Sabtu, 16 Maret 2013

Memerangi Praktek Kartel


Memerangi Praktek Kartel
Purbayu Budi Santosa  ;   Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip
SUARA MERDEKA, 16 Maret 2013


KEMELONJAKAN harga beberapa komoditas pertanian, terutama bawang putih, masih terus berlangsung. Kenaikan harga komoditas itu menyulitkan konsumen dan pedagang mengingat bawang putih dipakai sebagai penyedap berbagai masakan yang biasa kita konsumsi atau dijual di warung, antara lain rawon, lodeh, soto, dan kare. 

Kenaikan harga bawang putih juga memicu kenaikan harga komoditas pertanian lain, seperti bawang merah yang biasanya hanya sekitar Rp 15.000 per kilogram menjadi sekitar Rp 50.000. Harga cabai juga naik, tapi ini lebih disebabkan oleh dampak psikologis kenaikan harga barang sejenis berupa bumbu. 

Sebenarnya produksi bawang merah bisa dipenuhi dari dalam negeri. Persoalannya lebih pada cuaca ekstrem, yang menyebabkan produksi tidak mencukupi kebutuhan. Yang membahayakan sebenarnya stok bawang putih, mengingat sekitar 95 persen kebutuhan dalam negeri harus dipenuhi dari impor.

Salah satu stasiun televisi swasta belum lama ini memberitakan kenaikan harga bawang putih disebabkan peti kemas berisi komoditas itu tertahan di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Jajaran Bea dan Cukai menunggu kelengkapan penyelesaian dokumen. Sementara Kementerian Pertanian justru baru menginvestigasi masalah kenaikan harga bawang putih yang begitu fantastis. 

Pedagang pasar dan pedagang makanan yang margin keuntungannya sudah kecil akibat keterbatasan daya beli masyarakat selalu digelisahkan oleh urusan komoditas pertanian. Petani berbagai komoditas juga sering terpinggirkan akibat ulah segelintir pihak yang mempermainkan pangan dan pertanian. Usaha-usaha apa yang perlu dilakukan pemerintah?

Larang Kartel

Apakah ada kemiripan fenomena kenaikan harga bawang putih dengan kenaikan harga beras, kedelai, dan daging sapi, yang begitu menggegerkan beberapa waktu lalu?  Dalam kasus beras banyak pihak meyakini kondisi nasional surplus tapi pemerintah justru melakukan impor saat petani sedang musim panen. 

Akibatnya harga beras menurun dratis dan petani menderita kerugian. Terkait keputusan mengimpor, pemerintah berdalih daya serap Bulog rendah, dan impor dilakukan untuk memperkuat cadangan beras bagi rakyat miskin (raskin).
Adapun kasus kedelai impor karena pasokan dari Amerika Serikat (AS) mengalami penurunan mengusul kegagalan panen. Sekiranya tidak ada invisible hand, menurut Adam Smith, seharusnya kenaikan harga komoditas kedelai di dalam negeri lebih kecil atau paling tidak sama dengan kenaikan di negara produsen, yaitu AS.

Fenomena kenaikan harga daging sapi paling mirip dengan kasus bawang putih, yang bermula dari tertahannya impor di pelabuhan karena dokumen tidak lengkap. Mungkin importir berpikir dengan menyogok di pelabuhan impor bisa lancar, dibanding harus mengurus atau melengkapi dokumen yang butuh waktu dan biaya lebih mahal. 

Meski warna impor beras, kedelai, daging sapi, bawang putih dan berbagai komoditas lain seperti gula, kelihatannya berbeda, saya melihat ada kesamaan. Kesamaannya adalah memanfaatkan ketidaktangguhan kondisi pertanian domestik, dan itu dipakai untuk melemahkan petani sekaligus perekonomian nasional. Praktiknya dengan berkongkalikong impor antara pedagang dan pengambil keputusan.

Akibatnya, terjadi prinsip dagang yang bermotif keuntungan (kalau bisa maksimal) bukan saja dalam arena perdagangan, tetapi merambah pada kebijakan publik. Jabatan bukan amanah lagi, tetapi bagaimana supaya kekayaan dan modal yang dikucurkan bisa kembali, bahkan melebihi supaya untung. Keadaan ini merepotkan banyak pihak karena menular ke mana-mana.

Korbannya tentu pihak-pihak yang tidak punya akses ke kekuasaan, dan paling parah petani. Petani kita yang umumnya gurem, dan banyak yang menjadi buruh, adalah korban terbesar karena tak mempunyai bargaining position kuat. 
Ini berlainan dengan petani negara tetangga dan negara maju yang asosiasi pertaniannya begitu kuat sehingga kalau kepentingannya terganggu, mereka dapat menekan pemerintah untuk membuat kebijakan yang membela kepentingan petani.

Melihat kemiripan kasus dengan fenomena komoditas lain maka dalam kasus kenaikan harga bawang putih, pemerintah harus menindak tegas para kartel yang berkongkalikong dengan pihak-pihak tertentu. Mereka memiliki kekuatan untuk menekan pemerintah kita, semisal memaksa membongkar peti kemas impor kendati dokumen tidak lengkap. 

Pemerintah perlu bersikap tegas supaya semua pihak yang berusaha di negara kita wajib menaati peraturan. Bila perlu, pemerintah menyita bawang putih impor, dan menjualnya dengan harga wajar, serta memasukkan keuntungan ke kas negara. Kini saatnya kembali menegakkan kewibawaan pemerintah, demi kepentingan rakyat, bukan segelintir orang.
Dalam batas tertentu, kita perlu belajar dari negara lain yang sudah maju, yang menurut Michael Foucalt (dalam Bagus Aryo, 2012), mengharuskan siapa pun yang berusaha di negara itu menaati semua peraturan. Namun ia tidak memungkiri fakta  beberapa negara maju menggunakan berbagai cara untuk memerangkap negara berkembang terkait dengan kepentingan mereka. 

Karena itu, pemerintah harus konsisten menerapkan regulasi yang dibuat bersama DPR, semisal UU tentang Persaingan Usaha dan mengefektifkan peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Berkait persaingan usaha yang tak sehat, pemerintah perlu ekstrawaspada siapa tahu para kartel dan pelindungnya adalah kaki tangan negara maju yang ingin melemahkan perekonomian kita, sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam. Perlu mencamkan, kita bukan bangsa kuli, dan akan tetap berkuasa penuh demi keberlangsungan NKRI. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar