Dugaan polisi bahwa perampok toko emas di Tubagus Angke, Tambora,
terkait dengan jaringan terorisme hendaknya dilihat sebagai ancaman laten
yang serius pada kedaulatan negara (Kompas, 17/4).
Tak kurang dari 800-an pelaku tindak pidana teroris sejak bom Bali
pertama telah ditangkap aparat, tetapi jaringan mereka terus bermutasi
menjadi kelompok-kelompok kecil yang berbahaya meski nyaris tanpa sosok
pemimpin yang kuat. Keadaan ini sering disebut sebagai gejala ”perlawanan
tanpa pemimpin”.
Konsep ini dikembangkan Ulius Louis Amoss pada awal 1960-an ketika
bertugas sebagai intelijen Amerika yang menghadapi ancaman komunisme di
negaranya. Sistem gerakan ini sering juga disebut dengan struktur sel
phantom: sistem organisasi berbasis sel, tetapi tak mempunyai jalur kontrol
atau perintah yang terpusat. Struktur sel phantom yang terus bermutasi
dalam jaringan terorisme ini terjadi karena faktor internal dan eksternal.
Faktor internal adalah karena sifat dasar dari gerakan ini klandestin
”bawah tanah” dan tandzim sirri ”organisasi rahasia”. Keterbukaan dalam
menjalankan roda gerakan sangatlah sulit terjadi. Rasa curiga antaranggota
dan ketakutan akan adanya penyusupan menjadi dinamika tak terpisahkan dalam
gerakan ini.
Karena itu, jika terjadi kegagalan dalam amaliyah ”operasi”, mereka
selalu mencoba mencari kambing hitam dari anggota mereka sendiri yang
dicurigai tak loyal terhadap garis perjuangan. Sosok seperti Nasir Abas,
mantan Ketua Mantiqi 3 yang menulis buku Membongkar Jamaah Islamiyah, dan Ali Imron, adik almarhum
Amrozi yang menulis buku Ali Imron
Sang Pengebom, bagi kalangan anggota yang masih aktif dalam gerakan
dianggap sebagai pengkhianat karena telah membuka isi perut gerakan.
Vonis sebagai pengkhianat, terutama mereka yang merasa masih setia
pada ideologi gerakan tetapi kecewa kepada pemimpin, mendorong mereka
melakukan operasi mandiri, amaliyah
fardhiah, sebagai upaya pembuktian bahwa mereka bukanlah pengkhianat
seperti ditudingkan kalangan mereka sendiri.
Salah satu contoh dari gejala ini dapat terlihat dari radikalisasi
Abu Yusuf, veteran pelatihan militer Moro
Islamic Liberation Front (MILF), yang terlibat dalam pelatihan militer
di Aceh 2010 dan sekarang mendekam di penjara Nusakambangan. Sebelum
tertangkap, Abu Yusuf selalu dituding sebagai mata-mata hanya karena ia
pernah dibebaskan oleh kepolisian ketika ia tertangkap bersama Adung,
mantan sopir pribadi pendiri Jamaah Islamiyah di Kartosuro, Solo.
Polisi membebaskan Abu Yusuf karena tidak ada bukti kuat
keterlibatannya dalam aksi terorisme di Indonesia. Contoh lain adalah
beberapa kelompok baru yang muncul belakangan ini seperti Al Qaeda
Indonesia di Solo, juga dikarenakan upaya bersih-bersih diri dari tudingan
sebagai mata-mata oleh sang pelaku.
Cara Negara
Mutasi ini juga disebabkan faktor eksternal: cara negara menghadapi
mereka yang cenderung memakai definisi tunggal teroris untuk semua yang
tertangkap dalam kasus ini. Fakta di lapangan menunjukkan, ada tingkat
keterlibatan yang berbeda menjadi seorang teroris. Tak semua pelaku itu
digerakkan motif dan tujuan sama. Misalnya mereka yang terlibat dalam
konflik komunal di Ambon dan Poso jelas digerakkan motif balas dendam
kepada pihak lawan. Pelaku tindak pidana terorisme di Bali dan Jakarta
2002-2009 digerakkan oleh fatwa Osama bin Laden pada 1998 menyerang
kepentingan Amerika di seluruh dunia.
Bahkan, dalam beberapa kasus ada juga pelaku tindak pidana terorisme
yang digerakkan motif ekonomi, seperti terlihat dalam penggelembungan
penjualan senjata api dalam pelatihan militer di Aceh. Almarhum Dulmatin
menerima senjata api dengan harga lebih mahal dua kali lipat dari harga
asli ketika anggota jaringan ini membeli pertama kali dari oknum polisi.
Dengan berbedanya motif ini seharusnya beda pula cara penanganannya. Dengan
disamaratakan cara perlakuan, bahkan dicampur dalam penjara yang sama, mereka
jadi saling kenal, bertukar pikiran, bahkan memunculkan sel baru ketika
mereka di penjara.
Satu contoh dari sel baru ini adalah gerakan Tauhid Wal Jihad
pimpinan Aman Abdurrahman. Oleh kondisi seperti ini terjadi tak kurang dari
28 residivis dalam kasus terorisme sejak bom Bali pertama 2002. Jumlah ini
merupakan 10 persen dari total narapidana teroris yang sudah dibebaskan.
Jangan lupa dalam tahun 2013-2014 akan dibebaskan tak kurang 300-an
narapidana terorisme karena telah menyelesaikan masa tahanan.
Pada hemat penulis, yang harus dilakukan negara menghada- pi gejala
di atas adalah reformasi penjara: mengubah cara pandang enemy-centric approach yang selalu
berpikir bahwa narapidana teroris itu selamanya musuh yang harus
dihancurkan, dan melupakan fakta bahwa mereka itu ada juga yang lelah jadi
teroris. Dalam beberapa hal, negara juga sangat berpengaruh dalam
radikalisasi mereka, seperti yang terlihat dalam video yang beredar di
Youtube baru-baru ini: penyiksaan aparat terhadap tersangka teroris di
Poso. Fakta di lapangan juga menunjukkan, mereka yang terlibat dalam
terorisme ini ada yang berusia sangat muda, seperti terlihat pada jaringan
teroris Klaten. Mereka rata-rata pelajar sekolah menengah atas. Dalam
rangka mencari jati diri, mereka mudah dipengaruhi indoktrinasi senior
mereka.
Di dalam penjara, melalui interaksi intensif dengan keluarga dan
elemen masyarakat sipil, di antara mereka ada yang melakukan refleksi diri
dan menyadari bahwa pilihan sikap mereka ketika remaja justru
kontraproduktif terhadap perkembangan diri mereka. Karena itu, ketika
mereka mengajukan pembebasan bersyarat karena telah menjalani dua pertiga
masa hukuman, seharusnya negara dan masyarakat memberi ruang bagi mereka
berasimilasi dan memulai lembar baru kehidupan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar