Agenda
Pendidikan Kita
Mohammad Abduhzen ;
Direktur Eksekutif
Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua
Litbang PB PGRI
|
KOMPAS,
01 Agustus 2014
Dari
wacana yang berkembang terkait visi misi pasangan calon presiden 2014, baik
bidang ekonomi, politik, maupun sosial budaya, pada ujungnya kembali ke
persoalan kualitas manusia. Maka, perbaikan nasib bangsa ke depan akan
bergantung pada keberhasilan upaya pendidikan.
Bahwa
pendidikan itu penting telah sering dinyatakan. Bahkan, konstitusi kita telah
menetapkan negara memprioritaskan
anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD. Namun, praktiknya
selama ini, pembangunan pendidikan belum menjadi prioritas kinerja
pemerintah.
Pemerintah
lebih fokus pada ekonomi, politik, dan hukum dalam arti sempit. Pembangunan
tidak berbasis dan berperspektif kebudayaan sehingga sering kali mengabaikan
aspek kemanusiaan dan menelantarkan pendidikan. Walhasil, manusia Indonesia
kini jadi pokok masalah.
Suksesi
kali ini kiranya jadi momentum koreksi. Pemerintahan baru diharapkan tak
sekadar meneruskan pendekatan dan orientasi pembangunan yang sudah nyata
kurang maslahat bagi bangsa. Pembangunan manusia mesti jadi ”panglima”, dan
pendidikan sebagai episentrum bagi gerak sentrifugal pencapaian tujuan
nasional. Untuk itu, sistem pendidikan kita memerlukan perombakan (revolusi?)
total, fundamental, dan gradual.
Fundamental dan
struktural
Pertama,
penyelenggaraan pendidikan harus jadi bagian strategi pembangunan kebudayaan.
Karena kebudayaan berpusat pada manusia, kita perlu konsep dan tafsir baru
tentang manusia Indonesia yang hendak dibangun dalam konteks ruang-waktu kini
dan mendatang. Kita, barangkali, dapat memulainya dari meredefinisi dan
mengelaborasi term yang telah familier, seperti manusia pancasilais, manusia
seutuhnya, atau insan kamil.
Rumusan
tentang manusia kita harus jadi potret yang jelas agar dapat diderivasi
secara obyektif dan rasional bagi operasi pendidikan. Belakangan, pendidikan
kita dipenuhi wacana pendidikan karakter, tetapi tanpa imaji tentang watak
dan budaya yang hendak diwujudkan. Akibatnya, pendidikan karakter seolah
hanya ”sesuatu”, padahal sejatinya meliputi ”semua” proses pendidikan.
Kedua,
operasi pendidikan harus dibuat memiliki keberkaitan yang jelas dan langsung
dengan strategi pembangunan ekonomi. Bagaimanapun, aspirasi paling mendasar
dari adanya pendidikan ialah persoalan-persoalan eksistensial, yaitu agar
sintas dan berkualitas. Efek pendidikan
harus terasa dan nyata bagi keamanan dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam hubungan ini, aktivitas terpenting pendidikan adalah membekali generasi muda dengan seperangkat
kemampuan untuk mobilitas sosial: kerja. Kaum muda bersekolah bukan saja
diberi harapan tentang profesi/pekerjaan apa yang diperolehnya setelah tamat
sesuai bakat dan minatnya, juga punya semangat untuk jadi pekerja yang
baik. Maka, selain diberikan
keterampilan menggunakan dan membuat alat, mereka juga perlu disadarkan
tentang nilai kerja sebagai kemuliaan dan keniscayaan manusiawi.
Ketiga,
membangun politik pendidikan yang kuat dengan mengangkat menteri pendidikan
yang kredibel, mengefektifkan kementerian, dan membentuk komisi pendidikan
nasional. Meski banyak orang pandai
dan baik, dalam kondisi sekarang ini menteri pendidikan sebaiknya bukanlah
representasi dari partai politik atau organisasi sosial keagamaan tertentu.
Pengalaman menunjukkan, menteri seperti itu sukar menghindarkan diri dari
tuntutan dan kepentingan politik praktis dan atau sektarian.
Menteri
pendidikan mendatang hendaknya memiliki ideologi pendidikan yang kuat, bukan
sekadar mengandalkan ambisi dan popularitas. Perubahan-perubahan pendidikan
kita memerlukan kekuatan konseptual dan mental karena ranah pendidikan
berurusan dengan pembentukan pemikiran dengan beragam aliran. Kekuatan mental
sangat diperlukan untuk menghadapi mafia birokrasi dan berbagai kelompok
kepentingan sehubungan dengan kementerian pendidikan mendapatkan (di atas
kertas) porsi anggaran yang terbesar dan semakin besar.
Kementerian
pendidikan harus direstrukturisasi agar lebih efektif sesuai kebutuhan dan
tujuannya. Tumpang tindih bagian yang menangani urusan, di antaranya guru;
adanya politeknik, akademi komunitas, dan balai latihan kerja; serta
banyaknya kementerian dan lembaga tinggi lain yang menyelenggarakan
pendidikan akademis (bukan kedinasan) adalah bagian dari inefisiensi dan
ketidakefektifan yang harus segera dibenahi. Apakah pendidikan perlu
diresentralisasi atau tetap desentralisasi merupakan agenda mendesak untuk
dikaji dan diputuskan. Sementara rendahnya produktivitas dan kualitas karya
ilmiah serta otonomi perguruan tinggi lebih rasional bila diatasi dengan
menghidupkan budaya akademik dan mereduksi intervensi kementerian daripada
menuruti romantisisme memisahkan perguruan tinggi dengan kementerian
pendidikan dan kebudayaan.
Selain
itu, pendidikan kita juga membutuhkan tim pemikir yang berfungsi mengkaji
gagasan-gagasan personal atau komunal tentang pendidikan sebelum menjadi
kebijakan. Bidang pendidikan memiliki kompleksitas yang tinggi karena
berhubungan dengan konstelasi kemanusiaan dalam dimensi ruang dan waktu kini,
lampau, dan mendatang. Meski demikian,
kebanyakan orang merasa paham sehingga sering kali melontarkan gagasan pendidikan yang sepintas lalu
tampak logis dan baik, tetapi ketika disorot dalam perspektif ilmu pendidikan
yang holistis, tampak kesalahannya.
Oleh
sebab itu, setiap kebijakan pendidikan memerlukan banyak pandangan, dan
sangat rawan jika digantungkan hanya pada satu orang atau beberapa orang yang
kebetulan memiliki otoritas politik saja. Para pemikir pendidikan perlu
dilembagakan secara formal dalam dewan atau komisi independen di bawah presiden.
Keempat,
pada tataran operasional perubahan perlu dispesifikasi untuk perluasan akses
dan peningkatan kualitas. Untuk membuka akses seluas-luasnya terhadap
pendidikan, terutama tingkat dasar dan menengah, pemerintah yang akan datang
wajib secara konsekuen mengimplementasikan Pasal 34 Ayat (2) UU Sisdiknas: ”Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa
memungut biaya”.
Penerapan
ini tak boleh setengah hati dan perlu kontrol yang ketat agar sekolah
benar-benar tidak menarik dana investasi dan operasi dari masyarakat. Untuk
itu, perlu penelitian cermat dan penetapan yang tepat tentang unit pembiayaan
operasional sekolah.
Peran
pemerintah dalam pendanaan pendidikan tinggi harus diperbesar agar masyarakat
lebih mudah mengaksesnya. Peluang-peluang untuk terjadinya korporatisasi
perguruan tinggi (negeri) harus dipersempit karena pada akhirnya otonomi
pembiayaan itu akan bermuara pada pungutan terhadap orangtua.
Skema
pembiayaan pendidikan harus diubah dari paradigma ”belas-kasih” dengan pola
bantuan dan beasiswa ke paradigma ”kewajiban.” Terkait hal ini, diperlukan
revisi UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi, khususnya berkenaan pendanaan
pendidikan oleh masyarakat yang seharusnya ditekankan pada sifatnya yang
filantropis (kedermawanan).
Upaya peningkatan mutu
Untuk
peningkatan mutu pendidikan, pertama, pemerintah harus merestrukturisasi
jenis dan jenjang pendidikan yang ada. Perubahan ini diperlukan untuk
penyesuaian dengan strategi pembangunan ekonomi dan lapangan kerja. Pengelolaan
kekayaan alam dan budaya kita memerlukan studi dan pendekatan ”ilmiah” agar
lebih memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Kedua,
perubahan desain dasar pendidikan menghendaki perubahan kurikulum dan metode
pembelajaran. Kurikulum harus dibuat lebih rasional, simpel, dan efektif.
Metode tematik integratif yang ada sekarang harus disistematisasi serta
diperluas penggunaannya dengan mengacu pada Pasal 1 Ayat (1) UU Sisdiknas.
Ketiga,
mendayagunakan profesionalisme pendidik dengan menata kembali sistem
rekrutmen, model pendidikan dan pelatihan guru/dosen pra- dan dalam jabatan.
Redesain lembaga pendidikan tenaga kependidikan dan revitalisasi lembaga
penjaminan mutu pendidikan, baik kelembagaan maupun substansinya, sangat
penting dan mendesak. Selain menyedot dana sangat besar, upaya
profesionalisme guru merupakan jantung perbaikan kualitas pendidikan. Oleh
sebab itu, pemerintah harus memastikan langkah ini benar-benar terukur dan
bermanfaat.
Keempat,
menghidupkan budaya akademik dan mendebirokratisasi suasana dalam lembaga
pendidikan. Istilah akademik mengacu pada sesuatu yang terkait kebenaran
secara logis dan empiris. Aktivitas pada lembaga pendidikan kita masih jauh
dari ilmiah, baik mengacu pada ilmu pengetahuan sebagai produk yang harus
dipergunakan dan dipelajari maupun yang menempatkan ilmu pengetahuan sebagai
proses. Suasana pendidikan kita masih didominasi budaya feodal yang
mengutamakan birokratisme dan komersialisme daripada sikap ilmiah sehingga
tidak mengalami kemajuan secara kualitatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar