KOALISI partai politik
(parpol) yang dibangun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama ini dinilai
tidak efektif. Koalisi itu bahkan memunculkan sebuah anomali sistem politik
di Indonesia dan itu terus berlangsung dalam pemerintahan SBY periode
2009-2014.
Demikian benang merah diskusi panel ahli bertema Mencari format
koalisi pemerintahan yang ideal di Kantor Media Indonesia, Jakarta, Selasa
(5/3). Hadir sebagai pembicara dalam acara itu Direktur Riset Charta
Politika Yunarto Wijaya, pakar hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin,
pengamat politik dari Reform Institute Yudi Latif, dan pengamat ekonomi
dari UI Ahmad Erani Yustika.
“Tampaknya
SBY melestarikan anomali sistem, terutama untuk periode 2009-2014,” ujar Yunarto.
Dia menjelaskan yang di maksud anomali ialah sistem
presidensial berjalan seiring dengan multipartai. Parpol bahkan cenderung
menjadi dominan. Ruang gerak yang besar diberikan kepada parpol, bukan
kepada presiden. Hal itu dapat dilihat dari proses pemilihan umum (pemilu)
presiden yang dinilai sangat bergantung pada pemilihan legislatif.
“Hari
pertama quick count legislatif usai maka calon presiden sudah harus
negosiasi dengan parpol-parpol tertentu. Lalu koalisi yang terjadi
sekarang, presiden tandatangan kontrak dengan para ketua umum parpol di
koalisi.”
Andi Irmanputra Sidin
mengatakan besarnya ruang gerak bagi parpol juga disebabkan dukungan
undang-undang. Ia menyayangkan sikap presiden terpilih yang justru
menguatkan parpol-parpol dalam koalisi. “Jangan
lantas presiden bagi-bagi kue ke menteri dari parpol setelah terpilih.“
Irman menambahkan, presiden terpilih memang usungan parpol.
Namun, yang lebih penting lagi ialah parpol harus terus mematangkan
organisasi sehingga mampu memproduksi pemimpin untuk lima tahun berikutnya.
Yudi Latif menilai dengan adanya koalisi parpol itu, sistem
presidensial tidak berjalan secara murni. Menurut dia, ada dua hal yang
memunculkan terjadinya koalisi parpol dan bisa berjalan dengan baik.
Pertama, pemilihan presiden dilangsungkan terlebih dulu daripada pemilihan
parlemen. “Kedua, seperti pemilihan
di Prancis, di sana ada presiden dan perdana menteri,“ ujar Yudi.
Tiga Visi
Ekonomi
Di sisi lain, Erani Yustika mengimbau agar parpol menunjukkan
visi-misi mereka di bidang ekonomi. Selama ini ia melihat masih banyak
parpol yang tidak memperkenalkan sudut pandang ekonomi mereka. “Isu-isu
strategis harus disampaikan kepada publik.“
Menurut dia, ada tiga poin penting menyangkut visi parpol di
bidang ekonomi, yaitu yang menyangkut masalah sosialisme,
developmentalisme, dan kapitalisme.
Erani menyatakan PDI Perjuangan dan Gerindra memiliki ide
dasar yang mirip dengan poin pertama, sosialisme. Golkar meng adopsi poin
kedua. Namun, tidak ada parpol yang berani terang-terangan menabalkan ide
kapitalisme.
“Parpol-parpol
lainnya belum jelas jenis kelamin visi ekonomi mereka,“ pungkasnya. (Eko/X-5)
---------------------------------------------------------------------------------------------------
SISTEM politik yang dianut
Indonesia sangat mungkin paling unik di dunia. Hal itu tampak dari begitu
kencangnya mengadopsi sistem presidensial dalam pola pemerintahannya, tetapi
kekuatannya justru terjadi di tingkat parlementer. Legislatif begitu
berkuasa sampai-sampai presiden sebagai kepala pemerintah tidak berdaya
untuk mengambil kebijakan mandiri.
Di sisi lain, bahkan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono justru dengan sengaja menceburkan diri dalam suatu
koalisi timpang yang dibuat dengan dalih untuk keseimbangan pemerintahan.
Padahal, demokrasi ideal itu mengharuskan terjadinya kesetaraan. Kesetaraan
dalam suatu pemerintahan, tidak ada yang lebih kuat antara presiden dan parlemen.
Bila tidak terjadi kesetaraan, yang muncul ialah oligarki.
Sejarah Indonesia sudah memberikan
pembelajaran bahwa oligarki itu pernah muncul di sini. Saat Pak Harto
berkuasa, oligarki militer yang muncul. Saat ini justru oligarki kapitalis
yang sedang berlangsung. Semua itu terjadi karena adanya kesalahan
institusional dari demokrasi yang ada.
Lantas, demokrasi seperti apa yang ada di
Indonesia? Pola bagaimana yang seharusnya diadopsi di negara ini? Tidak
boleh konsep demokrasi main comot dari luar untuk kemudian diterapkan di
sini. Demokrasi tetaplah harus melihat kondisi masyarakat tempat demokrasi
itu akan diterapkan.
Kegagalan dalam demokrasi di Indonesia
disebabkan praktiknya mendasarkan pada kekuatan uang (cost of power). Di sisi lain, Republik ini diserahkan kepada
tangan-tangan privat. Padahal, kondisi seperti itu sesungguhnya mendikte
demokrasi. Salah satu contoh kegagalan dalam sistem presidensial yang
diadopsi Indonesia ialah adanya koalisi. Padahal, koalisi itu sesungguhnya
ada di dalam sistem parlementer. Kondisi itu menyebabkan Presiden Yudhoyono
tidak leluasa untuk membuat keputusannya sendiri. Itu bisa dilihat dari
kemunculan sekretariat gabungan (setgab) yang justu menyandera Presiden
sebagai ketua setgab.
Kondisi itulah yang dimanfaatkan oleh
anggota koalisi untuk `bermainmain' di parlemen. Jika ingin menjalankan
sistem presidensial secara murni, tidak ada yang namanya koalisi. Rod Hague
dalam Comparative Government and
Politics menyebutkan pemerintahan presidensial terdiri dari tiga unsur.
Pertama presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat
pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait. Kedua presiden dan legislatif
memiliki masa jabatan yang tetap, tetapi tidak bisa saling menjatuhkan. Ketiga
tidak ada tumpang-tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.
Indonesia sudah menerapkan ketiga poin tersebut. Hanya, sekali lagi,
kondisi di negara ini membuat Presiden mengalami ketakutan terhadap
parlemen.
Perhatikan
Berbagai Aspek
Perkembangan yang tidak kalah menarik ialah
ketika tidak ada partai yang berani menegaskan sanggup memenuhi ambang
batas 20% sebagai syarat mengajukan calon presiden. Mereka yakin tidak akan
ada satu pun yang bisa memenuhinya.
Itu sebabnya cara termudah ialah melihat
lebih dulu hasil pemilu legislatif, baru kemudian mereka menyorongkan nama
calon presiden masing-masing. Bahkan ketika hasil quick count mulai diumumkan dan sudah hampir pasti siapa
pemenang pemilu, malam harinya para ketua partai akan melakukan lobi-lobi.
Itu sebabnya ketika Partai Demokrat
memenangi pemilu yang lalu, kendati tidak mampu memenangi ambang batas
tersebut, mereka tetap optimistis dengan mengusung Susilo Bambang
Yudhoyono.
Hanya, bisa ditebak bahwa partai ini tidak
percaya diri untuk melangkah sendirian menyusun pemerintahan. Itu sebabnya
SBY langsung menggandeng sejumlah partai politik untuk membentuk sebuah
kabinet. Padahal, kondisi seperti itu seperti memberi ruang kepada partai
politik untuk berulah. Bisa dilihat bagaimana anggota mereka di parlemen kerap
mengkritik jalannya pemerintahan, tanpa merasa bersalah.
Alasannya mereka sedang menjalankan tugas
sebagai wakil rakyat sehingga tidak ada kaitannya dengan koalisi. Jangan
berharap para ketua partai politik yang punya wakil di kabinet mau
mengikuti apa keinginan SBY. Jelas terlihat bagaimana tidak berwibawanya
seorang presiden yang kemudian terkungkung dalam keputusan yang dibuatnya
sendiri.
Dengan kata lain, bila ingin mengadopsi
koalisi, jangan asal comot. Lihat bagaimana kondisi masyarakat yang ada di
negara tersebut. Di sisi lain harus memperhatikan beberapa hal seperti
historis, sosiologis, dan filosofis dari bangsa tersebut. Padahal tidak
seharusnya ketika seseorang tampil sebagai presiden, ia membagi kekuasaan
atau kabinet seperti halnya membagi kue ulang tahun.
Apalagi kemudian ia membagi kursi-kursi
kabinet dengan partai-partai yang ada. Jangan berharap mereka akan patuh
karena tidak mungkin setelah menjadi anggota kabinet, pikiran mereka akan
tercurah memikirkan rakyat. Pasti mereka akan membagi kaki mereka.
Setidaknya baru Partai Keadilan Sejahtera
yang `merelakan' kader mereka tidak mengurusi partai ketika menjadi anggota
kabinet walau, barangkali, kalau diselisik lebih dalam, tidak 100% dia akan
konsentrasi memikirkan Indonesia secara keseluruhan.
Ketika kekuasaan dalam kabinet mulai
terbagi, bersiaplah untuk melangkahkan kaki bila suatu ketika berhadapan
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak mungkin gaji seorang
menteri akan mampu membiayai partainya.
Termasuk parpol pun sulit untuk mengharapkan sumbangan dari kader-kader
yang berada di parlemen. Terlebih pada masa-masa sekarang ini ketika pemilu
sudah mulai mendekat. Dengan kata lain, tidak mungkin tidur sepondok dalam
dua cinta.
Sejatinya, posisi presiden dalam sistem
politik Indonesia sudah kuat. Lihat saja zaman Pak Harto ketika memimpin
negeri ini. Betapa kuatnya dan nyaris tidak tersentuh. Itu sebabnya
kekuatan itu secara perlahan mulai dikurangi.
Namun, pengurangan itu belakangan makin
kebablasan terkait dengan perubahan sejumlah UU. Yang terjadi bukan
penguatan dalam sistem presidensial seperti yang disepakati, melainkan
lebih pada membuat parpol semakin kuat. Desain yang dirancang tidak untuk
memperkuat sistem presidensialnya.
Cukup aneh presiden berpikir ia bisa
dijatuhkan di tengah kekuasaannya. Tidak semudah yang dibayangkan, presiden
bisa sertamerta diganti, karena ongkosnya terlalu mahal. Indonesia bukanlah
Jepang yang mungkin saja sebulan sekali ganti perdana menteri. Di
Indonesia, saat ini, selama MK belum membuat premis politik untuk
menjatuhkan presiden, presiden bisa tidur nyenyak tanpa harus khawatir
ketika bangun tidur sudah kehilangan jabatan.
Presiden gamang karena sistem presidensial
yang diadopsi tidaklah kuat. Seharusnya, presiden memilih sendiri anggota kabinetnya
tanpa campur tangan parpol. Koalisi yang dibangun seperti itu memang tidak
bisa dimungkiri bakal menyandera presiden, disadari atau tidak. Itu
sebabnya ketika ada kontrak baru dalam koalisi, sangat mungkin itu
berisikan hal-hal yang lebih detail dan mengikat.
Salah satunya ialah bagaimana sifat absolut
dari keputusan yang dihasilkan setgab untuk diteruskan ke fraksi di
parlemen. Apakah kontrak itu tidak menuai perlawanan? Pasti ada.
Kungkungan
Sistem
Golkar dan PKS sudah menunjukkan taring
kendati akhirnya mereka menandatangani hal tersebut. Perlawanan itu
sebetulnya sudah menunjukkan tabiat sebenarnya dari suatu partai. Bukankah
tidak ada persahabatan tulus dalam suatu politik? Tidakkah Presiden
Yudhoyono menyadari hal itu?
Rasanya tidak mungkin seorang presiden
tidak menguasai konstelasi politik seperti itu. Apalagi bila melihat sosok
SBY yang sebelum memimpin negeri ini, pernah menjadi Kepala Sosial Politik
(Kasospol) TNI, hingga menko polhukam. Toh, nyatanya SBY juga menjalani hal
tersebut dengan sukarela walau melihat perjalanan kinerja kabinet Indonesia
Bersatu I dan II tidak sepenuhnya memuaskan hatinya.
Seharusnya, untuk tingkat ini, bukan
presiden yang mengurusi masalah kontrak politik. Presiden tidaklah memimpin
segelintir partai saja. Ia pemimpin seluruh rakyat Indonesia. Kontrak
politik dalam koalisi seperti itu cukup ditangani parpol pengusung presiden
Partai Demokrat dengan ketua-ketua partai anggota setgab.
Perlu ada rekonstruksi kembali untuk apa
yang dinamakan koalisi tersebut. Perlu juga dipertanyakan apakah koalisi
yang sudah dibangun dalam sistem politik kita sudah berfungsi sebagai
penopang (support system).
Jangan-jangan koalisi yang terjadi itu
malah berpotensi menghancurkan sistem itu sendiri. Pada akhirnya semua berjalan
tidak maksimal atau malah tidak jalan sama sekali. Contoh paling nyata
ialah tabrakan antara variabel governability
dengan check and balances dalam
sistem koalisi saat ini. Ada kubu yang beranggapan bahwa koalisi harus
ditandai dengan kesamaan sikap anggotanya demi terwujudkan stabilitas
pemerintahan. Namun, di sisi lain ada yang berpendapat bahwa koalisi itu
harus dibangun tanpa mengeliminasi perbedaan sikap dari anggota parlemen.
Unik bin ajaib.
Secara praktis keberadaan SBY dalam koalisi
seperti ini justru menempatkan Partai Demokrat dalam posisi sulit. Demokrat
tidak dalam posisi sebagai `pemimpin' koalisi. Partaipartai itu dengan
enteng menyebutkan mereka berkoalisi dengan presiden, bukan dengan
Demokrat. Yang sudah terang-terang an menyebutkan hal itu ialah Golkar dan
PKS.
Suka tidak suka, koalisi yang terjadi dalam
sistem politik presidensial ala Indonesia lebih tepat disebut sebagai
`koalisi terpaksa'. Keterpaksaan yang di sebutkan itu lahir karena adanya
ambiguitas sistem.
Logika itu terbangun karena adanya sistem
pemilu dan kepartaian yang tidak sejalan dengan logika kepresidenan. Itu sebabnya,
sekali lagi, pemilu sebaiknya tidak diawali pemilihan anggota parlemen
duluan. Pemilu presiden harus dilakukan lebih dulu agar tidak seperti kata
pepatah membeli kucing dalam karung.
Setiap partai politik yang menjadi peserta
pemilu juga berhak mengajukan calon presiden. Yang ada saat ini, sehebat
dan sepandai apa pun orang itu, tidak akan pernah bisa menjadi presiden
bila tidak dicalonkan partai politik.
Pemilu presiden yang dilakukan setelah
pemilu legislatif justru akan memaksa calon presiden membangun koalisi
dengan partai-partai yang ada. Itulah yang menyebabkan terjadinya sistem
multipartai untuk membangun kekuasaan mayoritas. Di sini timbul anggapan
pemerintahan tidak akan berjalan stabil bila tidak menyertakan
partai-partai.
Padahal kalau memaknai koalisi, hal itu
sebenarnya justru merupakan bentuk sistem pemerintahan parlementer. Koalisi
justru dibangun untuk memperkuat sistem pemerintahan karena bergantung pada
suara parlemen. Pada sisi ini, presiden sebagai kepala pemerintahan bisa
jatuhkan mosi tidak percaya dari parlemen (Ranadireksa, 2007).
Hanya, kita pahami, saat ini Indonesia
tidak lagi menganut sistem parlementer seperti halnya pada era 1960-an.
Ketika kemudian Indonesia mengadopsi sistem koalisi, tetapi selalu
menyebutkan sistem pemerintahan di sini ialah presidensial, itulah
keanehan--kalau tidak ingin disebut ngawur.
Membangun koalisi biasanya didasarkan pada
kesamaan platform atau ideologi agar tercipta harmonisasi dalam
perjalanannya. Fakta yang ada, jangankan harmonisasi, platform tiap anggota
koalisi saja tidak banyak kesamaan. Hal itulah yang disebutkan Arend
Liptjhard (1977) sebagai sebuah demokrasi konsensus.
Namun, dalam sistem ala SBY saat ini,
justru sistem koalisi tambun yang diperlihatkan kepada publik dengan
kekuatan 75,54% dan menjadi koalisi timpang karena menempatkan dua subjek
yang memiliki otoritas berbeda. Kontrak koalisi itu dilakukan antara
presiden sebagai pemegang otoritas lembaga eksekutif dan partai sebagai
pemegang otoritas lembaga legislatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar