Selasa, 05 Agustus 2014

Berani Gagal

                                                           Berani Gagal

Rhenald Kasali  ;   Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
JAWA POS, 03 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

BAGI penggemar kisah fiksi ilmiah yang dibesarkan pada 1970-an, abad ke-21 barangkali menjadi abad yang paling mengecewakan. Sebab, sampai kini belum ada kisah fiksi ilmiah yang menjadi kenyataan. Misalnya, belum ada mobil yang bisa terbang untuk mengatasi kemacetan. Juga belum ada perjalanan ulang-alik komersial dari bumi ke bulan atau ke planet-planet lain.

Bahkan untuk inovasi-inovasi yang mendasar sekalipun. Misalnya bahan bakar ramah lingkungan sebagai alternatif bahan bakar fosil. Kalaupun ada, masih jauh untuk sampai pada tahap komersial.

Apa yang menyebabkan dari begitu banyak ide inovasi, hanya sedikit yang berhasil direalisasikan, masuk ke tahap komersial? Tim Harford (2012) menjawabnya lewat kisah yang diangkat dari era Perang Dunia II.

Ini tentang Supermarine Spitfire, pesawat tempur kursi tunggal yang dibuat British Aircraft. Pesawat itulah yang memenangkan Inggris dalam Battle of Britain (1940–1941) semasa Perang Dunia II –dari ambisi kolonisasi tentara Nazi Jerman.

Padahal, dulu pesawat Spitfire tak masuk hitungan. Kalangan militer Inggris lebih suka pesawat bomber yang berukuran besar dan mampu terbang dalam jarak jauh. Namun, menghadapi serbuan Jerman, pesawat berukuran kecil dan gesit, meski hanya mampu terbang dalam jarak pendek, ternyata lebih ampuh. Pesawat itulah yang melumpuhkan gerak maju pasukan Jerman.

Asal Anda tahu, ketika itu Spitfire tidak didesain secara terencana dan dengan visi militer yang jauh ke depan. Itu jenis pesawat yang ketika itu bahkan tidak diperhitungkan oleh British Aircraft. Namun, untung ketika itu Inggris memiliki sejumlah teknisi militer eksentrik, berdedikasi, dan kerap berpikir out of the box. Merekalah –yang dengan dukungan dana dari jutawan eksentrik Dame Fanny Houston– terus mengembangkan pesawat Spitfire.

Apa inspirasi yang bisa dipetik dari kisah tersebut?

Menurut Harford, kemenangan Inggris tidak ditentukan rencana A yang brilian, melainkan adanya budaya yang masih memberikan ruang kepada orang-orang tertentu, yang dengan penuh dedikasi mengembangkan rencana B, C, dan seterusnya. Orang-orang itulah yang ternyata menjadi penyelamat Inggris.

Medioker

Berapa banyak di antara kita yang memberikan ruang bagi orang-orang eksentrik seperti kasus itu? Saya menduga tidak banyak. Sistem pendidikan kita, misalnya, masih didesain untuk orang-orang dengan otak kiri. Anak-anak kita dididik untuk terampil berhitung dan mengolah angka, mampu menulis dengan rapi, cermat dalam membaca, serta mampu menganalisis dengan logika.

Bagaimana mereka yang berotak kanan? Nyaris tidak mendapat tempat. Di sana hanya ada sedikit ruang untuk mengembangkan selera musik dan seni, untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas –beberapa ciri yang dimiliki anak-anak berotak kanan.

Cobalah Anda periksa mata pelajaran anak-anak di sekolah. Sedikit sekali waktu yang dialokasikan untuk pelajaran tentang seni dan sastra. Juga seni musik. Bahkan, sama sekali tak ada pelajaran yang mendidik anak-anak untuk mengapresiasi seni lukis dan seni pahat atau kerajinan lain.

Jadi, boleh dibilang sistem pendidikan kita bisa ”membunuh” kreativitas anak-anak sejak  masuk sekolah. Padahal, kreativitas adalah akar dari semua inovasi.

Dan, inovasi-inovasi besar hanya muncul jika kita memberikan ruang yang cukup untuk kegagalan. Seperti kata Thomas Alva Edison, ”Saya tidak gagal. Saya malah sudah menemukan 10.000 cara, tetapi belum sepenuhnya berhasil.” Padahal, kata Robert F. Kennedy, hanya orang yang berani gagal total yang mampu meraih sukses besar.

Celakanya, masyarakat kita punya problem besar di sini. Kita takut gagal, tetapi anehnya sekaligus takut berhasil. Kita enggan berada di puncak, tetapi juga tidak mau berada di bawah. Kita lebih suka di tengah-tengah. Contoh sederhana, cobalah Anda amati di seminar-seminar. Kebanyakan peserta, meski dia datang lebih dulu, lebih suka duduk di tengah. Bukan mengambil posisi di barisan paling depan meski enggan juga duduk di barisan paling belakang. Itulah mentalitas medioker. Bukan mentalitas pemenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar