Estela
de Carlotto
Anonim ; Kolumnis “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
10 Agustus 2014
ESTELA de Carlotto (83) bukanlah nenek biasa. Ia nenek yang luar
biasa. Ia pejuang hak asasi manusia di Argentina yang juga Ketua Abuelas de
Plaza de Mayo (Nenek Plaza de Mayo). Organisasi ini bertujuan mencari
bayi-bayi yang dicuri di masa kediktatoran militer berkuasa di Argentina,
1976-1983.
Usaha Nenek Carlotto berbuah. Ia menemukan cucunya laki-laki
yang diambil dari anak perempuannya, Laura, 36 tahun silam. Laura diculik
pada 1977 dan dibunuh 1978 dalam penjara, tak lama setelah melahirkan.
Cucu Carlotto adalah satu dari sekitar 500 bayi yang dicuri pada
waktu itu. Lebih dari 100 anak sudah ditemukan dan dikembalikan kepada
keluarganya setelah menjalani tes DNA.
Cerita penemuan cucu Carlotto mendorong orang untuk membuka
kembali lembaran-lembaran sejarah Argentina, negeri yang sekarang tengah
gonjang-ganjing karena krisis ekonomi; negeri yang melahirkan seorang Paus
(Fransiskus); negeri yang kondang dengan sepak bolanya, dengan nama-nama
besarnya, seperti Maradona dan Messi.
Mari kita buka kembali lembaran-lembaran hitam Argentina yang
menurut ukuran nilai-nilai kemanusiaan begitu kelam. Kisah itu terungkap
dalam laporan Ernesto Sabato—meninggal pada usia 99 tahun pada 2011—yang
memimpin Komisi ”Perang Kotor”. Komisi ini menginvestigasi pembunuhan ribuan
orang di bawah pemerintahan militer pada 1970-an hingga 1980-an.
Dalam sebuah laporan, komisi itu mengungkapkan, beribu-ribu
orang, biasanya orang-orang dewasa atau remaja, tewas dalam kondisi
menyeramkan dan banyak lainnya masuk dalam kategori desaparecidos (hilang)... mereka diculik begitu saja dan
statusnya sebagai warga negara tak lagi dianggap. Ironisnya lagi, para
penculik tak pernah ditangkap, apalagi ditahan. Dan, tak satu pun tempat
penyekapan mereka terungkap di mana. Tidak pernah pula ada berita bahwa
orang-orang yang bertanggung jawab diadili karena kejahatannya.
Ada sekitar 340 pusat penahanan rahasia yang tersebar di seluruh
Argentina tahun 1976-1983. Pihak angkatan bersenjata menyebutnya sebagai
”Pusat Penilaian Tahanan”. Yang dimasukkan ke dalam Pusat Penilaian Tahanan
berasal dari berbagai kalangan: ada pembangkang, buruh, pekerja sosial,
aktivis hak asasi manusia, pastor, biarawati, pasifis, psikolog, wartawan,
mahasiswa, murid-murid sekolah, guru, pengacara, aktor, ibu rumah tangga, dan
ribuan orang yang dianggap mengancam stabilitas nasional.
Dalam lembaran sejarah Argentina tercatat bahwa masa paling
gelap terjadi tahun 1976-1983. Masa inilah yang sering disebut sebagai
periode dirty war atau perang
kotor. Di bawah rezim Jenderal Jorge Rafael Videla, menurut catatan Komisi
Hak Asasi Manusia Argentina, paling tidak 15.000 orang dibunuh atau
desaparecidos, selama berlangsung dirty war. Bahkan, ada yang menyebut angka
lebih besar: 30.000 orang (The
Economist, 24 Januari 1998).
Barangkali kisah seperti yang dilakoni dan dialami Nenek
Carlotto ada juga di Indonesia. Namun, nenek-nenek atau ibu-ibu di negeri ini
belum seberuntung Nenek Carlotto. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar