Selasa, 05 Maret 2013

Menabur Gibah terhadap KPK


Menabur Gibah terhadap KPK
Purwono Tjokro Darsono ;  Wirausahawan dan Penggiat Kemasyarakatan
JAWA POS, 04 Maret 2013
  

ERA online yang kerap dikeluhkan keliarannya sebenarnya juga menebar kebajikan. Banyak orang yang secara anonim, ikhlas, tidak riya, dan tak ingin dikenal menebarkan kisah-kisah mulia dan ayat-ayat hikmah ke HP orang lain. Orang yang kesengsem dengan posting itu biasanya akan menyebarkannya ke HP orang lain lagi, berantai hingga jumlah yang tak bisa ditentukan. 

Kisah seperti itu kadang menjadi rem bagi kita yang suka memanfaatkan teknologi informasi untuk sekadar bergosip (gibah) guna menyenangkan diri (tapi menyusahkan orang lain). Saat kasus di Partai Demokrat hangat, HP saya menerima kisah hikmah anonim berikut. 

"Seseorang menceritakan gosip mengenai tetangganya. Dalam beberapa hari saja, seluruh lingkungan mengetahui cerita tersebut. Tetangganya yang jadi objek cerita tentu saja sakit hati. Beberapa hari kemudian, ternyata diketahui gosip tersebut tidak benar. Dia menyesal bukan kepalang dan datang kepada orang yang bijaksana untuk mencari cara memperbaiki kesalahannya itu."

"Pergilah ke pasar, belilah kemoceng," kata orang bijak itu. "Kemudian, dalam perjalanan pulang, cabutlah bulu ayam di kemoceng dan buanglah satu per satu di sepanjang jalan pulang," lanjut dia. Meski kaget mendengar saran itu, si penyebar gosip tetap melakukan saran tersebut.

Keesokan harinya orang tersebut melaporkan apa yang sudah dilakukannya. Orang bijak itu berkata lagi, "Sekarang pergilah dan kumpulkan kembali semua bulu ayam yang kau buang kemarin dan bawa padaku."

Orang itu pun menyusuri jalan yang sama, tapi angin telah melemparkan bulu-bulu itu ke segala arah. Setelah mencari selama beberapa jam, dia kembali hanya dengan tiga potong bulu.

"Lihat, kan?" kata orang bijak itu. "Sangat mudah melemparkannya, namun tak mungkin mengumpulkannya kembali. Begitu pula dengan gosip," tambah dia. Tak sulit menyebarluaskan gosip, namun sekali gosip terlempar, tujuh ekor kuda (atau berapa ekor kuda) pun tak dapat menariknya kembali. 

Kita mencoba menarik benang merah cerita bijak tentang gosip itu terhadap apa yang dilakukan KPK saat ini. Sebagai lembaga penegak hukum spesialis korupsi sejak lahir pada 2003, KPK mengalami sangat banyak proses pematangan. KPK tetap menjadi tumpuan harapan masyarakat atas bebalnya lembaga penegak hukum lain ketika menangani korupsi, apalagi pelakunya jenderal atau politikus.

Kita ingat, ketika KPK menetapkan tersangka dan menangkap LHI, bos PKS, serentak tersebar kabar melalui berbagai media yang intinya menuduh KPK telah menjadi alat sebuah konspirasi besar. Untung, akal sehat banyak orang masih bisa menangkal tuduhan miskin bukti itu. Juga kita bersyukur karena KPK melalui juru bicaranya dengan tenang, lugas, dan jelas membantah gosip-gosip tersebut.

Kini, setelah menetapkan AU, ketua partai yang sedang berkuasa, KPK juga diterpa gosip deras. Direka-rekalah tafsir atas serangkaian peristiwa yang berawal dari hasil survei terhadap elektabilitas partai berkuasa yang jeblok. Kemudian, para petinggi partai meminta SBY sebagai bos utama Partai Demokrat turun tangan. Di tempat suci, SBY mendoakan partainya, kemudian mengirim serangkaian pesan, salah satunya kepada KPK, agar status AU diperjelas. Lalu berakhir dengan penetapan AU sebagai tersangka oleh KPK.

Dari mereka-reka peristiwa, mereka meragukan independensi KPK -atau kasarnya KPK telah menjadi alat kekuasaan untuk melumpuhkan lawan-lawan politik. Dan kembali dengan cara-cara yang baik, Jubir KPK menampik semua tuduhan yang beredar.

Bukan sekali ini KPK diterpa gosip. Kadang gosip yang santer diembuskan beberapa pihak sempat diterima masyarakat. Dan karena canggihnya memainkan logika, gosip itu bisa diyakini sebagai sebuah kebenaran dan akan membangun sebuah persepsi. Ketika persepsi itu salah, kita akan melihat sebuah masyarakat yang bertindak dengan bekal persepsi yang salah. Itu berbahaya. 

KPK tetap tampak lebih disegani jika dibandingkan dengan sejawat penegak hukum lain. Terlebih perkara yang ditanganinya selalu berbukti amat kuat di pengadilan dan mampu menyentuh orang-orang yang dulu "kebal". 

Apakah kita pernah berpikir bahwa ketika LHI, AU, DS, AS, MN, AM, ZD, FAR, PN, atau siapa pun ditetapkan sebagai tersangka atau dipenjara, kehidupannya sudah berakhir? Mestinya tidak. Toh, belum ada pidana mati yang dijatuhkan kepada orang yang terkena kasus korupsi. Ketika beberapa masa kemudian, saat banyak peristiwa lain sudah menggantikan pembicaraan atas mereka, mereka seharusnya menjadi manusia baru. Apalagi bila, siapa tahu, yang masih tersangka bisa divonis bebas. Dengan bekal introspeksi, mereka telah menjalani sebuah "terapi kehidupan" dan kembali ke tengah masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar