Kamis, 21 Maret 2013

Ketergantungan Impor dan Kedaulatan Pangan


Ketergantungan Impor dan Kedaulatan Pangan
Teddy Lesmana ;  Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
MEDIA INDONESIA, 21 Maret 2013


“Rakyat padang pasir bisa hidup, masak kita tidak bisa hidup! Rakyat Mongolia (padang pasir juga) bisa hidup, masak kita tidak bisa membangun satu masyarakat adil-makmur gemah ripah loh jinawi, tata tenteram kertaraharja, di mana si Dullah cukup sandang, cukup pangan, si Sarinem cukup sandang, cukup pangan? Kalau kita tidak bisa menyelenggarakan sandang-pangan di tanah air kita yang kaya ini, maka sebenarnya kita Beograd yang tolol, kita Beograd yang maha tolol.“ (Pidato Bung Karno pada Konferensi Colombo Plan di Yogyakarta 1953)

UNGKAPAN Bung Karno 60 tahun yang lalu itu se akan masih sangat relevan dengan apa yang terjadi dalam konteks kekinian Indonesia menyangkut pemenuhan dan kemandirian pangan kita. Baru­baru ini, persoalan impor sapi kembali menyeruak ke jagat publik di Indonesia seiring dengan adanya dugaan suap impor sapi yang menerpa sebuah partai politik. Terlepas dari soal indikasi adanya tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut, sebenarnya ada persoalan yang sangat krusial terkait dengan persoalan pemenuhan kebutuhan protein hewani yang dalam hal ini daging sapi. Sejatinya, importasi tidak hanya terjadi di sektor peternakan, tetapi bisa dikatakan pada hampir semua komoditas pangan strategis yang dikonsumsi orang banyak.

Untuk mencapai swasembada pangan termasuk daging sapi, pemerintah sejatinya telah melakukan berbagai upaya meski memang tidak mudah di era perdagangan bebas. Upaya tersebut juga tak jarang menghadapi tekanan dari negara lain. Pemerintah dan DPR sebenarnya telah merevisi UU No 7/1996 tentang Pangan. UU Pangan yang baru disahkan pada Oktober 2012 itu, di antaranya, menegaskan Indonesia tidak boleh dikendalikan pihak mana pun dalam hal kebijakan pangan dan impor yang merupakan pilihan terakhir dalam memenuhi kecukupan akan pangan.

Sebelum direvisi, UU tersebut hanya mensyaratkan soal ketahanan pangan dengan ketersediaan stok pangan tanpa memandang dari mana sumbernya termasuk importasi. Oleh karena itu, ketahanan pangan dalam roh UU Pangan yang baru itu harus diperjuangkan dengan lebih membuka kesempatan bagi para petani dan peternak di Indonesia untuk berpartisipasi aktif dan menjadi bagian integral dari upaya mencapai kedaulatan pangan tersebut.

Terkait dengan importasi daging sapi di Indonesia, bagaimanakah seharusnya kita menyikapi ketergantungan akan impor? Adakah kemungkinan Indonesia bisa membangun kedaulatan pangan sendiri khususnya dalam hal pemenuhan daging sapi?

Untuk melihat seberapa jauh kekuatan Indonesia dalam memenuhi ketersediaan daging dari para peternak lokal dalam kerangka kerja Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) 2014, Kementerian Pertanian telah meminta Badan Pusat Statistik (BPS) menyensus sapi atau yang dikenal dengan Pendataan Sapi Potong Perah dan Kerbau (SPPK) 2011.
Pendataan tersebut juga memiliki urgensi yang sangat mendesak untuk mengetahui sejauh mana Indonesia dapat mewujudkan swasembada daging sapi pada 2014 mendatang.

Berdasarkan hasil sensus tersebut, yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia pada Juni 2011, Indonesia diketahui memiliki populasi sapi potong mencapai 14,8 juta ekor, sapi perah 597,1 ribu ekor, dan kerbau 1,3 juta ekor. Jika dirinci menurut daerah, provinsi yang memiliki populasi sapi potong lebih dari 0,5 juta ekor berturutturut ialah Jawa Timur 4,7 juta ekor, Jawa Tengah 1,9 juta, Sulawesi Selatan 984 ribu ekor, NTT 778,2 ribu ekor, Lampung 742,8 ribu ekor, NTB 685,8 ribu ekor, Bali 637,5 ribu ekor, dan Sumatra Utara 541,7 ribu ekor.

Sementara itu, untuk sapi perah, populasi terbanyak di Jawa Timur 296,3 ribu ekor, sedangkan kerbau di NTT sebanyak 150 ribu ekor. Dari sensus tersebut juga diketahui, rumah tangga peternak sapi selama ini umumnya hanya memiliki ternak sebanyak 3-4 ekor.

Di lain pihak, kebutuhan daging sapi di Indonesia tumbuh secara positif seiring dengan semakin meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Misalnya, pada 2011 kebutuhan per kapita 1,9 kg/tahun, pada 2012 mencapai 2,2 kg/ tahun. Bukan tidak mungkin kebutuhan da ging sapi di Indonesia akan naik hingga 7 kg/tahun seperti Malaysia.

Meskipun konsumsi per kapita Indonesia relatif masih rendah ika dibandingkan dengan negara­negara tetangga di Asia Tenggara, Indonesia masih membutuhkan suplai daging sapi paling tidak 448 ribu ton per tahun.

Dari jumlah tersebut, baru sekitar 85% yang dapat dipenuhi produksi daging sapi lokal. Konsekuensi nya, Indonesia masih harus mengimpor dari negara lain seperti dari Australia dan Amerika Serikat.

Integrasi Tanaman Ternak

Meski peternakan sapi di Indone sia telah berkembang cukup lama, umumnya upaya pemeliharaan sapi di Indonesia masih dijalankan secara konvensional. Usaha peternakan itu dijalankan sebagai usaha sambilan dan belum dikelola dengan pendekatan manajemen usaha ternak yang modern.

Upaya memenuhi ketersediaan daging sapi domestik sebenarnya bisa disandingkan dengan usaha pertanian dan perkebunan seperti padi, tebu, dan kelapa sawit, kemudian residu usaha tani dan kebun tersebut bisa menjadi tambahan pakan ternak.

Kementerian Pertanian sebetulnya sudah mengimplementasikan program sistem integrasi tanaman ternak (SITT) yang juga dijabarkan dalam subsektor perkebunan dengan sistem integrasi sapi­ kelapa sawit (Siska) sejak 2007 lalu. Siska kemudian digalakkan di perkebunan swadaya masyarakat, perusahaan besar swasta, dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN).

Sebagai langkah awal dari program tersebut, pemerintah memberikan bantuan sapi kepada para petani dengan cara bantuan bergulir. Juga, memberikan bantuan kandang dan penyuluhan mengenai masalah pemeliharaan dan pola pakan ternak. Ketika diintegrasikan dengan usaha tani dan perkebunan, sapi yang tadinya dengan pakan utama berupa rumput dicoba dikomplementerkan dalam bentuk menu tambahan pakan ternak yang berasal dari residu usaha perkebunan dan pertanian. Misalnya pakan dari pelepah daun sawit yang dicacah dengan mesin.

Selain itu, limbah kotoran dan urine sapi dapat dimanfaatkan menjadi pupuk kebun. Dengan integrasi tersebut, kendala permasalahan lahan dan pakan ternak bisa diatasi secara simultan.
Selain itu, limbah ternak tersebut dapat digunakan sebagai sumber energi untuk penggerak tenaga listrik dan kompor gas untuk memasak. Implementasi konsep itu telah menunjukkan kesuksesan di Provinsi Bengkulu, Riau, dan Kalimantan Tengah. Upaya tersebut bisa mengatasi persoalan keterbatasan lahan yang dapat disandingkan dengan upaya pemaksimalan usaha tani dan perkebunan.

Selain pelaksanaan konsep integrasi tanaman ternak tadi, diperlukan pula dukungan berupa edukasi kepada para petani dan peternak serta penumbuhan kesamaan pijakan (common ground) mulai perbankan, swasta, hingga pemerintah untuk mencapai kedaulatan pangan khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan daging sapi di Indonesia.

Jika saja konsistensi upaya pemenuhan kebutuhan akan daging sapi dari suplai domestik itu bisa terus dijaga, dan juga dilakukan usaha untuk mempersempit kemungkinan terjadinya perburuan rente dari importasi daging sapi, Indonesia seharusnya sudah mampu berdaulat atas kebutuhan pangan sendiri sehingga apa yang pernah diungkapkan Bung Karno tadi tidak harus selalu terulang kembali. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar