Minggu, 10 Agustus 2014

Bingung

Bingung

Putu Setia  ;   Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO, 09 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Silaturahmi saya dengan Romo Imam terasa sudah lama. Maka sore itu pun saya bermaksud pulang. Perut tak mempan lagi dimasukkan makanan, salaman bahkan sudah lebih dari sekali karena tak disengaja. Bahan obrolan pun sudah ke mana-mana tak ada fokusnya. Belum selesai soal pemilihan presiden di Korea Utara yang dipuji Prabowo, sudah beralih ke Roro Jonggrang yang membangun Tangkuban Perahu. Belum tuntas, eh, mengomentari rencana penculikan Ketua KPU. Saya pun minta pamit. "Mumpung belum malam, saya mau beli solar dulu."

Romo terbahak dan menarik tangan saya. "Apa ini musimnya orang bingung? Ada orang mendesak Tuhan agar calon presidennya dimenangkan Mahkamah Konstitusi. Astaga, Tuhan didesak-desak. Ini lagi, pembatasan bahan bakar bersubsidi kok yang dibatasi waktu pembelian, bukan jumlah yang dibeli. Kalau malam hari tak boleh beli solar, ya, beli saja siang hari. Apa repotnya?"

Saya tertunda pergi. "Kalau diizinkan malam hari kan pengawasan sulit, pembeli dan petugas SPBU bisa main mata membolehkan pembeli memakai jeriken. Kalau siang mudah diawasi," kata saya. Romo menggeleng. "Di pinggiran kota, apalagi di kampung, tak ada pengawasan. Kalaupun ada, tak setiap hari. Tetap saja orang beli solar dengan jeriken. Masyarakat pun tak ada yang melaporkan, cari musuh karena mereka saling kenal."

Saya tak bereaksi. "Premium juga dilarang dijual di jalan tol. Lah, apa susahnya isi tangki penuh sebelum masuk jalan tol? Anehnya, orang kok resah, padahal tak perlu," kata Romo. "Ini kebijakan yang sangat tanggung, bahkan cenderung kebijakan orang bingung. Kenapa sih tak mau menaikkan harga minyak bertahap? Orang-orang kampung sudah biasa membeli Premium di pengecer Rp 7.000 per botol, itu pun kurang dari seliter. Kita memberi subsidi kepada orang kota yang seharusnya mampu membeli minyak lebih mahal."

Saya sungguh capek kalau diajak berdiskusi soal subsidi bahan bakar minyak. Pemerintah selalu mengeluh soal besaran subsidi yang terus membengkak. Penghematan yang disarankan pemerintah selalu tak dipatuhi masyarakat. Kuota minyak bersubsidi menjadi hantu yang menakutkan. Namun, yang takut pemerintah, rakyat cuek saja. Tak peduli. Padahal tak ada opsi lain kecuali mengurangi subsidi yang berarti menaikkan harga minyak. Kenapa takut kehilangan citra, toh pemerintahan Presiden Yudhoyono tinggal dua bulan lagi? Jangan-jangan kalau dirundingkan dengan "pemerintahan transisi" presiden terpilih Joko Widodo ada kesepahaman soal kenaikan harga minyak ini.

"Saya kira Jokowi akan menanggung beban dari kebijakan soal minyak yang membingungkan ini," kata Romo setelah melihat saya diam. Kini saya menjawab sekenanya: "Mungkin ya, apalagi program Jokowi banyak sekali membutuhkan dana. Ada Kartu Sehat, ada Kartu Pintar. Kalau subsidi minyak harus ditambah lagi, mungkin berat. Tapi tak tahu juga, partainya Jokowi kan dulu tak setuju harga minyak dinaikkan karena memberatkan wong cilik. Entah sekarang."

"Tapi apa sudah pasti Jokowi yang dilantik menjadi presiden?" Celetukan spontan Romo Imam ini mengagetkan saya. Saya sampai tak mampu menjawab. "Jangan mendahului MK, jangan mendahului Tuhan. Siapa tahu ada keputusan yang membingungkan dari sembilan hakim MK, saya tak tahu, hanya mengingatkan saja," kata Romo setengah berbisik.

"Apa sembilan hakim itu berani melawan arus?" tanya saya. Romo langsung jawab: "Arus dari mana?" Saya menambahkan: "Romo seperti kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu." Romo tertawa. Saya kira kali ini Romo tak mungkin bingung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar