Buku
Manjur Mahasiswa
Setyaningsih ;
Bergiat di Bilik Literasi
Solo, Tinggal di Boyolali
|
SUARA
MERDEKA, 15 Agustus 2014
Di
Indonesia, pelajar sulit berbekal buku petunjuk untuk memasuki perguruan
tinggi. Ada indikasi krisis buku panduan sebagai jalan menembus kebuntuan dan
kebingungan menghadapi dunia mahasiswa. Buku di pasaran atau perpustakaan
seringkali hanya menyajikan buku-buku materi perkuliahan. Ini menjadi bukti
pelajar tidak berotoritas untuk berbuku sebelum sah menjadi mahasiswa. Ada
juga kecenderungan bahwa buku panduan mahasiswa tidak memiliki pesona.
Tahun
1982, sebuah buku kembali cetak untuk kali ke-12. Buku manjur dan laris ini Cara Belajar yang Efisien. Buku ini merupakan
buku panduan dan pegangan menjadi mahasiswa garapan The Liang Gie. Buku
terbitan Gadjah Mada University Press
ini cetak pertama pada 1961. Ada bayangan masa itu gelombang pelajar memasuki
perguruan tinggi itu besar. Mereka membutuhkan panduan agar tidak tersesat di
tempat mentereng bernama perguruan tinggi. Penulis dan pemikir ampuh, Arief
Budiman pun pernah menulis buku Pengalaman
Belajar di Amerika Serikat (1982). Buku ini menjadi rekaman personal
Arief saat belajar di AS berbekal beasiswa. Perlu kehati-hatian untuk memilih
perguruan tinggi di luar negeri karena bisa jadi kualitasnya lebih buruk dari
di Indonesia.
Perjalanan
ke luar negeri pun bukan bagian dari gaya hidup seperti saat ini. Butuh
kegigihan dan kesungguhan, terlebih jumlah beasiswa terbatas dan Arief juga
harus memikirkan keluarga yang diboyong ke AS. Pertarungan diri dalam
memunculkan gagasan, mengomentari permasalahan, terlibat dialog
antarmahasiswa, dan gairah membuka buku-buku itu menjadi hal penting. Dosen
sangat mengapresiasi kesungguhan mahasiswa.
Arief
merasakan bahwa dosen bukan sosok utama yang memengaruhi pembelajaran. Mereka
hanya menjadi gerbang pencarian pengetahuan. Arief membahasakan, ”Saya merasa seperti dilempar ke sebuah
toko serbaada, diberi uang dan dibiarkan berbelanja sendiri. Tidak ada yang
membatasi saya mau masak apa. Sayalah yang harus aktif berpikir, masakan apa
yang mau saya buat.” Rujukan Buku
Panduan Belajar di Perguruan Tinggi Amerika Serikat (1992) garapan
Hermawan Sulistyo juga menjadi buku panduan menempuh belajar di luar negeri.
Perjalanan
ini memuat masalah fisik, kultural, intelektual, dan mental. Pengaturan biaya
hidup, penguasaan bahasa, perubahan waktu, dan perubahan iklim bisa dikatakan
hal pertama untuk dimengerti. Mengenali kota dan memilih tempat tinggal akan
menentukan kelancaran pergaulan dan berkuliah. Bekal mengenali kota bisa
dijadikan jalan mengenali tempat penting, termasuk perpustakaan di lingkungan
kampus atau di luar kampus. Hermawan juga menceritakan hal-hal tentang cara
berkuliah mulai dari semester, mata kuliah, adab di kelas, indeks prestasi,
dan pengerjaan tesis. Buku kecil setebal 88 halaman bisa dijadikan rujukan
menjadi mahasiswa. Saya mengingat saat akan menjadi mahasiswa di kampus
kurang terkenal di Solo. Ada perasaan linglung dan canggung.
Saya
mengenal kampus lewat potongan cerita orang-orang. Saat memasuki kampus, saya
belum mendapatkan buku panduan. Ada buku panduan akademik, tapi terlambat
diberikan. Buku berwarna hijau tidak memesona karena hanya berisi seputar informasi
kampus; nama jurusan, nama gedung, nama dosen, struktur kepengurusan
akademik, daftar mata kuliah, dan beban SKS. Buku hanya menjadi petunjuk cara
memahami aturan-aturan kampus. Saat ini, mahasiswa tidak berbekal buku untuk
memasuki perguruan tinggi. Mereka berbekal seperangkat alat transportasi dan
alat komunikasi canggih. Mahasiswa membaca buku pada saat detik-detik ujian
atau saat mengerjakan skripsi. Memasuki penerimaan mahasiswa baru 2014, buku
panduan seharusnya ada dan diusahakan oleh kampus demi memahami peran dan
menempuh status sebagai mahasiswa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar