Senin, 11 Maret 2013

Koalisi dan Ketidakberdayaan Presiden


RISALAH DISKUSI
MENCARI FORMAT KOALISI PEMERINTAHAN YANG IDEAL”
Koalisi dan Ketidakberdayaan Presiden
MEDIA INDONESIA, 11 Maret 2013



KOALISI partai politik (parpol) yang dibangun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama ini dinilai tidak efektif. Koalisi itu bahkan memunculkan sebuah anomali sistem politik di Indonesia dan itu terus berlangsung dalam pemerintahan SBY periode 2009-2014.

Demikian benang merah diskusi panel ahli bertema Mencari format koalisi pemerintahan yang ideal di Kantor Media Indonesia, Jakarta, Selasa (5/3). Hadir sebagai pembicara dalam acara itu Direktur Riset Charta Politika Yunarto Wijaya, pakar hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin, pengamat politik dari Reform Institute Yudi Latif, dan pengamat ekonomi dari UI Ahmad Erani Yustika.
“Tampaknya SBY melestarikan anomali sistem, terutama untuk periode 2009-2014,” ujar Yunarto.

Dia menjelaskan yang di maksud anomali ialah sistem presidensial berjalan seiring dengan multipartai. Parpol bahkan cenderung menjadi dominan. Ruang gerak yang besar diberikan kepada parpol, bukan kepada presiden. Hal itu dapat dilihat dari proses pemilihan umum (pemilu) presiden yang dinilai sangat bergantung pada pemilihan legislatif.

“Hari pertama quick count legislatif usai maka calon presiden sudah harus negosiasi dengan parpol-parpol tertentu. Lalu koalisi yang terjadi sekarang, presiden tandatangan kontrak dengan para ketua umum parpol di koalisi.

Andi Irmanputra Sidin mengatakan besarnya ruang gerak bagi parpol juga disebabkan dukungan undang-undang. Ia menyayangkan sikap presiden terpilih yang justru menguatkan parpol-parpol dalam koalisi. “Jangan lantas presiden bagi-bagi kue ke menteri dari parpol setelah terpilih.“
Irman menambahkan, presiden terpilih memang usungan parpol. Namun, yang lebih penting lagi ialah parpol harus terus mematangkan organisasi sehingga mampu memproduksi pemimpin untuk lima tahun berikutnya.

Yudi Latif menilai dengan adanya koalisi parpol itu, sistem presidensial tidak berjalan secara murni. Menurut dia, ada dua hal yang memunculkan terjadinya koalisi parpol dan bisa berjalan dengan baik. Pertama, pemilihan presiden dilangsungkan terlebih dulu daripada pemilihan parlemen. “Kedua, seperti pemilihan di Prancis, di sana ada presiden dan perdana menteri,“ ujar Yudi.

Tiga Visi Ekonomi

Di sisi lain, Erani Yustika mengimbau agar parpol menunjukkan visi-misi mereka di bidang ekonomi. Selama ini ia melihat masih banyak parpol yang tidak memperkenalkan sudut pandang ekonomi mereka. “Isu-isu strategis harus disampaikan kepada publik.“

Menurut dia, ada tiga poin penting menyangkut visi parpol di bidang ekonomi, yaitu yang menyangkut masalah sosialisme, developmentalisme, dan kapitalisme.

Erani menyatakan PDI Perjuangan dan Gerindra memiliki ide dasar yang mirip dengan poin pertama, sosialisme. Golkar meng adopsi poin kedua. Namun, tidak ada parpol yang berani terang-terangan menabalkan ide kapitalisme.

“Parpol-parpol lainnya belum jelas jenis kelamin visi ekonomi mereka,“ pungkasnya. (Eko/X-5)

---------------------------------------------------------------------------------------------------

SISTEM politik yang dianut Indonesia sangat mungkin paling unik di dunia. Hal itu tampak dari begitu kencangnya mengadopsi sistem presidensial dalam pola pemerintahannya, tetapi kekuatannya justru terjadi di tingkat parlementer. Legislatif begitu berkuasa sampai-sampai presiden sebagai kepala pemerintah tidak berdaya untuk mengambil kebijakan mandiri.

Di sisi lain, bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru dengan sengaja menceburkan diri dalam suatu koalisi timpang yang dibuat dengan dalih untuk keseimbangan pemerintahan. Padahal, demokrasi ideal itu mengharuskan terjadinya kesetaraan. Kesetaraan dalam suatu pemerintahan, tidak ada yang lebih kuat antara presiden dan parlemen. Bila tidak terjadi kesetaraan, yang muncul ialah oligarki.

Sejarah Indonesia sudah memberikan pembelajaran bahwa oligarki itu pernah muncul di sini. Saat Pak Harto berkuasa, oligarki militer yang muncul. Saat ini justru oligarki kapitalis yang sedang berlangsung. Semua itu terjadi karena adanya kesalahan institusional dari demokrasi yang ada.

Lantas, demokrasi seperti apa yang ada di Indonesia? Pola bagaimana yang seharusnya diadopsi di negara ini? Tidak boleh konsep demokrasi main comot dari luar untuk kemudian diterapkan di sini. Demokrasi tetaplah harus melihat kondisi masyarakat tempat demokrasi itu akan diterapkan.

Kegagalan dalam demokrasi di Indonesia disebabkan praktiknya mendasarkan pada kekuatan uang (cost of power). Di sisi lain, Republik ini diserahkan kepada tangan-tangan privat. Padahal, kondisi seperti itu sesungguhnya mendikte demokrasi. Salah satu contoh kegagalan dalam sistem presidensial yang diadopsi Indonesia ialah adanya koalisi. Padahal, koalisi itu sesungguhnya ada di dalam sistem parlementer. Kondisi itu menyebabkan Presiden Yudhoyono tidak leluasa untuk membuat keputusannya sendiri. Itu bisa dilihat dari kemunculan sekretariat gabungan (setgab) yang justu menyandera Presiden sebagai ketua setgab.

Kondisi itulah yang dimanfaatkan oleh anggota koalisi untuk `bermainmain' di parlemen. Jika ingin menjalankan sistem presidensial secara murni, tidak ada yang namanya koalisi. Rod Hague dalam Comparative Government and Politics menyebutkan pemerintahan presidensial terdiri dari tiga unsur. Pertama presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait. Kedua presiden dan legislatif memiliki masa jabatan yang tetap, tetapi tidak bisa saling menjatuhkan. Ketiga tidak ada tumpang-tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif. Indonesia sudah menerapkan ketiga poin tersebut. Hanya, sekali lagi, kondisi di negara ini membuat Presiden mengalami ketakutan terhadap parlemen.

Perhatikan Berbagai Aspek

Perkembangan yang tidak kalah menarik ialah ketika tidak ada partai yang berani menegaskan sanggup memenuhi ambang batas 20% sebagai syarat mengajukan calon presiden. Mereka yakin tidak akan ada satu pun yang bisa memenuhinya.

Itu sebabnya cara termudah ialah melihat lebih dulu hasil pemilu legislatif, baru kemudian mereka menyorongkan nama calon presiden masing-masing. Bahkan ketika hasil quick count mulai diumumkan dan sudah hampir pasti siapa pemenang pemilu, malam harinya para ketua partai akan melakukan lobi-lobi.

Itu sebabnya ketika Partai Demokrat memenangi pemilu yang lalu, kendati tidak mampu memenangi ambang batas tersebut, mereka tetap optimistis dengan mengusung Susilo Bambang Yudhoyono.
Hanya, bisa ditebak bahwa partai ini tidak percaya diri untuk melangkah sendirian menyusun pemerintahan. Itu sebabnya SBY langsung menggandeng sejumlah partai politik untuk membentuk sebuah kabinet. Padahal, kondisi seperti itu seperti memberi ruang kepada partai politik untuk berulah. Bisa dilihat bagaimana anggota mereka di parlemen kerap mengkritik jalannya pemerintahan, tanpa merasa bersalah.

Alasannya mereka sedang menjalankan tugas sebagai wakil rakyat sehingga tidak ada kaitannya dengan koalisi. Jangan berharap para ketua partai politik yang punya wakil di kabinet mau mengikuti apa keinginan SBY. Jelas terlihat bagaimana tidak berwibawanya seorang presiden yang kemudian terkungkung dalam keputusan yang dibuatnya sendiri.

Dengan kata lain, bila ingin mengadopsi koalisi, jangan asal comot. Lihat bagaimana kondisi masyarakat yang ada di negara tersebut. Di sisi lain harus memperhatikan beberapa hal seperti historis, sosiologis, dan filosofis dari bangsa tersebut. Padahal tidak seharusnya ketika seseorang tampil sebagai presiden, ia membagi kekuasaan atau kabinet seperti halnya membagi kue ulang tahun.

Apalagi kemudian ia membagi kursi-kursi kabinet dengan partai-partai yang ada. Jangan berharap mereka akan patuh karena tidak mungkin setelah menjadi anggota kabinet, pikiran mereka akan tercurah memikirkan rakyat. Pasti mereka akan membagi kaki mereka.

Setidaknya baru Partai Keadilan Sejahtera yang `merelakan' kader mereka tidak mengurusi partai ketika menjadi anggota kabinet walau, barangkali, kalau diselisik lebih dalam, tidak 100% dia akan konsentrasi memikirkan Indonesia secara keseluruhan.

Ketika kekuasaan dalam kabinet mulai terbagi, bersiaplah untuk melangkahkan kaki bila suatu ketika berhadapan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak mungkin gaji seorang menteri akan mampu membiayai partainya.
Termasuk parpol pun sulit untuk mengharapkan sumbangan dari kader-kader yang berada di parlemen. Terlebih pada masa-masa sekarang ini ketika pemilu sudah mulai mendekat. Dengan kata lain, tidak mungkin tidur sepondok dalam dua cinta.

Sejatinya, posisi presiden dalam sistem politik Indonesia sudah kuat. Lihat saja zaman Pak Harto ketika memimpin negeri ini. Betapa kuatnya dan nyaris tidak tersentuh. Itu sebabnya kekuatan itu secara perlahan mulai dikurangi.

Namun, pengurangan itu belakangan makin kebablasan terkait dengan perubahan sejumlah UU. Yang terjadi bukan penguatan dalam sistem presidensial seperti yang disepakati, melainkan lebih pada membuat parpol semakin kuat. Desain yang dirancang tidak untuk memperkuat sistem presidensialnya.
Cukup aneh presiden berpikir ia bisa dijatuhkan di tengah kekuasaannya. Tidak semudah yang dibayangkan, presiden bisa sertamerta diganti, karena ongkosnya terlalu mahal. Indonesia bukanlah Jepang yang mungkin saja sebulan sekali ganti perdana menteri. Di Indonesia, saat ini, selama MK belum membuat premis politik untuk menjatuhkan presiden, presiden bisa tidur nyenyak tanpa harus khawatir ketika bangun tidur sudah kehilangan jabatan.

Presiden gamang karena sistem presidensial yang diadopsi tidaklah kuat. Seharusnya, presiden memilih sendiri anggota kabinetnya tanpa campur tangan parpol. Koalisi yang dibangun seperti itu memang tidak bisa dimungkiri bakal menyandera presiden, disadari atau tidak. Itu sebabnya ketika ada kontrak baru dalam koalisi, sangat mungkin itu berisikan hal-hal yang lebih detail dan mengikat.

Salah satunya ialah bagaimana sifat absolut dari keputusan yang dihasilkan setgab untuk diteruskan ke fraksi di parlemen. Apakah kontrak itu tidak menuai perlawanan? Pasti ada.

Kungkungan Sistem

Golkar dan PKS sudah menunjukkan taring kendati akhirnya mereka menandatangani hal tersebut. Perlawanan itu sebetulnya sudah menunjukkan tabiat sebenarnya dari suatu partai. Bukankah tidak ada persahabatan tulus dalam suatu politik? Tidakkah Presiden Yudhoyono menyadari hal itu?

Rasanya tidak mungkin seorang presiden tidak menguasai konstelasi politik seperti itu. Apalagi bila melihat sosok SBY yang sebelum memimpin negeri ini, pernah menjadi Kepala Sosial Politik (Kasospol) TNI, hingga menko polhukam. Toh, nyatanya SBY juga menjalani hal tersebut dengan sukarela walau melihat perjalanan kinerja kabinet Indonesia Bersatu I dan II tidak sepenuhnya memuaskan hatinya.

Seharusnya, untuk tingkat ini, bukan presiden yang mengurusi masalah kontrak politik. Presiden tidaklah memimpin segelintir partai saja. Ia pemimpin seluruh rakyat Indonesia. Kontrak politik dalam koalisi seperti itu cukup ditangani parpol pengusung presiden Partai Demokrat dengan ketua-ketua partai anggota setgab.

Perlu ada rekonstruksi kembali untuk apa yang dinamakan koalisi tersebut. Perlu juga dipertanyakan apakah koalisi yang sudah dibangun dalam sistem politik kita sudah berfungsi sebagai penopang (support system).

Jangan-jangan koalisi yang terjadi itu malah berpotensi menghancurkan sistem itu sendiri. Pada akhirnya semua berjalan tidak maksimal atau malah tidak jalan sama sekali. Contoh paling nyata ialah tabrakan antara variabel governability dengan check and balances dalam sistem koalisi saat ini. Ada kubu yang beranggapan bahwa koalisi harus ditandai dengan kesamaan sikap anggotanya demi terwujudkan stabilitas pemerintahan. Namun, di sisi lain ada yang berpendapat bahwa koalisi itu harus dibangun tanpa mengeliminasi perbedaan sikap dari anggota parlemen. Unik bin ajaib.

Secara praktis keberadaan SBY dalam koalisi seperti ini justru menempatkan Partai Demokrat dalam posisi sulit. Demokrat tidak dalam posisi sebagai `pemimpin' koalisi. Partaipartai itu dengan enteng menyebutkan mereka berkoalisi dengan presiden, bukan dengan Demokrat. Yang sudah terang-terang an menyebutkan hal itu ialah Golkar dan PKS.

Suka tidak suka, koalisi yang terjadi dalam sistem politik presidensial ala Indonesia lebih tepat disebut sebagai `koalisi terpaksa'. Keterpaksaan yang di sebutkan itu lahir karena adanya ambiguitas sistem.
Logika itu terbangun karena adanya sistem pemilu dan kepartaian yang tidak sejalan dengan logika kepresidenan. Itu sebabnya, sekali lagi, pemilu sebaiknya tidak diawali pemilihan anggota parlemen duluan. Pemilu presiden harus dilakukan lebih dulu agar tidak seperti kata pepatah membeli kucing dalam karung.

Setiap partai politik yang menjadi peserta pemilu juga berhak mengajukan calon presiden. Yang ada saat ini, sehebat dan sepandai apa pun orang itu, tidak akan pernah bisa menjadi presiden bila tidak dicalonkan partai politik.

Pemilu presiden yang dilakukan setelah pemilu legislatif justru akan memaksa calon presiden membangun koalisi dengan partai-partai yang ada. Itulah yang menyebabkan terjadinya sistem multipartai untuk membangun kekuasaan mayoritas. Di sini timbul anggapan pemerintahan tidak akan berjalan stabil bila tidak menyertakan partai-partai.

Padahal kalau memaknai koalisi, hal itu sebenarnya justru merupakan bentuk sistem pemerintahan parlementer. Koalisi justru dibangun untuk memperkuat sistem pemerintahan karena bergantung pada suara parlemen. Pada sisi ini, presiden sebagai kepala pemerintahan bisa jatuhkan mosi tidak percaya dari parlemen (Ranadireksa, 2007).

Hanya, kita pahami, saat ini Indonesia tidak lagi menganut sistem parlementer seperti halnya pada era 1960-an. Ketika kemudian Indonesia mengadopsi sistem koalisi, tetapi selalu menyebutkan sistem pemerintahan di sini ialah presidensial, itulah keanehan--kalau tidak ingin disebut ngawur.
Membangun koalisi biasanya didasarkan pada kesamaan platform atau ideologi agar tercipta harmonisasi dalam perjalanannya. Fakta yang ada, jangankan harmonisasi, platform tiap anggota koalisi saja tidak banyak kesamaan. Hal itulah yang disebutkan Arend Liptjhard (1977) sebagai sebuah demokrasi konsensus.

Namun, dalam sistem ala SBY saat ini, justru sistem koalisi tambun yang diperlihatkan kepada publik dengan kekuatan 75,54% dan menjadi koalisi timpang karena menempatkan dua subjek yang memiliki otoritas berbeda. Kontrak koalisi itu dilakukan antara presiden sebagai pemegang otoritas lembaga eksekutif dan partai sebagai pemegang otoritas lembaga legislatif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar