KEMELONJAKAN harga beberapa
komoditas pertanian, terutama bawang putih, masih terus berlangsung.
Kenaikan harga komoditas itu menyulitkan konsumen dan pedagang mengingat
bawang putih dipakai sebagai penyedap berbagai masakan yang biasa kita
konsumsi atau dijual di warung, antara lain rawon, lodeh, soto, dan kare.
Kenaikan harga bawang putih juga memicu kenaikan harga komoditas pertanian
lain, seperti bawang merah yang biasanya hanya sekitar Rp 15.000 per
kilogram menjadi sekitar Rp 50.000. Harga cabai juga naik, tapi ini lebih
disebabkan oleh dampak psikologis kenaikan harga barang sejenis berupa
bumbu.
Sebenarnya produksi bawang merah bisa dipenuhi dari dalam negeri.
Persoalannya lebih pada cuaca ekstrem, yang menyebabkan produksi tidak
mencukupi kebutuhan. Yang membahayakan sebenarnya stok bawang putih, mengingat
sekitar 95 persen kebutuhan dalam negeri harus dipenuhi dari impor.
Salah satu stasiun televisi swasta belum lama ini memberitakan kenaikan
harga bawang putih disebabkan peti kemas berisi komoditas itu tertahan di
Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Jajaran Bea dan Cukai menunggu
kelengkapan penyelesaian dokumen. Sementara Kementerian Pertanian justru
baru menginvestigasi masalah kenaikan harga bawang putih yang begitu
fantastis.
Pedagang pasar dan pedagang makanan yang margin keuntungannya sudah kecil
akibat keterbatasan daya beli masyarakat selalu digelisahkan oleh urusan
komoditas pertanian. Petani berbagai komoditas juga sering terpinggirkan
akibat ulah segelintir pihak yang mempermainkan pangan dan pertanian.
Usaha-usaha apa yang perlu dilakukan pemerintah?
Larang Kartel
Apakah ada kemiripan fenomena kenaikan harga bawang putih dengan kenaikan
harga beras, kedelai, dan daging sapi, yang begitu menggegerkan beberapa
waktu lalu? Dalam kasus beras banyak pihak meyakini kondisi nasional
surplus tapi pemerintah justru melakukan impor saat petani sedang musim
panen.
Akibatnya harga beras menurun dratis dan petani menderita kerugian. Terkait
keputusan mengimpor, pemerintah berdalih daya serap Bulog rendah, dan impor
dilakukan untuk memperkuat cadangan beras bagi rakyat miskin (raskin).
Adapun kasus kedelai impor karena pasokan dari Amerika Serikat (AS)
mengalami penurunan mengusul kegagalan panen. Sekiranya tidak ada invisible
hand, menurut Adam Smith, seharusnya kenaikan harga komoditas kedelai di
dalam negeri lebih kecil atau paling tidak sama dengan kenaikan di negara
produsen, yaitu AS.
Fenomena kenaikan harga daging sapi paling mirip dengan kasus bawang putih,
yang bermula dari tertahannya impor di pelabuhan karena dokumen tidak
lengkap. Mungkin importir berpikir dengan menyogok di pelabuhan impor bisa
lancar, dibanding harus mengurus atau melengkapi dokumen yang butuh waktu
dan biaya lebih mahal.
Meski warna impor beras, kedelai, daging sapi, bawang putih dan berbagai
komoditas lain seperti gula, kelihatannya berbeda, saya melihat ada
kesamaan. Kesamaannya adalah memanfaatkan ketidaktangguhan kondisi
pertanian domestik, dan itu dipakai untuk melemahkan petani sekaligus
perekonomian nasional. Praktiknya dengan berkongkalikong impor antara pedagang
dan pengambil keputusan.
Akibatnya, terjadi prinsip dagang yang bermotif keuntungan (kalau bisa
maksimal) bukan saja dalam arena perdagangan, tetapi merambah pada
kebijakan publik. Jabatan bukan amanah lagi, tetapi bagaimana supaya
kekayaan dan modal yang dikucurkan bisa kembali, bahkan melebihi supaya
untung. Keadaan ini merepotkan banyak pihak karena menular ke mana-mana.
Korbannya tentu pihak-pihak yang tidak punya akses ke kekuasaan, dan paling
parah petani. Petani kita yang umumnya gurem, dan banyak yang menjadi
buruh, adalah korban terbesar karena tak mempunyai bargaining position
kuat.
Ini berlainan dengan petani negara tetangga dan negara maju yang asosiasi
pertaniannya begitu kuat sehingga kalau kepentingannya terganggu, mereka
dapat menekan pemerintah untuk membuat kebijakan yang membela kepentingan
petani.
Melihat kemiripan kasus dengan fenomena komoditas lain maka dalam kasus
kenaikan harga bawang putih, pemerintah harus menindak tegas para kartel
yang berkongkalikong dengan pihak-pihak tertentu. Mereka memiliki kekuatan
untuk menekan pemerintah kita, semisal memaksa membongkar peti kemas impor
kendati dokumen tidak lengkap.
Pemerintah perlu bersikap tegas supaya semua pihak yang berusaha di negara
kita wajib menaati peraturan. Bila perlu, pemerintah menyita bawang putih
impor, dan menjualnya dengan harga wajar, serta memasukkan keuntungan ke
kas negara. Kini saatnya kembali menegakkan kewibawaan pemerintah, demi
kepentingan rakyat, bukan segelintir orang.
Dalam batas tertentu, kita
perlu belajar dari negara lain yang sudah maju, yang menurut Michael
Foucalt (dalam Bagus Aryo, 2012), mengharuskan siapa pun yang berusaha di
negara itu menaati semua peraturan. Namun ia tidak memungkiri fakta
beberapa negara maju menggunakan berbagai cara untuk memerangkap negara
berkembang terkait dengan kepentingan mereka.
Karena itu, pemerintah harus konsisten menerapkan regulasi yang dibuat
bersama DPR, semisal UU tentang Persaingan Usaha dan mengefektifkan peran
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Berkait
persaingan usaha yang tak sehat, pemerintah perlu ekstrawaspada siapa tahu
para kartel dan pelindungnya adalah kaki tangan negara maju yang ingin
melemahkan perekonomian kita, sebagai negara yang kaya akan sumber daya
alam. Perlu mencamkan, kita bukan bangsa kuli, dan akan tetap berkuasa
penuh demi keberlangsungan NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar