Bingung
Putu Setia ;
Pengarang, Wartawan Senior
Tempo
|
TEMPO.CO,
09 Agustus 2014
Silaturahmi saya dengan Romo
Imam terasa sudah lama. Maka sore itu pun saya bermaksud pulang. Perut tak
mempan lagi dimasukkan makanan, salaman bahkan sudah lebih dari sekali karena
tak disengaja. Bahan obrolan pun sudah ke mana-mana tak ada fokusnya. Belum
selesai soal pemilihan presiden di Korea Utara yang dipuji Prabowo, sudah
beralih ke Roro Jonggrang yang membangun Tangkuban Perahu. Belum tuntas, eh,
mengomentari rencana penculikan Ketua KPU. Saya pun minta pamit.
"Mumpung belum malam, saya mau beli solar dulu."
Romo terbahak dan menarik
tangan saya. "Apa ini musimnya orang bingung? Ada orang mendesak Tuhan
agar calon presidennya dimenangkan Mahkamah Konstitusi. Astaga, Tuhan
didesak-desak. Ini lagi, pembatasan bahan bakar bersubsidi kok yang dibatasi
waktu pembelian, bukan jumlah yang dibeli. Kalau malam hari tak boleh beli
solar, ya, beli saja siang hari. Apa repotnya?"
Saya tertunda pergi.
"Kalau diizinkan malam hari kan pengawasan sulit, pembeli dan petugas
SPBU bisa main mata membolehkan pembeli memakai jeriken. Kalau siang mudah
diawasi," kata saya. Romo menggeleng. "Di pinggiran kota, apalagi
di kampung, tak ada pengawasan. Kalaupun ada, tak setiap hari. Tetap saja
orang beli solar dengan jeriken. Masyarakat pun tak ada yang melaporkan, cari
musuh karena mereka saling kenal."
Saya tak bereaksi.
"Premium juga dilarang dijual di jalan tol. Lah, apa susahnya isi tangki
penuh sebelum masuk jalan tol? Anehnya, orang kok resah, padahal tak
perlu," kata Romo. "Ini kebijakan yang sangat tanggung, bahkan
cenderung kebijakan orang bingung. Kenapa sih tak mau menaikkan harga minyak
bertahap? Orang-orang kampung sudah biasa membeli Premium di pengecer Rp
7.000 per botol, itu pun kurang dari seliter. Kita memberi subsidi kepada
orang kota yang seharusnya mampu membeli minyak lebih mahal."
Saya sungguh capek kalau diajak
berdiskusi soal subsidi bahan bakar minyak. Pemerintah selalu mengeluh soal
besaran subsidi yang terus membengkak. Penghematan yang disarankan pemerintah
selalu tak dipatuhi masyarakat. Kuota minyak bersubsidi menjadi hantu yang
menakutkan. Namun, yang takut pemerintah, rakyat cuek saja. Tak peduli.
Padahal tak ada opsi lain kecuali mengurangi subsidi yang berarti menaikkan
harga minyak. Kenapa takut kehilangan citra, toh pemerintahan Presiden
Yudhoyono tinggal dua bulan lagi? Jangan-jangan kalau dirundingkan dengan
"pemerintahan transisi" presiden terpilih Joko Widodo ada
kesepahaman soal kenaikan harga minyak ini.
"Saya kira Jokowi akan
menanggung beban dari kebijakan soal minyak yang membingungkan ini,"
kata Romo setelah melihat saya diam. Kini saya menjawab sekenanya:
"Mungkin ya, apalagi program Jokowi banyak sekali membutuhkan dana. Ada
Kartu Sehat, ada Kartu Pintar. Kalau subsidi minyak harus ditambah lagi,
mungkin berat. Tapi tak tahu juga, partainya Jokowi kan dulu tak setuju harga
minyak dinaikkan karena memberatkan wong cilik. Entah sekarang."
"Tapi apa sudah pasti
Jokowi yang dilantik menjadi presiden?" Celetukan spontan Romo Imam ini
mengagetkan saya. Saya sampai tak mampu menjawab. "Jangan mendahului MK,
jangan mendahului Tuhan. Siapa tahu ada keputusan yang membingungkan dari sembilan
hakim MK, saya tak tahu, hanya mengingatkan saja," kata Romo setengah
berbisik.
"Apa sembilan hakim itu
berani melawan arus?" tanya saya. Romo langsung jawab: "Arus dari
mana?" Saya menambahkan: "Romo seperti kura-kura dalam perahu,
pura-pura tidak tahu." Romo tertawa. Saya kira kali ini Romo tak mungkin
bingung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar