Reaksi pemerintah (pusat) terhadap peristiwa penembakan delapan anggota
Tentara Nasional Indonesia dan warga sipil yang terjadi di Papua pada
Februari lalu seakan-akan lagu lama yang dinyanyikan kembali.
Hampir dalam setiap kejadian menyangkut Papua, pemerintah (pusat)
cepat bereaksi. Mengadakan rapat, mengeluarkan pernyataan, menjanjikan
komunikasi konstruktif, dan mencuatkan wacana untuk mengakomodasi keinginan
menyelesaikan konflik Papua dengan dialog. Namun, satu per satu reaksi yang
selalu dilakukan ”segera” itu dalam perjalanan waktu menguap begitu saja.
Dalam kurun sembilan tahun Susilo Bambang Yudhoyono memimpin negeri
ini setidaknya enam kali ia melontarkan pernyataan (resmi) mengenai dialog
untuk menyelesaikan konflik Papua. Data ini saya peroleh melalui
penelusuran di internet berupa publikasi media cetak dan media elektronik.
Siapa pun dengan mudah mendapatkan keenam pernyataan Presiden SBY tersebut.
Yang pertama disampaikan saat ia baru memimpin negeri ini,
berpasangan dengan Jusuf Kalla, pada akhir 2004. Isinya: ”Peme- rintah
berkeinginan menyelesaikan masalah Papua dengan cara damai, adil, dan
bermartabat dengan menitikberatkan dialog dan persuasi.”
Yang kedua disampaikan dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2005:
”Penyelesaian masalah Papua akan dilakukan secara damai, mengedepankan
dialog, pendekatan persuasif, dan pelaksanaan otonomi khusus secara
konsisten sebagai solusi adil, menyeluruh, dan bermartabat. Pemerintah tak
akan mengundang dan memberi peluang campur tangan asing.”
Yang ketiga dalam pidato kenegaraan 2010, SBY kembali me- ngatakan,
”Pemerintah dengan saksama terus mempelajari dina- mika yang ada di Papua,
dan akan terus menjalin komunikasi yang konstruktif dalam pembangunan Papua
yang lebih baik.”
Yang keempat pada pidato kenegaraan 2011. SBY mengatakan, ”Menata Papua dengan hati adalah kunci
dari semua langkah untuk menyukseskan pembangunan Papua.”
Yang kelima saat rapat kabinet September 2011, ”Dialog antara pemerintah pusat dan saudara kita di Papua itu
terbuka. Kita mesti berdialog, dialog terbuka untuk mencari solusi dan opsi
mencari langkah paling baik selesaikan masalah Papua.”
Yang keenam saat bertemu dengan Persekutuan Gereja-Gereja di Tanah
Papua pada 1 Februari 2012. Di sana Presiden SBY menyatakan bahwa
pemerintah mendukung dan berkeinginan menyelesaikan konflik Papua melalui
cara dialog.
Itu baru pernyataan Presiden. Masih ada pernyataan menteri, staf
khusus, dan orang atau pihak lain yang ada di sekelilingnya. Pada saat yang
sama dalam kurun yang sama nyawa manusia di Papua melayang, baik yang tidak
berdosa maupun yang ”berdosa”.
Saya beri tanda petik pada kata berdosa karena bagi pihak tertentu
pelenyapan nyawa itu legal, dibolehkan, sehingga mereka merasa berhak,
wajib, bahkan mendapat apresiasi serta penghargaan. Padahal, sejatinya,
semua yang menjadi korban adalah anak bangsa Indonesia yang tercinta.
Kekhawatiran Berdialog
Yang sering muncul ke permukaan mengenai alasan sulitnya dialog
diselenggarakan ialah tidak ada representasi atau wakil masyarakat Papua.
Pembanding rujukannya adalah Dialog Damai Aceh. Di Aceh, struktur
organisasi Gerakan Aceh Merdeka jelas. Kejelasan ini mempermudah
terselenggaranya dialog. Bagi saya, alasan itu ada benarnya, tetapi ada
dampak besar dari dialog jika kesepakatan damai itu sendiri.
Mari kita berandai-andai. Jika Dialog Damai Papua dibuat seperti Aceh,
yang akan dihasilkan adalah ”MOU Helsinki” Bagian II. Mari mencermati isi
Dialog Damai Aceh melalui MOU Helsinki. Di sana tersua sejumlah kesepakatan
dan konsekuensi yang harus diterapkan masing-masing. Di antaranya adalah
pembagian hasil kekayaan alam. Pasal 1.3.4. MOU Helsinki: ”Aceh berhak menguasai 70 persen hasil
dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat
ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar
Aceh.”
Pertanyaan besarnya, apakah Jakarta atau pemerintah pusat dan pihak
lainnya akan rela melakukan hal ini untuk Papua? Konsekuensinya berdampak
terhadap kesepakatan yang dibuat Pemerintah Indonesia dengan Freeport.
Indonesia harus melakukan renegosiasi dengan Freeport. Dalam analisisnya pada
rubrik Opini Kompas, 2 Agustus 2012, ”Renegosiasi
Kontrak Freeport”, Kurtubi mengatakan bahwa posisi legal pemerintah
lemah. Kontrak karya yang dilakukan adalah antara pemerintah dan investor.
Pemerintah menjadi bagian ”para pihak” yang berkontrak. Semua pasal
dalam isi kontrak karya yang ditandatangani pemerintah dan pihak investor
(Freeport) untuk tambang di Papua pada 7 April 1967 baru bisa berubah kalau
disetujui kedua pihak.
Di sinilah, saya duga, pemerintah pusat mengulur-ulur waktu atau,
dengan kata lain, takut menyelenggarakan Dialog Damai Papua. Kontrak Karya
I Freeport dengan Pemerintah Indonesia berlangsung untuk kurun 1967- 1991.
Pada masa Orde Baru dilakukan Kontrak Karya II hingga tahun 2021. Dan kini
upaya perpanjangan pun dilakukan agar kontrak bisa berlangsung lagi hingga
2041.
Keberanian Politik
Terlalu panjang menjelaskan alasan Indonesia pada 1967 memutuskan
untuk kontrak karya dengan Freeport. Begitu pun ketika Kontrak Karya II
dilakukan. Fokus kita adalah tahun 2021 sudah di depan mata. Kini tinggal
kemauan politik (pemimpin) bangsa ini untuk lebih mengutamakan kemampuan
bangsa kita sendiri memakmurkan bangsa.
Semangat berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) Bung Karno inilah
yang perlu dipegang dan diterapkan untuk mewujudkan Papua yang sejahtera
dan damai dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pidato 17 Agustus 1965 Bung Karno mengatakan, ”Berdikari bukan saja tujuan, tetapi
yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip dari cara kita
mencapai tujuan itu, prinsip untuk melaksanakan pembangunan dengan tidak
menyandarkan diri pada bantuan negara atau bangsa lain. Adalah jelas bahwa
tidak menyandarkan diri tidak berarti bahwa kita tidak mau kerja sama
berdasarkan sama derajat dan saling menguntungkan.”
Anak bangsa kita sudah sangat mampu secara teknologi mengelola
kekayaan alam bangsa ini tanpa didikte dan diperas bangsa lain. Kita tidak
anti-asing, tetapi kita harus berkomitmen membangun Papua yang damai, tidak
hanya sebatas wacana berupa pidato atau pernyataan, tetapi juga aksi nyata.
Kekayaan alam bangsa untuk bangsa. Sudah saatnya berdikari di tanah
Papua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar