“Rakyat padang pasir bisa hidup, masak kita tidak bisa
hidup! Rakyat Mongolia (padang pasir juga) bisa hidup, masak kita tidak
bisa membangun satu masyarakat adil-makmur gemah ripah loh jinawi, tata
tenteram kertaraharja, di mana si Dullah cukup sandang, cukup pangan, si
Sarinem cukup sandang, cukup pangan? Kalau kita tidak bisa menyelenggarakan
sandang-pangan di tanah air kita yang kaya ini, maka sebenarnya kita
Beograd yang tolol, kita Beograd yang maha tolol.“ (Pidato Bung Karno pada Konferensi Colombo Plan di Yogyakarta 1953)
UNGKAPAN Bung Karno 60 tahun yang lalu itu
se akan masih sangat relevan dengan apa yang terjadi dalam konteks kekinian
Indonesia menyangkut pemenuhan dan kemandirian pangan kita. Barubaru ini,
persoalan impor sapi kembali menyeruak ke jagat publik di Indonesia seiring
dengan adanya dugaan suap impor sapi yang menerpa sebuah partai politik.
Terlepas dari soal indikasi adanya tindak pidana korupsi dalam kasus
tersebut, sebenarnya ada persoalan yang sangat krusial terkait dengan
persoalan pemenuhan kebutuhan protein hewani yang dalam hal ini daging
sapi. Sejatinya, importasi tidak hanya terjadi di sektor peternakan, tetapi
bisa dikatakan pada hampir semua komoditas pangan strategis yang
dikonsumsi orang banyak.
Untuk mencapai swasembada pangan termasuk
daging sapi, pemerintah sejatinya telah melakukan berbagai upaya meski
memang tidak mudah di era perdagangan bebas. Upaya tersebut juga tak jarang
menghadapi tekanan dari negara lain. Pemerintah dan DPR sebenarnya telah
merevisi UU No 7/1996 tentang Pangan. UU Pangan yang baru disahkan pada
Oktober 2012 itu, di antaranya, menegaskan Indonesia tidak boleh
dikendalikan pihak mana pun dalam hal kebijakan pangan dan impor yang
merupakan pilihan terakhir dalam memenuhi kecukupan akan pangan.
Sebelum direvisi, UU tersebut hanya
mensyaratkan soal ketahanan pangan dengan ketersediaan stok pangan tanpa
memandang dari mana sumbernya termasuk importasi. Oleh karena itu,
ketahanan pangan dalam roh UU Pangan yang baru itu harus diperjuangkan
dengan lebih membuka kesempatan bagi para petani dan peternak di Indonesia
untuk berpartisipasi aktif dan menjadi bagian integral dari upaya mencapai
kedaulatan pangan tersebut.
Terkait dengan importasi daging sapi di
Indonesia, bagaimanakah seharusnya kita menyikapi ketergantungan akan
impor? Adakah kemungkinan Indonesia bisa membangun kedaulatan pangan
sendiri khususnya dalam hal pemenuhan daging sapi?
Untuk melihat seberapa jauh kekuatan
Indonesia dalam memenuhi ketersediaan daging dari para peternak lokal dalam
kerangka kerja Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) 2014,
Kementerian Pertanian telah meminta Badan Pusat Statistik (BPS) menyensus
sapi atau yang dikenal dengan Pendataan Sapi Potong Perah dan Kerbau (SPPK)
2011.
Pendataan tersebut juga memiliki urgensi yang sangat mendesak untuk
mengetahui sejauh mana Indonesia dapat mewujudkan swasembada daging sapi
pada 2014 mendatang.
Berdasarkan hasil sensus tersebut, yang
dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia pada Juni 2011, Indonesia
diketahui memiliki populasi sapi potong mencapai 14,8 juta ekor, sapi perah
597,1 ribu ekor, dan kerbau 1,3 juta ekor. Jika dirinci menurut daerah,
provinsi yang memiliki populasi sapi potong lebih dari 0,5 juta ekor
berturutturut ialah Jawa Timur 4,7 juta ekor, Jawa Tengah 1,9 juta,
Sulawesi Selatan 984 ribu ekor, NTT 778,2 ribu ekor, Lampung 742,8 ribu
ekor, NTB 685,8 ribu ekor, Bali 637,5 ribu ekor, dan Sumatra Utara 541,7
ribu ekor.
Sementara itu, untuk sapi perah, populasi
terbanyak di Jawa Timur 296,3 ribu ekor, sedangkan kerbau di NTT sebanyak
150 ribu ekor. Dari sensus tersebut juga diketahui, rumah tangga peternak
sapi selama ini umumnya hanya memiliki ternak sebanyak 3-4 ekor.
Di lain pihak, kebutuhan daging sapi di
Indonesia tumbuh secara positif seiring dengan semakin meningkatnya tingkat
kesejahteraan masyarakat. Misalnya, pada 2011 kebutuhan per kapita 1,9
kg/tahun, pada 2012 mencapai 2,2 kg/ tahun. Bukan tidak mungkin kebutuhan
da ging sapi di Indonesia akan naik hingga 7 kg/tahun seperti Malaysia.
Meskipun konsumsi per kapita Indonesia
relatif masih rendah ika dibandingkan dengan negaranegara tetangga di Asia
Tenggara, Indonesia masih membutuhkan suplai daging sapi paling tidak 448
ribu ton per tahun.
Dari jumlah tersebut, baru sekitar 85% yang
dapat dipenuhi produksi daging sapi lokal. Konsekuensi nya, Indonesia masih
harus mengimpor dari negara lain seperti dari Australia dan Amerika
Serikat.
Integrasi
Tanaman Ternak
Meski peternakan sapi di Indone sia telah
berkembang cukup lama, umumnya upaya pemeliharaan sapi di Indonesia masih
dijalankan secara konvensional. Usaha peternakan itu dijalankan sebagai
usaha sambilan dan belum dikelola dengan pendekatan manajemen usaha ternak
yang modern.
Upaya memenuhi ketersediaan daging sapi
domestik sebenarnya bisa disandingkan dengan usaha pertanian dan perkebunan
seperti padi, tebu, dan kelapa sawit, kemudian residu usaha tani dan kebun
tersebut bisa menjadi tambahan pakan ternak.
Kementerian Pertanian sebetulnya sudah
mengimplementasikan program sistem integrasi tanaman ternak (SITT) yang
juga dijabarkan dalam subsektor perkebunan dengan sistem integrasi sapi
kelapa sawit (Siska) sejak 2007 lalu. Siska kemudian digalakkan di
perkebunan swadaya masyarakat, perusahaan besar swasta, dan PT Perkebunan
Nusantara (PTPN).
Sebagai langkah awal dari program tersebut,
pemerintah memberikan bantuan sapi kepada para petani dengan cara bantuan
bergulir. Juga, memberikan bantuan kandang dan penyuluhan mengenai masalah
pemeliharaan dan pola pakan ternak. Ketika diintegrasikan dengan usaha tani
dan perkebunan, sapi yang tadinya dengan pakan utama berupa rumput dicoba
dikomplementerkan dalam bentuk menu tambahan pakan ternak yang berasal dari
residu usaha perkebunan dan pertanian. Misalnya pakan dari pelepah daun
sawit yang dicacah dengan mesin.
Selain itu, limbah kotoran dan urine sapi
dapat dimanfaatkan menjadi pupuk kebun. Dengan integrasi tersebut, kendala
permasalahan lahan dan pakan ternak bisa diatasi secara simultan.
Selain itu, limbah ternak tersebut dapat
digunakan sebagai sumber energi untuk penggerak tenaga listrik dan kompor
gas untuk memasak. Implementasi konsep itu telah menunjukkan kesuksesan di
Provinsi Bengkulu, Riau, dan Kalimantan Tengah. Upaya tersebut bisa
mengatasi persoalan keterbatasan lahan yang dapat disandingkan dengan upaya
pemaksimalan usaha tani dan perkebunan.
Selain pelaksanaan konsep integrasi tanaman
ternak tadi, diperlukan pula dukungan berupa edukasi kepada para petani dan
peternak serta penumbuhan kesamaan pijakan (common ground) mulai perbankan, swasta, hingga pemerintah untuk
mencapai kedaulatan pangan khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan daging
sapi di Indonesia.
Jika saja konsistensi upaya pemenuhan
kebutuhan akan daging sapi dari suplai domestik itu bisa terus dijaga, dan
juga dilakukan usaha untuk mempersempit kemungkinan terjadinya perburuan
rente dari importasi daging sapi, Indonesia seharusnya sudah mampu
berdaulat atas kebutuhan pangan sendiri sehingga apa yang pernah
diungkapkan Bung Karno tadi tidak harus selalu terulang kembali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar