Rabu, 20 Agustus 2014

Gapura

                                                                    Gapura

Musyafak  ;   Staf Balai Litbang Agama Semarang
KORAN TEMPO, 20 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Menjelang perayaan hari ulang tahun kemerdekaan RI, biasanya masyarakat sibuk merias desa atau kompleks huniannya. Agustus adalah bulan ketika suasana permukiman disegarkan. Parit atau selokan dibersihkan, umbul-umbul dipasang di sisi jalan, pagar-pagar dicat ulang, juga lampu kerlap-kerlip dipasang. Gapura pun kerap kena sentuhan warna baru atau hiasan anyar. Bahkan gapura kerap menjadi perhatian utama untuk disolek seindah mungkin.

Banyak dalih mengapa pengindahan gapura didahulukan. Sebagai pintu masuk–keluar kampung atau lingkungan perumahan, gapura adalah hal pertama yang menyapa mata orang. Dengan gapura, citra muka suatu area dirancang. Sebagai garis batas wilayah, gapura sekaligus menjadi penanda hidupnya sebuah komunitas. Bentuk, warna, dan aksesori gapura adalah penanda identitas kultural bagi komunitas di dalamnya. Status sosial ekonomi suatu komunitas juga bisa ditangkap lewat gapura.

Menurut riwayat (Wardhana, 2008), gapura atau pintu gerbang sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Gapura Bajangratu, bagian dari Situs Trowulan, adalah bukti historis keberadaan gapura di zaman baheula.

Gapura, dengan bermacam desain arsitekturalnya, dibangun untuk menandai batas wilayah, pintu gerbang kerajaan atau tempat ibadah, juga pintu pertama memasuki rumah. Tiap-tiap daerah punya corak gapura yang khas. Gapura di Jawa lain dengan di Bali. Gerbang masjid berbeda dengan gapura kelenteng atau pura.

Kini bentuk dan corak gapura kian variatif. Gapura bisa mewah dengan tekstur dan bahan bangunan yang wah. Bisa pula sesederhana portal besi atau beton. Fungsi gapura juga semakin beragam. Pada waktu yang sama, satu gapura bisa berfungsi sebagai batas atau tanda nama wilayah, pos keamanan, monumen, dan tempat iklan.

Tapi gapura bukan sekadar perkara bentuk fisik ataupun fungsi praktis semata. Selain identitas kultural, gapura memuat anasir-anasir sosial dan politik lainnya. Gapura adalah infrastruktur untuk menjaga tertib sosial. Gapura menjadi sarana penubuhan kekuasaan dan penyuntikan ideologi. Ketika Orde Baru berkuasa, banyak gapura dibubuhi tulisan butir-butir P4, slogan keluarga berencana, atau program-program pokok PPK.

Bagi suatu kawasan, gapura memang pintu masuk. Tapi, di waktu yang sama, gapura juga mencegah orang-orang tertentu agar tidak masuk. Semacam benteng, gapura memproteksi potensi gangguan dari luar. Bagi sebuah kawasan dan komunitasnya, gapura adalah pengukuh tata tertib yang mesti dipatuhi. Kita mudah menjumpai hal itu pada gapura-gapura gang, kampung, atau perumahan yang memperingatkan pemulung atau pengamen untuk tidak masuk.

Begitulah gapura berfaedah untuk menyaring dan memilah orang yang datang. Satu sisi gapura menyambut tamu, dalam waktu yang sama juga menolak mereka yang disinyalir berpotensi mengoyak rajutan keamanan dan kenyamanan.

Gapura juga bisa merepresentasikan ideologi serta afiliasi politik suatu komunitas. Warna dan simbol-simbol yang dilekatkan pada gapura tidak jarang mengusung ide dan cita politik khusus.

Sampai hari ini gapura dibangun dalam pelbagai bentuk. Orang-orang yang membuatnya hendak melesakkan berbagai simbol kultural, kode sosial, juga ide politik. Gapura bukan hanya besi atau beton yang mati. Gapura hidup dan bicara mengudarkan makna yang kadang tidak kita sadari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar