Mendesak,
Gencatan Senjata di Gaza
Makarim Wibisono ;
Pelapor Khusus PBB
mengenai Situasi HAM
di
Daerah Palestina yang Diduduki sejak 1967
|
KOMPAS,
01 Agustus 2014
Lebih
dari 985 warga Palestina terbunuh di Gaza sejak 7 Juli 2014 dan lebih dari
4.000 warga terluka akibat operasi militer Israel yang disebut Operative Edge. Sasaran serangan
ditujukan ke lebih dari 2.900 target di Gaza. Sebaliknya, jatuh 28 korban
warga Israel—dua di antaranya penduduk sipil—akibat serangan lebih dari 2.000
roket dan mortir yang diluncurkan ke sasaran di Israel oleh pejuang Hamas dan
Jihad Islamiyah. Lebih dari 73 persen warga Palestina yang terbunuh di Gaza
adalah penduduk sipil dan sepertiga di antaranya adalah anak-anak.
Daerah
permukiman dan kompleks perumahan ikut jadi target pemboman. Sebagai contoh,
Israel melakukan serangan udara pada 21 Juli 2014, melumatkan perumahan di
Gaza timur dan 10 anggota keluarga al-Qassas terbunuh. Semuanya penduduk
sipil, termasuk enam anak-anak. Tak lama kemudian, serangan meratakan rumah
di Gaza pusat, menewaskan 10 orang dewasa dan anak-anak.
Lebih
dari separuh penduduk Shujaiya di Gaza timur terpaksa meninggalkan rumahnya
dan mengungsi di sekolah-sekolah yang dikelola oleh The United Nations Relief and Work Agency (UNRWA), bergabung
dengan 135.000 pengungsi lainnya. Tercatat 120 orang yang tidak ikut
meninggalkan rumahnya tewas kejatuhan reruntuhan rumah akibat serangan bom
Israel. Keadaan semakin memprihatinkan karena sekolah UNRWA di Maghazi
termasuk sasaran serangan udara Israel, padahal sekolah ini menampung 300
pengungsi.
Kondisi sosial ekonomi
Penduduk
Gaza sebenarnya telah mengalami tiga kali konflik bersenjata yang membawa
banyak korban jiwa, yaitu konflik 2009, 2012, dan 2014. Hal ini menimbulkan
tragedi kemanusiaan yang mencemaskan akibat blokade yang berkepanjangan sejak
tujuh tahun lalu. Blokade Israel telah melumpuhkan ekonomi Gaza, menimbulkan
tingkat pengangguran yang tinggi, dan ketergantungan pada bantuan
internasional. Kelangkaan pangan menjadi masalah nutrisi dan kesehatan yang
serius, di mana 67 persen kebutuhan pangan penduduk Gaza dipenuhi oleh PBB.
Kondisi
infrastruktur yang minimal di Gaza diperburuk rangkaian serangan Israel, baik
dari udara maupun pemboman lewat kapal perang yang merapat di pantai Gaza.
Akibatnya, saluran air bersih dan fasilitas sanitasi bagi 1,2 juta penduduk
Gaza rusak parah. Aliran listrik hanya menyala 4 jam sehari. Kalau gencatan
senjata tidak segera terjadi, diperkirakan akan memperparah fasilitas aliran
listrik dan infrastruktur lain yang ada di Gaza.
Tanggapan
internasional
Pemerintah
Israel selalu mengungkapkan, aksi militernya adalah usaha melindungi warganya
dari serangan roket yang diluncurkan Hamas dan Jihad Islamiyah dari Gaza.
Alasan ini dipertanyakan validitasnya karena status Israel sebagai penguasa
pendudukan yang menduduki wilayah lain dan jumlah korban dari aksi bela diri
Israel kebanyakan penduduk sipil, termasuk anak-anak dan perempuan.
Memang
benar, rakyat Palestina memiliki hak untuk melawan kekuatan pendudukan. Meski
demikian, hal ini tidak membenarkan diluncurkannya serangan roket ke arah
penduduk sipil di Israel. Akan tetapi, serangan roket tersebut tidak dapat
dijadikan dalih untuk menyerang Gaza secara tidak proporsional dengan
mengerahkan gabungan serangan darat, laut, dan udara.
Penderitaaan
penduduk Gaza akibat serangan itu bertentangan dengan ketentuan hukum
internasional, khususnya hukum HAM internasional dan hukum humaniter
internasional. Dari perspektif hukum humaniter internasional, secara jelas
dibedakan antara tanggung jawab prajurit bersenjata dan penduduk sipil yang
perlu dilindungi keselamatannya. Di samping itu, hukum humaniter internasional
menegakkan prinsip-prinsip proporsional dan pelaksanaan serangan militer
dengan kehati-hatian untuk menghindarkan korban penduduk sipil.
Bagaimana
usaha PBB dan masyarakat internasional untuk menghentikan pertumpahan darah
di Gaza? Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan resolusi pada 12 Juli 2014,
meminta para pihak untuk melakukan gencatan senjata dan melakukan usaha
menghentikan jatuhnya korban penduduk sipil. Dewan HAM PBB telah mengeluarkan
Resolusi No S-21/L-1 tanggal 23 Juli 2014, yang membentuk Komisi Penyelidikan
(Commission of Inquiry) untuk
meninjau situasi pelanggaran HAM di lapangan.
Fakta
menunjukkan, banyak resolusi DK PBB yang bersifat mengikat tak diindahkan
Israel. Demikian juga Komisi Penyelidikan yang dibentuk di masa lalu tak
dapat menjalankan fungsinya dengan baik karena tidak mendapat akses ke
wilayah Palestina yang diduduki. Bila hal ini terus berkepanjangan, korban
penduduk sipil, termasuk anak-anak dan perempuan, terus berjatuhan dan
mencoreng nurani kita.
Perlindungan
internasional
Keadaan
status quo yang terus memakan
korban jiwa bukanlah pilihan akal sehat. Perlu dicarikan alternatif lain yang
bisa mengakhiri lingkaran kekerasan di wilayah Palestina yang diduduki sejak
1967. Akar permasalahan sengketa Israel-Palestina adalah belum adanya skema
kesepakatan politik yang dapat diterima semua pihak. Dalam kaitan ini, proses
perundingan menuju penyelesaian dua negara yang hidup saling berdampingan
secara damai perlu didorong.
Gencatan
senjata di Gaza harus segera dimulai dan blokade atas Gaza harus segera
dihentikan agar tidak ada persepsi bahwa penduduk Gaza akan dimusnahkan
secara perlahan-lahan. Langkah-langkah ini akan menciptakan kondisi kondusif
bagi proses perundingan yang dapat menghasilkan Peta Jalan Perdamaian yang
jelas, adil, seimbang, dan saling menguntungkan. Proses ini selalu terganjal
dengan dilanjutkan program pembangunan perumahan di Tepi Barat yang sangat
mengganggu perasaan warga Palestina.
Menghadapi
terus berjatuhannya korban penduduk sipil dan anak-anak di Gaza, Menlu
Palestina Dr Riad Malki yang menghadiri Sidang Dewan HAM PBB di Jenewa
bertanya: sampai jumlah berapa korban warga Palestina yang diinginkan agar
gencatan senjata disepakati mengakomodasi kepentingan semua pihak? Sementara
itu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada 21 Juli 2014 telah meminta Sekjen
PBB agar wilayah negara Palestina diletakkan dalam sistem perlindungan
internasional oleh PBB. Tujuannya agar korban Palestina tidak akan lagi
berjatuhan karena sistem ini akan menjamin perlindungan rakyat Palestina.
Permintaan
ini perlu didukung dan Indonesia perlu berada di garis depan untuk
menciptakan sistem perlindungan internasional PBB di Palestina. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar