Rabu, 20 Maret 2013

Struktur Sel “Panthom” Terorisme Indonesia


Struktur Sel “Panthom” Terorisme Indonesia
Noor Huda Ismail  ;  Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian
KOMPAS, 20 Maret 2013
  

Dugaan polisi bahwa perampok toko emas di Tubagus Angke, Tambora, terkait dengan jaringan terorisme hendaknya dilihat sebagai ancaman laten yang serius pada kedaulatan negara (Kompas, 17/4).

Tak kurang dari 800-an pelaku tindak pidana teroris sejak bom Bali pertama telah ditangkap aparat, tetapi jaringan mereka terus bermutasi menjadi kelompok-kelompok kecil yang berbahaya meski nyaris tanpa sosok pemimpin yang kuat. Keadaan ini sering disebut sebagai gejala ”perlawanan tanpa pemimpin”.

Konsep ini dikembangkan Ulius Louis Amoss pada awal 1960-an ketika bertugas sebagai intelijen Amerika yang menghadapi ancaman komunisme di negaranya. Sistem gerakan ini sering juga disebut dengan struktur sel phantom: sistem organisasi berbasis sel, tetapi tak mempunyai jalur kontrol atau perintah yang terpusat. Struktur sel phantom yang terus bermutasi dalam jaringan terorisme ini terjadi karena faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah karena sifat dasar dari gerakan ini klandestin ”bawah tanah” dan tandzim sirri ”organisasi rahasia”. Keterbukaan dalam menjalankan roda gerakan sangatlah sulit terjadi. Rasa curiga antaranggota dan ketakutan akan adanya penyusupan menjadi dinamika tak terpisahkan dalam gerakan ini.

Karena itu, jika terjadi kegagalan dalam amaliyah ”operasi”, mereka selalu mencoba mencari kambing hitam dari anggota mereka sendiri yang dicurigai tak loyal terhadap garis perjuangan. Sosok seperti Nasir Abas, mantan Ketua Mantiqi 3 yang menulis buku Membongkar Jamaah Islamiyah, dan Ali Imron, adik almarhum Amrozi yang menulis buku Ali Imron Sang Pengebom, bagi kalangan anggota yang masih aktif dalam gerakan dianggap sebagai pengkhianat karena telah membuka isi perut gerakan.
Vonis sebagai pengkhianat, terutama mereka yang merasa masih setia pada ideologi gerakan tetapi kecewa kepada pemimpin, mendorong mereka melakukan operasi mandiri, amaliyah fardhiah, sebagai upaya pembuktian bahwa mereka bukanlah pengkhianat seperti ditudingkan kalangan mereka sendiri.

Salah satu contoh dari gejala ini dapat terlihat dari radikalisasi Abu Yusuf, veteran pelatihan militer Moro Islamic Liberation Front (MILF), yang terlibat dalam pelatihan militer di Aceh 2010 dan sekarang mendekam di penjara Nusakambangan. Sebelum tertangkap, Abu Yusuf selalu dituding sebagai mata-mata hanya karena ia pernah dibebaskan oleh kepolisian ketika ia tertangkap bersama Adung, mantan sopir pribadi pendiri Jamaah Islamiyah di Kartosuro, Solo.

Polisi membebaskan Abu Yusuf karena tidak ada bukti kuat keterlibatannya dalam aksi terorisme di Indonesia. Contoh lain adalah beberapa kelompok baru yang muncul belakangan ini seperti Al Qaeda Indonesia di Solo, juga dikarenakan upaya bersih-bersih diri dari tudingan sebagai mata-mata oleh sang pelaku.

Cara Negara

Mutasi ini juga disebabkan faktor eksternal: cara negara menghadapi mereka yang cenderung memakai definisi tunggal teroris untuk semua yang tertangkap dalam kasus ini. Fakta di lapangan menunjukkan, ada tingkat keterlibatan yang berbeda menjadi seorang teroris. Tak semua pelaku itu digerakkan motif dan tujuan sama. Misalnya mereka yang terlibat dalam konflik komunal di Ambon dan Poso jelas digerakkan motif balas dendam kepada pihak lawan. Pelaku tindak pidana terorisme di Bali dan Jakarta 2002-2009 digerakkan oleh fatwa Osama bin Laden pada 1998 menyerang kepentingan Amerika di seluruh dunia.

Bahkan, dalam beberapa kasus ada juga pelaku tindak pidana terorisme yang digerakkan motif ekonomi, seperti terlihat dalam penggelembungan penjualan senjata api dalam pelatihan militer di Aceh. Almarhum Dulmatin menerima senjata api dengan harga lebih mahal dua kali lipat dari harga asli ketika anggota jaringan ini membeli pertama kali dari oknum polisi. Dengan berbedanya motif ini seharusnya beda pula cara penanganannya. Dengan disamaratakan cara perlakuan, bahkan dicampur dalam penjara yang sama, mereka jadi saling kenal, bertukar pikiran, bahkan memunculkan sel baru ketika mereka di penjara.

Satu contoh dari sel baru ini adalah gerakan Tauhid Wal Jihad pimpinan Aman Abdurrahman. Oleh kondisi seperti ini terjadi tak kurang dari 28 residivis dalam kasus terorisme sejak bom Bali pertama 2002. Jumlah ini merupakan 10 persen dari total narapidana teroris yang sudah dibebaskan. Jangan lupa dalam tahun 2013-2014 akan dibebaskan tak kurang 300-an narapidana terorisme karena telah menyelesaikan masa tahanan.

Pada hemat penulis, yang harus dilakukan negara menghada- pi gejala di atas adalah reformasi penjara: mengubah cara pandang enemy-centric approach yang selalu berpikir bahwa narapidana teroris itu selamanya musuh yang harus dihancurkan, dan melupakan fakta bahwa mereka itu ada juga yang lelah jadi teroris. Dalam beberapa hal, negara juga sangat berpengaruh dalam radikalisasi mereka, seperti yang terlihat dalam video yang beredar di Youtube baru-baru ini: penyiksaan aparat terhadap tersangka teroris di Poso. Fakta di lapangan juga menunjukkan, mereka yang terlibat dalam terorisme ini ada yang berusia sangat muda, seperti terlihat pada jaringan teroris Klaten. Mereka rata-rata pelajar sekolah menengah atas. Dalam rangka mencari jati diri, mereka mudah dipengaruhi indoktrinasi senior mereka.

Di dalam penjara, melalui interaksi intensif dengan keluarga dan elemen masyarakat sipil, di antara mereka ada yang melakukan refleksi diri dan menyadari bahwa pilihan sikap mereka ketika remaja justru kontraproduktif terhadap perkembangan diri mereka. Karena itu, ketika mereka mengajukan pembebasan bersyarat karena telah menjalani dua pertiga masa hukuman, seharusnya negara dan masyarakat memberi ruang bagi mereka berasimilasi dan memulai lembar baru kehidupan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar