10
‘Jangan’ untuk Kabinet Jokowi
Asvi Warman Adam ; Peneliti senior LIPI
|
KORAN
TEMPO, 08 Agustus 2014
Bila tidak ada aral, 22 Oktober 2014, Jokowi akan dilantik
sebagai presiden. Karena itu, upaya pencarian para menteri sebaiknya dimulai
sejak sekarang. Ada beberapa resep "jangan" yang sebaiknya
diterapkan Jokowi.
Pertama, jangan tersandera oleh mitra koalisi. Pengalaman
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam penyusunan kabinet sebelumnya adalah
mimpi buruk.
Kedua, jangan sampai jumlah pengurus partai melebihi kelompok
profesional. Pada dua kali periode pemerintahan SBY, jumlah wakil partai itu
separuh dari anggota kabinet. Untuk kali ini, diharapkan jumlah orang partai
itu tidak lebih dari 20 persen.
Ketiga, seandainya ada mitra koalisi yang mengisi kabinet, tidak
harus ketua umum. Seandainya ketua umum partai yang diangkat menjadi menteri,
sebaiknya ia meninggalkan jabatannya yang sangat strategis di partai. Tentu
ketua umum itu mendapat mandat dari kongres partai tersebut. Sementara itu,
sebagai menteri, ia harus tunduk dan bertindak sebagai pembantu presiden.
Tidak dapat dihindari terjadi konflik kepentingan di sini, terutama menjelang
pemilihan umum, saat sang menteri harus berkampanye untuk partainya.
Selain itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa kedudukan menteri
itu menjadi sumber pemasukan untuk partai yang bersangkutan. Karena itu,
ketergantungan partai akan sumber dana ini perlu dipecahkan, misalnya, dengan
pendanaan dari APBN. Sebagai contoh, Rp 1.000 atau lebih untuk setiap satu
suara yang diperoleh partai tersebut dalam pemilihan umum.
Keempat, jumlah menteri itu maksimal 34 orang kebetulan sama
dengan jumlah provinsi di Indonesia. Namun kabinet itu bukan sampel
statistik, jadi tidak harus memperhatikan secara mutlak proporsi kelamin
lelaki-perempuan, tua-muda, suku bangsa, dan agama sesuai dengan sensus
penduduk yang diadakan Badan Pusat Statistik. Jika mereka berasal dari Sabang
sampai Merauke, tidaklah wajib semua etnis dari Aceh sampai Papua dimasukkan.
Seandainya tidak ada orang Minang menjadi menteri, seharusnya hal itu tidak
menyebabkan warga Sumatera Barat kecewa.
Kelima, calon menteri itu jangan pernah tersangkut perkara
korupsi. Dalam hal ini, tentu presiden terpilih dapat meminta informasi
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan.
Keenam, calon menteri itu jangan tersangkut kasus pelanggaran
HAM berat. Sebaiknya Jokowi menanyakan hal ini kepada Komnas HAM yang tentu
memilik data lengkap.
Ketujuh, the right man in
the right place. Jangan mengangkat anggota Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai menteri apabila lebih cocok sebagai anggota parlemen. Jangan sungkan
mengangkat kembali tokoh yang pernah menjadi menteri pada masa pemerintahan
SBY yang dinilai berhasil selama menjalankan tugasnya. Pembenahan BUMN masih
sangat perlu diteruskan. Selain itu, ada wakil menteri yang bisa dipromosikan
sebagai anggota kabinet, dengan catatan jumlah wakil menteri, seandainya
masih dipertahankan, akan berkurang. Dirjen di kementerian, gubernur, bupati,
wali kota, intelektual kampus/lembaga penelitian, dan direktur BUMN menjadi
sumber daya untuk calon anggota kabinet mendatang.
Kedelapan, Kementerian Agama seyogianya jangan disandera
sehingga menjadi jatah NU atau Muhammadiyah. Bahkan, untuk kondisi sekarang
saat Kementerian Agama memperoleh sorotan dalam kasus korupsi, seyogianya
jabatan menteri dipegang oleh tokoh yang betul-betul jujur dan antikorupsi.
Menteri Agama yang sekarang saya kira memiliki kriteria tersebut dan secara
kebetulan berasal dari keluarga Nahdliyin (ayahnya pernah menjadi menteri
agama dan tokoh NU).
Kesembilan, jangan mengangkat Menteri Komunikasi dan Informatika
dari mitra koalisi. Seyogianya kementerian ini bertugas sebagai juru bicara
pemerintah, menjembatani komunikasi dan informasi mengenai program pemerintah
kepada rakyat. Tugasnya antara lain sama seperti Departemen Penerangan zaman
Orde Baru, namun dengan cara yang lebih modern dan demokratis. Tugas
kementerian ini bukan sekadar memblokir situs porno, tapi sebaiknya juga
membentuk direktorat jenderal baru, melakukan sosialisasi Pancasila.
Sosialisasi Pancasila yang sebelumnya dilakukan anggota MPR sebaiknya
dialihkan kepada pihak eksekutif.
Kesepuluh, semua kementerian itu penting. Jangan sampai ada
kementerian yang dianggap berada di pinggir. Jangan mengangkat Menteri Pemuda
dan Olahraga sekadar demi membagi-bagi kursi. Seharusnya posisi ini diisi
oleh seorang tokoh energetik. Jakarta akan menjadi tuan rumah Asia Games pada
2018. Setengah abad setelah dibangunnya Gelora Bung Karno dan
diselenggarakannya Asian Games IV di Jakarta pada 1962, kita harus bisa
kembali meraih posisi juara umum kedua.
Tentu saja, sebelum diisi oleh tokoh yang memiliki integritas
dan kapasitas, perbaikan nomenklatur kementerian perlu dilakukan. Prof Dr
Syafii Maarif, misalnya, mengusulkan agar Kementerian Pendidikan dipecah
menjadi dua, yakni Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kementerian
Pendidikan Tinggi dan Ristek. Dalam bayangan saya, kementerian yang terakhir
ini merupakan gabungan dari Dirjen Pendidikan Tinggi, Kementerian Ristek,
LIPI, BPPT, Batan, dan Lapan. Kementerian Kesehatan sebaiknya digabung dengan
BKKBN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar