Berani
Gagal
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
JAWA
POS, 03 Agustus 2014
BAGI penggemar kisah fiksi ilmiah yang dibesarkan pada 1970-an,
abad ke-21 barangkali menjadi abad yang paling mengecewakan. Sebab, sampai
kini belum ada kisah fiksi ilmiah yang menjadi kenyataan. Misalnya, belum ada
mobil yang bisa terbang untuk mengatasi kemacetan. Juga belum ada perjalanan
ulang-alik komersial dari bumi ke bulan atau ke planet-planet lain.
Bahkan untuk inovasi-inovasi yang mendasar sekalipun. Misalnya
bahan bakar ramah lingkungan sebagai alternatif bahan bakar fosil. Kalaupun
ada, masih jauh untuk sampai pada tahap komersial.
Apa yang menyebabkan dari begitu banyak ide inovasi, hanya
sedikit yang berhasil direalisasikan, masuk ke tahap komersial? Tim Harford
(2012) menjawabnya lewat kisah yang diangkat dari era Perang Dunia II.
Ini tentang Supermarine Spitfire, pesawat tempur kursi tunggal
yang dibuat British Aircraft. Pesawat itulah yang memenangkan Inggris dalam
Battle of Britain (1940–1941) semasa Perang Dunia II –dari ambisi kolonisasi
tentara Nazi Jerman.
Padahal, dulu pesawat Spitfire tak masuk hitungan. Kalangan
militer Inggris lebih suka pesawat bomber yang berukuran besar dan mampu
terbang dalam jarak jauh. Namun, menghadapi serbuan Jerman, pesawat berukuran
kecil dan gesit, meski hanya mampu terbang dalam jarak pendek, ternyata lebih
ampuh. Pesawat itulah yang melumpuhkan gerak maju pasukan Jerman.
Asal Anda tahu, ketika itu Spitfire tidak didesain secara
terencana dan dengan visi militer yang jauh ke depan. Itu jenis pesawat yang
ketika itu bahkan tidak diperhitungkan oleh British Aircraft. Namun, untung
ketika itu Inggris memiliki sejumlah teknisi militer eksentrik, berdedikasi,
dan kerap berpikir out of the box. Merekalah –yang dengan dukungan dana dari
jutawan eksentrik Dame Fanny Houston– terus mengembangkan pesawat Spitfire.
Apa inspirasi yang bisa dipetik dari kisah tersebut?
Menurut Harford, kemenangan Inggris tidak ditentukan rencana A
yang brilian, melainkan adanya budaya yang masih memberikan ruang kepada
orang-orang tertentu, yang dengan penuh dedikasi mengembangkan rencana B, C,
dan seterusnya. Orang-orang itulah yang ternyata menjadi penyelamat Inggris.
Medioker
Berapa banyak di antara kita yang memberikan ruang bagi
orang-orang eksentrik seperti kasus itu? Saya menduga tidak banyak. Sistem
pendidikan kita, misalnya, masih didesain untuk orang-orang dengan otak kiri.
Anak-anak kita dididik untuk terampil berhitung dan mengolah angka, mampu
menulis dengan rapi, cermat dalam membaca, serta mampu menganalisis dengan
logika.
Bagaimana mereka yang berotak kanan? Nyaris tidak mendapat
tempat. Di sana hanya ada sedikit ruang untuk mengembangkan selera musik dan
seni, untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas –beberapa ciri yang
dimiliki anak-anak berotak kanan.
Cobalah Anda periksa mata pelajaran anak-anak di sekolah.
Sedikit sekali waktu yang dialokasikan untuk pelajaran tentang seni dan
sastra. Juga seni musik. Bahkan, sama sekali tak ada pelajaran yang mendidik
anak-anak untuk mengapresiasi seni lukis dan seni pahat atau kerajinan lain.
Jadi, boleh dibilang sistem pendidikan kita bisa ”membunuh”
kreativitas anak-anak sejak masuk
sekolah. Padahal, kreativitas adalah akar dari semua inovasi.
Dan, inovasi-inovasi besar hanya muncul jika kita memberikan
ruang yang cukup untuk kegagalan. Seperti kata Thomas Alva Edison, ”Saya tidak gagal. Saya malah sudah
menemukan 10.000 cara, tetapi belum sepenuhnya berhasil.” Padahal, kata
Robert F. Kennedy, hanya orang yang berani gagal total yang mampu meraih
sukses besar.
Celakanya, masyarakat kita punya problem besar di sini. Kita
takut gagal, tetapi anehnya sekaligus takut berhasil. Kita enggan berada di
puncak, tetapi juga tidak mau berada di bawah. Kita lebih suka di
tengah-tengah. Contoh sederhana, cobalah Anda amati di seminar-seminar.
Kebanyakan peserta, meski dia datang lebih dulu, lebih suka duduk di tengah.
Bukan mengambil posisi di barisan paling depan meski enggan juga duduk di
barisan paling belakang. Itulah mentalitas medioker. Bukan mentalitas
pemenang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar