Menyikapi
Putusan MK
Roni Tabroni ;
Dosen Komunikasi Politik Universitas Sangga Buana YPKP
Bandung, Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah
|
REPUBLIKA,
21 Agustus 2014
Sempat muncul nada miring terhadap langkah yang diambil
Prabowo-Hatta dan timnya ketika mengambil jalur hukum untuk menggugat hasil
putusan KPU di Pilpres 2014. Ketidakpuasan akan proses pemilihan pada Pilpres
2014 berujung di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), namun semuanya sudah
berakhir dan memberikan pembelajaran politik yang positif.
Awalnya, di kalangan publik muncul stigma negatif yang
mendiskreditkan pasangan Prabowo-Hatta dengan sebutan haus kekuasaan dan
terlalu memaksakan diri. Tetapi, tidak ada langkah konstitusional yang dapat
dilakukan oleh peserta pemilu kecuali melakukan gugatan ke MK.
Sekilas memang terkesan agresif dan haus kekuasaan. Namun, jika
dilihat lebih seksama terhadap proses pemilu khususnya pilpres, undang-undang
sesungguhnya memberikan peluang bagi siapa pun yang merasa tidak puas dengan
hasil pemilu untuk melakukan gugatan ke MK. Langkah ini konstitusional dan
hak bagi siapa pun yang mau memanfaatkan fasilitas yang tidak terpisahkan
dari proses demokrasi di negara ini.
Setelah melewati waktu yang telah ditentukan, akhirnya MK pun
telah menetapkan putusannya. Sebagaimana dalam peradilan manapun, selalu ada
pihak yang merasa tidak puas sehingga ingin kembali banding, walaupun sudah
melakukan proses pertimbangan yang cukup adil.
Dalam konteks Pilpres 2014, ketika banyak pihak menyebut sebagai
pilpres paling panas --karena hanya diikuti oleh dua kubu yang sama kuatnya--
maka putusan MK tentu akan sangat hati-hati. Namun di manapun, yang namanya
pemenang hanya satu. Maka di sini publik akan melihat putusan ini dari dua
sisi yang mungkin sangat bertolak belakang.
Di luar konteks hukum, proses peradilan yang terjadi di MK,
sesungguhnya mengomunikasikan beberapa hal yang sangat signifikan bagi
publik. Pertama, proses persidangan merupakan bagian tidak terpisahkan dari
pendidikan politik. Inti dari demokrasi adalah pendidikan politik yang salah
satu efeknya adalah partisipasi publik. Keterlibatan banyak pihak terhadap
proses peradilan yang terjadi merupakan ekspresi harapan bahwa MK akan
memberikan putusan yang terbaik untuk kepentingan bangsa dan negara ini.
Karena proses persidangan itu sebagai pendidikan politik, maka
dituntut kearifan dari masyarakat untuk melihat proses dinamika persidangan
itu sebagai wahana pengetahuan baru di alam demokrasi yang sangat terbuka
ini. Publik menjadi tahu bagaimana proses persidangan di MK --yang katanya
sangat angker itu-- melalui media, khususnya televisi yang menayangkan secara
live. Publik pun menjadi belajar bagaimana perdebatan terjadi, keterangan
saksi disampaikan, penyampaian alat bukti, sampai mengenal dan menilai hakim
MK satu per satu. Sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelum pihak
Prabowo-Hatta melakukan gugatannya ke MK.
Kedua, dengan mengadu ke MK, maka siapa pun yang tidak puas dengan
hasil pemilu, akan mendapatkan kepastian hukum, karena MK akan memutus
perselisihan hasil pemilihan umum, dan sifat putusannya final dan mengikat.
Walaupun ada pihak yang merasa dirugikan, tetapi putusan MK tidak bisa
diganggu gugat lagi. Dalam konteks ini, publik belajar menerima apa pun hasil
pengadilan MK, apa pun keputusannya.
Langkah konstitusional ini harus dikomunikasikan oleh semua pihak
agar setiap publik paham bahwa MK adalah ujung dari semua perselisihan
pemilu, sehingga tidak ada yang bernada miring dan tidak ada yang curiga
terhadap hasil putusannya. Pilpres yang dibayang-bayangi rasa was-was akan
terjadinya tindak anarkis, ternyata berjalan damai dan justru langkah
konstitusional lebih dipilih oleh pihak yang dianggap kalah versi KPU. Karenanya,
kondisi ini sesungguhnya selain merupakan pendidikan politik juga sebagai
langkah politik yang bagi baik pertumbuhan demokrasi di Tanah Air.
Ujung dari perjuangan untuk mendapatkan keadilan dalam proses
pilpres ini adalah kesiapan mental dan emosi ketika setiap pihak akan
berdegup kencang menanti putusan MK yang mungkin tidak mudah ditebak.
Sebagian orang sudah bermain dadu, ada kemungkinan pemilihan ulang
keseluruhan, pemilihan ulang di sebagian wilayah, penghitungan ulang, hingga
tidak ada proses pemilihan dan penghitungan ulang tetapi MK memberikan
catatan terhadap Pilpres 2014 sebagai cermin pilpres lima tahun ke depan.
Di tengah keyakinan kedua belah kubu, sesungguhnya keduanya akan
kembali lagi ke masa awal kampanye ketika mendeklarasikan diri sebagai
kandidat yang siap menang-siap kalah. Kesiapan mental menghadapi dua situasi
ini sesungguhnya diuji sekarang di saat ada pihak yang merasa tidak puas.
Sebab, tidak ada lagi lembaga di atas MK yang berhak mengadili putusan MK.
Pembelajaran ini tentu saja penting bagi dua belah pihak, yaitu
elite politik dan masyarakat secara umum. Bagi elite, kekalahan dalam
perhelatan pesta demokrasi harus disikapi sebagai bahan evaluasi untuk
kemudian me-reschedule dan menata ulang pola kampanye untuk lima tahun ke
depan. Kekalahan saat ini bukan akhir segalanya, tetapi merupakan
pembelajaran politik yang harus dijawab dengan kinerja politik untuk
memenangi pemilu berikutnya.
Sedangkan bagi publik, putusan MK harus dilihat dari sisi
prosesnya, sehingga akan melihat sebuah pembelajaran demokrasi yang tidak
hanya melulu persoalan politik, tetapi juga masalah hukum. Dengan demikian
publik akan semakin dewasa dengan keterbukaan wawasan yang semakin bertambah
setelah digelarnya peradilan PHPU di MK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar