 Tahun 2014 tentang Desa.
Optimalisasi penyelenggaraan pemerintahan
desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan
pemberdayaan masyarakat desa perlu ditangani kementerian tersendiri. Desa
sebagai pemerintahan terkecil dalam sebuah negara harus memainkan perannya
sebagai benteng terdepan perekonomian bangsa.
Pembangunan nasional tidak boleh tergantung
pada utang luar negeri yang sewaktu-waktu justru dapat mengguncangkan
perekonomian karena terlalu tergantung pada global. Terbukti krisis moneter
1998 telah memukul telak wajah perekonomian Indonesia. Beruntung, negeri ini
masih memiliki pertahanan usaha mikro, kecil, dan menengah yang tidak terlalu
tergantung pada perekonomian global. Harapan itulah yang digantungkan pada
perekonomian yang akan dibangun di desa.
Pemerintah harus memutus rantai kemiskinan
yang dikirim melalui urbanisasi. Desa yang selama ini kurang diperhatikan
telah menyumbang kemiskinan di kota-kota besar sebagai bagian dari usaha
rakyat mengubah nasib. Ketiadaan pendidikan dan ekonomi yang cukup telah
menambah kompleksitas wajah perkotaan. Desa telah kehilangan daya tawar dalam
memajukan kehidupan ekonomi masyarakat. Untuk itu, pemerintah harus secara
serius mengembangkan sektor perdesaan.
Semiliar rupiah buat tiap desa adalah salah
satu upaya memajukan perekonomian dan pembangunan sektor-sektor penting di
perdesaan. Namun, harus disadari, ini juga sekaligus potensi penyimpangan
bila tidak dikelola dengan benar. Jangan sampai virus korupsi meluber ke
desa-desa akibat minimnya penataan sistem dan peningkatan kapasitas aparat
sehingga menyebabkan anggaran yang dilimpahkan menjadi sumber masalah baru.
Pemerintah perlu secara khusus mengatur tata
kelola perdesaan di pusat. Membiarkan atau melepaskan tanggung jawab soal
desa hanya kepada kepala daerah setempat, tentunya akan membuat desa-desa
bergerak sendiri-sendiri. Pengelolaan yang baik tentang desa membuat
optimistis pembangunan perdesaan tidak hanya akan lebih merata, tetapi juga
partisipatif. Masyarakat akan bersama-sama memajukan wilayah sendiri sesuai
dengan potensi ekonomi. Ini akan membuat kondisi lebih berkeadilan dalam
pembangunan tanpa harus melupakan kearifan lokal.
Terkait gagasan ramai-ramai memberi masukan
kepada presiden terpilih, ide ini sebagai bagian urun rembuk agar diserap.
Sudah waktunya membentuk tata kelola perdesaan yang baik. Dengan demikan, ada
lembaga yang fokus dan intens mengawasi implementasi tata kelola pedesaan
sebagaimana yang sudah diamanatkan dalam undang-undang desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar