Selasa, 05 Maret 2013

Melupakan Pembocor Informasi?


Melupakan Pembocor Informasi?
Siti Marwiyah ;  Dekan Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya
SUARA KARYA, 05 Maret 2013


Bocornya dokumen surat perintah penyidikan (sprindik) KPK, beberapa waktu lalu yang memuat status tersangka Anas Urbaningrum sejatinya dapat dikenakan pidana informasi, dan bukan dilupakan atau 'ditelantarkan'. Ada kesan kuat, siapa yang bertanggung jawab terhadap pembocoran informasi sprindik mulai dijauhkan dari ranah akuntabilitas yuridis. Titik tekan kasus ini terletak pada rapuhnya birokrasi atau manajemen peradilan. Kalau manajemennya baik dan mapan, kebocoran tidak akan sampai terjadi.

Kebocoran merupakan wajah lain dari realitas negara yang aparat-aparatnya bermental lembek, mudah melakukan by pass atau merekayasa regulasi. Aktivitas yang sudah ditentukan garisnya oleh norma yuridis, dibuatnya menjadi kabur dan tidak punya kepastian hukum, serta menimbulkan maraknya praduga bersalah (presumption of guilt).

Akibat lanjutannya, antar-seseorang atau sekelompok orang satu dengan seseorang atau sekelompok orang lainnya, rentan saling mencurigai dan menghakimi. Kedamaian dan keharmonisan sosial terampas oleh para pelaku yang mengikuti madzhaby Marthin Luther, bahwa di tengah kekacauan, hanya bajinganlah yang mendapatkan keuntungan, sementara orang-orang yang bertahan dalam kejujuran terancam tergusur atau terpinggirkan.

Di tengah masyarakat sekarang sedang terjadi kekacauan hukum. Hukum yang oleh Lawrence Friedmen mengandung tiga aspek: kemanfatan, keadilan, dan kepastian, sedang ditimpa degradasi. Setidaknya dari aspek kepastian, hukum yang digunakan sebagai instrumen untuk menjawab kasus Anas, justru mengalami ketidakpastian. Ini tidak lepas dari sikap pimpinan KPK yang berselisih paham dan sikap mengenai kedudukan Anas. Perselisihan yang tampaknya sudah berlangsung lama ini akhirnya dimanfaatkan oleh kaum bajingan (meminjam Luther) dengan cara menyebarluaskan bocoran sprindik.

Akibat terbitnya sprindik itu, mulai dari Istana (SBY) hingga Anas menunjukkan suasana panas. Kubu Anas merasa dirugikan dan langsung membuat pernyataan, bahwa ada konspirasi jahat yang menyudutkannya, sementara SBY meminta pembocor sprindik bisa ditangkap dan disanksi, karena jelas-jelas merugikan kepentingan partai dan melanggar hukum.

Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Abdul Rahman Ma'mun, menyatakan, selain dikenai sanksi pelanggaran kode etik, pembocor sprindik di internal KPK dapat dijerat dengan ancaman hukuman dua tahun penjara. Ini diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informai Publik (UU KIP). UU KIP ini juga memuat ancaman pidana bagi pihak-pihak yang mengakses dan menyebarluaskan secara tidak sah informasi yang dikecualikan atau rahasia.

Dalam UU KIP itu juga diatur perahasiaan atau pengecualian informasi. Seperti pada Pasal 17 huruf a yang menyatakan setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali: a. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu 1. menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana.

Dalam Pasal 54 ayat 1 UU KIP, yang mengatur pidana informasi digariskan, bahwa setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Dalam ketentuan tersebut sudah jelas bahwa setiap pelaku pembocor informasi yang memang terlarang untuk diinformasikan, kecuali ada perintah yang memintanya untuk menyampaikan informasi, adalah pelaku tindak pidana. Siapa pun yang membocorkan informasi yang terlarang diinformasikan ini, wajib 'menjabat' status sebagai kriminal.

Pidana untuk pembocor informasi (sprindik) itu memang wajib dikenai sanksi pidana. Ini bukan semata demi menegakkan norma hukum yang mengatur soal kerahasiaan informasi, tetapi juga untuk membuat jera pelaku, khususnya siapa pun yang bermaksud mempermainkan informasi pada publik.

Mempermainkan informasi publik identik dengan mempermainkan hukum. Mempermainkan hukum berarti mempermainkan atau melecehkan negara hukum. Pelecehan negara hukum ini merupakan pelecehan terhadap martabat manusia Indonesia, pasalnya norma yuridis diproduk untuk melindungi atau memediasi kepentingan strategis masyarakat.

Kalau norma yuridis menjadi kehilangan kepastian atau tanpa daya manfaat akibat dijadikan objek permainan oleh kekuatan jahat atau elemen mafia struktural seperti birokrat-birokrat nakal, maka para pencari keadilan semakin banyak kehilangan hak-haknya.

Terlepas status Anas menjadi tersangka atau tidak, kasus pembocoran informasi sepenting sprindik wajib diusut. Kasus ini harus dipisahkan dengan kasus tuduhan keterlibatan Anas dalam kasus Hambalang. Kasus pembocoran merupakan kasus yang berdiri sendiri, yang menguji kondisi manajemen peradilan KPK. Manajemen peradilan di tangan KPK, masih tidak bedanya dengan manajemen peradilan konvensional lainnya, yang rentan disusupi 'penyulap' atau tangan-tangan lihai yang mempermainkannya.

Pembocor informasi sprindik memang bisa saja beralasan dengan menggunakan logika 'peradilan tanpa pengadilan' atau sudah bosan menyaksikan kinerja elemen peradilan yang lamban dalam menangani kasus dugaan penyalahgunaan uang negara, sehingga menggunakan cara instan dan anomali, namun cara itu tetap dikategorikan sebagai bentuk kriminaisasi manajemen peradilan, yang tentu saja harus dibongkar tuntas.

Sekali masalah pembocor informasi diabaikan atau dijadikan objek mainan dalam jagat peradilan, apalagi dalam perkara sebesar sprindik dugaan kasus korupsi, maka ke depan, sanksi pidana dalam rumusan norma hukum Indonesia hanya akan semakin dijadikan objek dagelan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar