Dalam Tajuk Rencana tentang otonomi perguruan tinggi di harian
Kompas, 6 Maret 2013, disoroti tentang pernyataan keprihatinan para ilmuwan
terkait terancamnya otonomi perguruan tinggi.
Ditegaskan bahwa otonomi perguruan tinggi bukan berarti privatisasi,
melainkan masalah otonomi memang adalah jati diri perguruan tinggi. Otonomi
perguruan tinggi sebagai ruh lembaga pendidikan tinggi tidak hanya bersifat
akademik, tetapi juga memiliki aspek non-akademik.
Dalam Tajuk Rencana Kompas diusulkan, jangan sampai UU Perguruan
Tinggi yang sudah disetujui DPR dibatalkan—seperti yang dialami UU Badan
Hukum Pendidikan—Mahkamah Konstitusi pada 2009 karena dinilai tidak sesuai
konstitusi.
Dikritisi Sejak Awal
Pada April 2012, suatu rancangan UU tentang pendidikan tinggi
diajukan kepada DPR, yang banyak dikecam oleh perguruan tinggi negeri
ataupun perguruan tinggi swasta. Kritik ini ditujukan kepada berbagai
peraturan dalam rancangan UU ini, termasuk peraturan tentang organisasi
perguruan tinggi, peraturan tentang kurikulum, dan perekrutan dan pemecatan
dosen. Bahkan, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta secara tegas menolak
rancangan UU ini.
Dalam rancangan UU ini, misalnya, terdapat ketentuan bahwa Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dapat mengatur statuta perguruan tinggi.
Sementara itu, pihak perguruan tinggi berpendapat bahwa tugas menteri
seharusnya memfasilitasi dan menjamin otonomi perguruan tinggi.
Ketentuan kontroversial lain dalam rancangan UU ini adalah bahwa menteri
harus menyetujui program studi di perguruan tinggi, sedangkan pihak
perguruan tinggi menekankan bahwa merekalah yang sepatutnya menentukan
berbagai program studi, sesuai dengan tujuan otonomi perguruan tinggi.
Rancangan UU ini juga memuat ketentuan bahwa pemerintah mengatur
pengangkatan staf dosen. Ketentuan ini menuai banyak kecaman karena
dianggap mengancam kebebasan akademis, yang sangat dihargai sejak jatuhnya
pemerintahan Orde Baru.
Oleh karena itu, kebanyakan perguruan tinggi negeri ataupun swasta
menyatakan keberatan mereka terhadap rancangan UU ini. Asosiasi Perguruan
Tinggi Swasta secara tegas menolak rancangan UU ini. Dua ilmuwan Indonesia
yang terkemuka, yaitu Profesor Satryo Soemantri Brodjonegoro (mantan
Direktur Jenderal Perguruan Tinggi) dan Profesor Sofian Effendi (mantan
Rektor Universitas Gadjah Mada), juga secara terbuka menyatakan keberatan
mereka tentang rancangan UU ini.
Meskipun demikian, pada 13 Juli 2012, DPR menyetujui rancangan UU ini
sehingga akhirnya menjadi UU Perguruan Tinggi. Menanggapi kecaman terhadap
UU ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, yang sebelumnya
menjabat sebagai Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya,
menyatakan bahwa ia menyadari keprihatinan dari sejumlah perguruan tinggi.
Terkait hal tersebut, Mohammad Nuh menyatakan bahwa keprihatinan ini dapat
ditampung dalam berbagai peraturan.
Dua Kesimpulan
Dua kesimpulan dapat ditarik dari kejadian ini. Pertama, banyak
pembuat kebijakan—baik birokrat maupun anggota DPR—cenderung untuk mengatur
dan mengawasi berbagai kegiatan, termasuk urusan akademis. Padahal, urusan
akademis seharusnya diatur dan diawasi sendiri oleh lembaga pendidikan
tinggi dan dewan pembina mereka, yang beroperasi dalam lingkungan di mana
aturan permainan (rules of the game)
dengan jelas ditentukan oleh pemerintah.
Masalahnya adalah justru pemerintah rupanya tidak mampu atau tidak
berminat menciptakan lingkungan yang kondusif untuk hal ini, seperti
ternyata dari ketentuan tentang akreditasi perguruan tinggi dan akses yang
lebih merata bagi calon mahasiswa dari golongan yang berpendapatan rendah.
Kesimpulan kedua adalah UU Perguruan Tinggi sulit dilaksanakan karena
berbagai ketentuan yang rumit. Dapat diperkirakan bahwa cukup banyak
perguruan tinggi akan mengabaikan berbagai ketentuan yang sulit
dilaksanakan tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar