Selasa, 05 Maret 2013

Menjaga Anjing Penjaga


Menjaga Anjing Penjaga
Husnun N Djuraid ;  Jurnalis, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang
JAWA POS, 05 Maret 2013



MENJELANG keramaian politik seperti pemilu, pilpres, atau pilkada, peran media selalu dipertanyakan. Media senantiasa menjadi ajang perebutan bagi para politikus untuk menyampaikan gagasan politiknya. Tak jarang para politikus ikut menyeret media dalam percaturan politik.

Pemerintah -yang berasal dari partai pemenang pemilu- merupakan pihak yang paling sering menjadi sasaran tembak media, terutama yang dikendalikan kekuatan politik yang berhasrat menggantikannya. Setiap kebijakan dikritik habis. Keluhan melankolis kerap disampaikan Presiden SBY dalam berbagai kesempatan. Seolah di mata pers pemerintah selalu salah. Prestasi hasil kerja keras selama ini seolah tidak ada.

Menko Polhukam Djoko Suyanto juga mengingatkan agar media tidak digunakan untuk kepentingan politik tertentu, tapi untuk kepentingan rakyat. Untuk membangun demokrasi di Indonesia, media jangan sampai dipolitisasi, memelintir kebenaran. Mereka bekerja mengonstruksi peristiwa di masyarakat untuk membentuk opini masyarakat yang sehat.

Berbagai peristiwa itu dipotret untuk diletakkan pada frame dengan aneka sudut pandang dan warna. Namun, media menampilkan realitas yang diinginkan dan menyingkirkan realitas yang tidak disukai atau menyamarkannya. Dari situ terlihat untuk kepentingan siapa berita tersebut ditampilkan. Meski demikian, menurut survei Indo Barometer, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media masih mencapai 77 persen dibanding kepercayaan kepada pemerintah yang hanya 47 persen. Hal itu menunjukkan besarnya peran pers dalam kehidupan masyarakat.

Perilaku media yang menyimpang dari peran sebagai penjaga kebenaran dan pengawal demokrasi memang memprihatinkan. Banyak pengalaman dari pihak yang mendapat perlakuan yang kurang baik dari media. Keberpihakan kepada salah satu golongan dan menyerang yang lain sesungguhnya sudah mencederai profesi awak media.

Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengingatkan bahwa media akan terhormat bila mampu menjaga kebebasannya sebagai pelayan masyarakat yang dipercaya. Media harus berprinsip hukum, mengembangkan demokrasi, nilai-nilai kemanusiaan, serta berdisiplin dan berkode etik (konvensi media massa di Kupang, 2011). Namun, pelanggaran kode etik melalui keberpihakan akan semakin meningkat sejalan dengan semakin panasnya suhu politik.

Ada dua kelompok politik yang menggunakan media sebagai ajang kampanye. Pertama, politisi yang harus membayar media untuk bisa menyampaikan pandangan politiknya kepada khalayak alias transaksi komersial iklan. Kedua, politisi yang merangkap sebagai pemilik media. Ada tren politisi yang berperan ganda sebagai pemilik media. Sebagai pemilik, tentu saja mereka bisa melakukan apa saja sesuai dengan keinginan mengunggulkan kelompoknya dan merendahkan kelompok lain.

Seperti kata Gramschi dalam teori hegemoninya, media bisa menjadi sarana bagi satu kelompok untuk mengukuhkan posisinya dan merendahkan yang lain. Para pelaku peran ganda, politisi dan pemilik media, terlibat dalam perang berita untuk mengunggulkan kelompoknya sendiri melalui porsi berita yang lebih besar dengan materi penuh pujian dan promosi. Sebaliknya, lawan politiknya akan diberitakan yang negatif dan disudutkan. 

TVOne, misalnya, dengan gencar memberitakan keluarnya Hary Tanoesoedibjo dari Nasdem. Sebaliknya, Metro TV, yang dimiliki bos Nasdem, memberikan porsi yang besar bagi pidato Presiden SBY yang meminta Grup Bakrie segera melunasi kewajibannya terhadap korban lumpur Lapindo. Belum lagi Hary Tanoesoedibjo yang kini berlabuh ke Partai Hanura yang bisa saja menggunakan pengaruh MNC Grup miliknya untuk kepentingan kelompoknya. Tren itu akan semakin meningkat sejalan dengan semakin dekatnya pemilu dan pilpres.

Saling serang melalui media sesungguhnya merupakan gejala yang tidak sehat bagi khalayak maupun media itu sendiri. Harus ada upaya untuk menghilangkan atau meminimalkannya agar tidak berlarut-larut. Masyarakat harus aktif. Sebagai konsumen, mereka bisa memindahkan channel siaran melalui remote control atau tidak membeli produk media. Bisa pula menjadi pemantau secara aktif. Pasal 17 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan, masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan. 

Masyarakat bisa menjadi pengawas dan pemantau pers dengan jalan memantau serta melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan melalui pers. Hal itu bisa dilakukan dengan membentuk lembaga pemantau media (media watch). Ketika UU ini diberlakukan, muncul beberapa media watch yang aktif mengungkap pelanggaran media. 

Kini bentuk media watch itu lebih menyebar lewat ekspresi individu atau kelompok di aneka jejaring. Pemberitaan media teramat sering dikritisi dan dikupas. Kadang bahkan dicurigai sebagai bagian dari konspirasi atau permufakatan jahat. Untuk menjaga kepercayaan bahwa media benar-benar berposisi sebagai medium (di tengah-tengah atau adil), profesionalitas perlu selalu ditegakkan. 

Media watch tidak bertujuan untuk menghambat media, tapi justru menyelamatkan dari kehancuran karena ditinggal khalayak. Keberpihakan politis media memang bisa menguntungkan dan memabukkan, tapi hanya temporer. Masyarakat memiliki peran strategis untuk menempatkan media pada posisinya sebagai pembawa kebenaran sekaligus mengawasinya. Lazimnya, media disebut anjing penjaga, watchdog. 

Sebagai anjing penjaga, tuan sejatinya adalah masyarakat. Media harus menyalak keras bila menemukan hal yang tidak benar dan mengganggu masyarakat. Jadilah anjing bulldog atau doberman yang galak dan menggigit siapa pun yang layak digigit. Jangan jadi anjing pudel yang lucu untuk dimain-mainkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar