Bila
Sang Wasit yang Mencetak Gol
Heru Widodo ;
Pengacara Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 19 Agustus 2014
Sengketa
pilpres di MK tinggal menunggu putusan, Kamis, (21/8). Banyak peristiwa hukum
terungkap di persidangan atas keterangan saksi para pihak.
Dalam
keterangannya, kuasahukumJokowi-JK mengeksepsi, Prabowo-Hatta tidak mempunyai
legal standing ataukedudukanhukum. Dengan menarik diri dari proses ketika
pleno rekapitulasi nasional pada 22 Juli, legal standing dan hak untuk
mengajukan keberatan pun menjadi gugur. Benarkah demikian? Legal standing
pemohon dalam sengketa pilpres adalah pasangan calon peserta Pilpres 2014.
Normanya diatur dalam Pasal 74 (1) huruf b UU 24/2003 jo UU 8/2011 tentang
Perubahan UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Diatur
kembali dalam Pasal 2 (1) PMK 4/2014 tentang Pedoman Beracara dalam
Perselisihan Hasil Pilpres. Peserta Pilpres 2014 adalah Prabowo-Hatta dan
Jokowi- JK. Kepesertaan dimuat dalam SK KPU No. 453/Kpts/KPU/ TAHUN 2014
tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pilpres 2014 dan SK KPU No.
454/Kpts/KPU/TAHUN 2014 tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon. Yang
menarik, pada saat majelis hakim menanyakan apakah saksi mandat Prabowo-
Hatta pernah menyerahkan surat secara tertulis pada pleno nasional kepada
KPU.
Saksi
membenarkan telah menyampaikan surat yang ditandatangani capres Prabowo
Subianto. Isinya menarik diri untuk tidak mengikuti proses rekapitulasi
perhitungan suara nasional. Menarik diri berbeda akibat hukumnya dengan
mengundurkan diri. Menarik diri berimplikasi pada melepasnya hak mengikuti
proses rekapitulasi pada sisa beberapa provinsi bermasalah. Mengundurkan
diri, berakibat pada gugurnya kepesertaan.
Silang
pendapat soal legal standing menjadi terang ketika terungkap fakta di
persidangan, bahwa meski terdapat surat penarikan diri, namun de jure,
Keputusan KPU yang mengumumkan perolehan suara secara nasional tetap
mencantumkan kedua pasang calon. Selain itu, secara de facto , KPU juga
mengirimkan Salinan Keputusan 535/Kpts/KPU/ TAHUN 2014 tentang Penetapan
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Hasil Pilpres Tahun 2014
tertanggal 22 Juli 2014, kepada Timses Prabowo-Hatta.
Keterangan
Ahli Irman Putra Sidin tidak saja memperkuat keyakinan masih adanya legal standing, namun juga
mengingatkan bahwa dalam sengketa ini tidak dapat distigma sebagai tidak siap
kalahnya Prabowo-Hatta. Lebih luas dari itu, permohonan ini memiliki denyut
jantung 62,6 juta rakyat Indonesia pemilih Prabowo-Hatta. Di luar ruang
sidang MK, darah rakyat berdesir mengalir memperjuangkan demokrasi untuk
mencapai puncak kemuliaan proses bernegara.
Salah
satu pokok permohonan yang menarik banyak perhatian adalah soal pemilu sistem
noken di Tanah Papua. Seolah ada pemilu dengan sistem noken, namun proses
pemilihan yang bernuansa kearifan lokal tersebut sesungguhnya tidak pernah
dilaksanakan. Salah satu buktinya, terjadi di Kabupaten Dogiyai. Perolehan
suara Prabowo-Hatta 0%, sedangkan Jokowi-JK 100% dari jumlah pemilih dalam
daftar pemilih tetap (DPT). Hasil temuan panwas tingkat distrik, terdapat dua
distrik di Dogiyai: Mapia Barat dan Mapia Tengah, yang direkomendasikan
Bawaslu Provinsi Papua untuk dilakukan pemilu susulan.
Sampai
KPU menetapkan secara nasional, pemilu susulan tidak pernah diwujudkan.
Kesaksian Novela Nawipa yang diajukan Prabowo-Hatta misalnya, dengan jelas
menerangkan tidak ada pemilu di TPS-nya, Kampung Awabutu. Keterangan Novela
berkesesuaian dengan kesaksian Haam Nawipa, ketua KPU Paniai yang diajukan
pihak Termohon. Benar, di Kampung Awabutu tidak dilakukan pemilihan. Juga
kesaksian Martinus Adi, menerangkan tidak ada pemilu, tidak ada musyawarah,
tidak ada kesepakatan di TPS kampungnya ; Kampung Edagotai, Distrik Tiga
Timur, Kabupaten Deiya.
Martinus
terkejut setelah mengetahui dari hasil rekapitulasi Provinsi Papua, perolehan
suara di TPS kampungnya ada nilainya, 0% untuk Prabowo-Hatta, 100% untuk Jokowi-JK.
Sengkarut penyalahgunaan noken berulang kali muncul dalam sengketa pemilihan
legislatif, pemilihan DPD maupun pilkada di MK. Menarik dicermati
pertimbangan hukum putusan MK No. 3/PHPUDX/ 2012 (17/2/2012) dalam sengketa
pilkada Kabupaten Dogiyai.
MK
mempertimbangkan, pemilihan umum merupakan wujud pelaksanaan hak politik
warga negara yang paling nyata dalam demokrasi, sedangkan prinsip demokrasi
merupakan salah satu asas yang fundamental dalam ketatanegaraan menurut UUD
1945. Oleh sebab itu, MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman tidak
dapat berdiam menyaksikan pelanggaran hukum yang merusak sendi-sendi
demokrasi yang dijamin dalam konstitusi.
MK
berpendapat, untuk memulihkan hak konstitusional warga negara untuk memilih
dan untuk memastikan perolehan suara masing-masing kandidat di Distrik
Piyaiye harus dilakukan pemungutan suara ulang di delapan kampung Distrik
Piyaiye, Kabupaten Dogiyai, yaitu Kampung Apogomakida, Kampung Deneiode,
Kampung Yegeiyepa, Kampung Ideduwa, Kampung Kegata, Kampung Egipa, Kampung
Ukagu, dan Kampung Tibaugi.
Tentu
saja, dalam hal hakim MKmempunyai keyakinan yang kuat terhadap dalil-dalil
dalam pokok permohonan sengketa Pilpres 2014, khususnya terkait
penyalahgunaan noken, yakni benar, ada tindakan penyelenggara yang memberikan
suara kepada pasangan calon tertentu, padahal tidak pernah terjadi
kesepakatan adat untuk itu, maka tindakan tersebut telah dapat digolongkan sebagai
perbuatan yang telah merampas hak konstitusional masyarakat pemilih di Papua.
Perampasan
hak tersebut merupakan penghilangan hak untuk menentukan calon presiden
pilihannya sendiri lima tahun ke depan, yang dapat dijadikan dasar kuat bagi
MK untuk memerintahkan diselenggarakannya pemungutan suara ulang. Apalagi,
telah melekat dalam setiap penyelenggaraan pemilu bahwa tidak seorang pun
boleh diuntungkan atas pelanggaran yang dilakukannya, dan tidak seorang pun
boleh dirugikan atas pelanggaran yang dilakukan orang lain. Potret
pelaksanaan pemilu yang demikian, laksana sebuah pertandingan sepak bola.
Pertandingan
berlangsung antara kedua tim yang dipimpin oleh wasit yang netral. Bahkan,
dalam piala dunia, selalu dihindari penunjukan wasit yang satu negara dengan
tim yang bertanding. Namun ketika dalam pertandingan sang wasitlah yang mencetak
gol, satu-satunya jalan untuk memulihkan sportivitas adalah dengan menganulir
gol tersebut dan dipertandingkan ulang tentu saja, dengan wasit yang
independensinya tidak tercela. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar