Pihak pemerintah yang mengajukan draf RUU itu mengusulkan—sekaligus
gencar mengampanyekan—agar gubernur tidak lagi dipilih secara langsung,
melainkan cukup dipilih DPRD provinsi. Sementara bupati dan wali kota tetap
dipilih secara langsung oleh rakyat.
Beberapa alasan yang diajukan pemerintah mudah dipahami, antara lain
pemilihan kepala daerah, dalam UUD 1945 (hasil amandemen), memang
menggunakan istilah ”dipilih secara demokratis”, tetapi dianggap tidak
harus selalu dipilih rakyat secara langsung.
Langgar Hakikat Reformasi
Berbeda dengan pemilihan presiden yang dalam konstitusi secara tegas
dinyatakan ”dipilih secara langsung” oleh rakyat sehingga jika hanya
dipilih para anggota DPRD, itu sudah konstitusional juga. Pertimbangan
penghematan biaya pemilihan gubernur (jika melalui DPRD) pun ditonjolkan
karena saat ini dianggap terlalu besar. Demikian juga alasan kerap
terjadinya konflik horizontal komunal antarpendukung, termasuk alasan titik
tekan otonomi pada level kabupaten/kota sehingga posisi bupati/wali kota
dianggap perlu diperkuat.
Argumen-argumen pembenaran itu sekilas memang terkesan masuk akal,
tetapi sebenarnya merupakan suatu penyederhanaan dan mau gampangnya saja,
yang pada tingkat tertentu bisa melanggar hakikat reformasi. Mengapa?
Pertama, istilah ”demokratis” tidak bisa disederhanakan berdasarkan
tafsir kontemporer menurut persepsi penguasa. Lokus demokrasi adalah
individu. Setiap warga negara memiliki hak menentukan pilihan politiknya,
termasuk dalam memilih pemimpinnya. Jika sudah diakui, disadari, dan dirasa
dimiliki setiap warga, hak politiknya tak boleh lagi dirampas penguasa atas
nama penyederhanaan pengaturan.
Jika hal itu dipaksakan, sama halnya dengan menginjak-injak substansi
reformasi, atau juga mengkhianati para pejuang reformasi yang
berdarah-darah, berkorban jiwa, dan materi.
Dalam praktik, demokrasi dalam pemilihan gubernur di DPRD berbeda
secara signifikan dengan demokrasi dalam pemilihan langsung oleh rakyat.
Para anggota DPRD memang individu-individu yang memiliki hak, tetapi siapa
yang bisa menyangkal bahwa tak seorang pun di antara mereka terbebas dari
koordinasi paksa oleh pimpinan parpol mereka. Mereka dikendalikan secara
terstruktur langsung dari pimpinan pusat setiap parpol. Jika ada anggota
yang membangkang, risikonya disingkirkan atau di-recall parpolnya, sesuatu
yang lebih menakutkan lagi.
Tepatnya, demokrasi di DPRD pada dasarnya adalah rekayasa yang bisa
bertentangan dengan aspirasi rakyat yang sesungguhnya, apalagi praktiknya
tidak lebih dari oligarki sekelompok elite yang tergabung di lintas parpol;
sungguh merupakan pelanggaran substansi demokrasi pada era reformasi ini.
Kecuali itu, ide pemilihan gubernur dipilih oleh DPRD, jika hal itu
diwujudkan, sangat jelas merupakan kebijakan yang diskriminatif. Soalnya,
dalam konstitusi istilah ”dipilih secara demokratis” adalah untuk seluruh
kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota), tidak dibedakan satu sama
lain. Lalu, mengapa kemudian dalam praktiknya akan dibedakan?
Kedua, jika dibangun di atas logika pembiayaan, sebenarnya yang mesti
dipilih DPRD bukanlah gubernur, melainkan bupati/wali kota. Soalnya, jumlah
kabupaten/kota seluruh Indonesia (selain 5 kota dan 1 kabupaten
administratif di DKI Jakarta) saat ini mencapai 503 (termasuk 11 kabupaten
yang dimekarkan tahun 2012), sedangkan jumlah provinsi hanya 34 (termasuk
satu provinsi Kalimantan Utara). Fakta statistik menyebut, anggaran jauh
lebih banyak disedot untuk pembiayaan pilkada kabupaten/kota (perkiraan
lebih dari Rp 15 triliun untuk kabupaten/kota, dan Rp 5 triliun untuk
pemilihan gubernur).
Besar kecilnya biaya pilkada sebenarnya bergantung pada kebijakan
yang digunakan. Komponen-komponen pembiayaan, dalam konteks ini, pada
dasarnya bisa dikurangi secara signifikan tanpa mengurangi kualitas
hasilnya. Misalnya, berkampanye secara tertutup-dialogis niscaya akan
mengefisienkan biaya sekaligus memperkecil risiko konflik fisik
antarpendukung. Demikian juga komponen biaya pendaftaran pemilih, yang
diperbaharui dari waktu ke waktu, tidak diperlukan lagi karena cukup
menggunakan kartu tanda penduduk, apalagi sekarang sudah ada E-KTP. Banyak
komponen biaya lain juga bisa dikurangi secara signifikan, sekali
lagi, jika aturan diperbaiki.
Perkuat Posisi Gubernur
Ketiga, memang benar bahwa pemerintah kabupaten/kota harus fokus pada
pelayanan masyarakat, sedangkan pemerintah provinsi atau gubernur harus
memainkan fungsi koordinasi dan pengawasan. Namun, jika logika ini
digunakan, seharusnya posisi gubernur yang perlu diperkuat legitimasi
sosio-politiknya secara langsung dari rakyat, bukan sekadar legitimasi
hukum yang dipaksakan dari atas dengan kesepakatan para elite politik di
DPRD. Tepatnya, gubernurlah prioritas pemilihan secara langsung, sedangkan
bupati/wali kota bisa dipertimbangkan untuk disederhanakan pemilihannya,
dan bukan sebaliknya.
Ada potensi instabilitas ”delegitimasi” secara sosio-politik lokal
terkait posisi gubernur, yakni kemungkinan akan adanya situasi
pembangkangan dari bawah, baik oleh para bupati/wali kota maupun
masyarakat. Apalagi, kedua unsur itu menyatu untuk ”menghadapi atasan”.
Sebagian bupati/wali kota mungkin akan merasa memiliki dukungan rakyat yang
kuat sehingga derajat kepatuhan pada gubernur akan rendah. Persoalan akan
lebih parah saat parpol mengalami demoralisasi di mata publik seperti
hari-hari ini.
Keempat, alasan mengurangi konflik horizontal sebenarnya juga
terbalik. Sebab, pengalaman selama ini banyak terjadi konflik, termasuk
benturan fisik dan atau perusakan fasilitas publik, pada pemilihan
bupati/wali kota. Secara sosi-kultural, posisi bupati/wali kota memiliki
derajat kedekatan fisik dan emosional dengan rakyat yang memilihnya
sehingga wajar jika kerap terjadi persinggungan fisik secara langsung.
Bahkan, pada banyak kasus ditemukan terjadi keretakan keluarga atau
persaudaraan yang berkepanjangan sebagai dampak dari perbedaan pilihan
figur karena di antara kandidat yang menjadi kontestan masih memiliki
hubungan darah atau keluarga satu sama lain.
Sementara terhadap gubernur, jarak fisik dan emosionalnya relatif
jauh. Hanya kerap terjadi sentimen berbasis etnis atau wilayah asal
calon/figur sehingga relatif bisa dikendalikan, apalagi jika dilakukan
perubahan kebijakan ke arah yang lebih kondusif. Kecenderungannya, memang,
derajat emosional dan potensi konflik di tingkat rakyat sejalan dengan
jarak posisi jabatan yang sedang diperebutkan. Semakin dekat posisi jabatan
strategis yang diperebutkan itu dengan rakyat pemilih, semakin kuat pula
potensi konfliknya, dan sebaliknya.
Beberapa argumen di atas diharapkan menjadi renungan sehingga tidak
mengesankan bahwa rencana perubahan lokus demokrasi pemilihan gubernur
hanya karena ”kebuntuan berpikir produktif” seraya memundurkan praktik
demokrasi, seraya kemudian lari dari upaya pemecahan yang lebih progresif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar