Selasa, 05 Maret 2013

Kelaparan dan Perubahan Budaya


Kelaparan dan Perubahan Budaya
Agus Pakpahan ;  Ekonom Kelembagaan dan Sumber Daya Alam
KORAN TEMPO, 04 Maret 2013
  

Pada awal tulisan ini, saya menggunakan hasil kajian International Food Policy Research Institute (IFPRI) yang disampaikan dalam laporan "2012 Global Hunger Index". Dengan menggunakan ukuran kelaparan sebagai indeks gabungan dari tiga peubah utama, yaitu (1) persentase populasi dengan tingkat konsumsi kalori kurang dari standar (menggambarkan proporsi populasi yang kekurangan kalori); (2) persentase anak-anak berusia kurang dari 5 tahun yang berat badannya kurang dari patokan/standar kesehatan (kontet, kurus-kering); dan (3) tingkat kematian anak-anak dengan usia kurang dari 5 tahun, maka Indonesia tergolong sebagai negara dengan tingkat kelaparan serius yang lebih buruk daripada Lesotho, Mongolia, Republik Kongo, Vietnam, atau Mauritania--lima negara yang secara berurutan berada di atas posisi Indonesia (lihat Tabel 2.1 dalam Laporan IFPRI, 2012).
Informasi di atas itu tentu haruslah sangat menggelisahkan kita semua. Mengapa terjadi? Dalam kesempatan ini, saya tidak akan berargumentasi tentang validitas dari hasil kajian IFPRI tersebut, melainkan ingin menyampaikan pandangan bahwa, memang untuk dapat mengatasi permasalahan kelaparan tersebut, tidaklah sekadar meningkatkan pendapatan atau memberikan lapangan pekerjaan. Kita memerlukan upaya yang lebih besar lagi, yang saya namakan dalam tulisan ini adalah perubahan budaya.
Saya masih ingat sebuah hasil penelitian pada 1980-an awal yang menyatakan bahwa pola konsumsi pangan di Indonesia tidak bergantung pada tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan. Apakah hasil penelitian tersebut masih valid pada saat sekarang, saya belum memiliki informasi mutakhir. Tapi, melalui pengamatan sekilas, hal tersebut menunjukkan masih berlaku, apalagi dengan melihat seriusnya tingkat kelaparan Indonesia menurut IFPRI ini.
Mengingat ukuran yang digunakan IFPRI ini cukup substansial, faktor-faktor yang menyebabkan rendah-tingginya tingkat kelaparan di suatu negara juga cukup substansial. Saya ingin menyoroti satu hal penting yang kiranya memberikan kontribusi besar bagi terjadinya pencapaian kinerja tingkat kelaparan yang digolongkan rendah oleh IFPRI, yaitu tingkat kelaparan di bawah indeks 5,00, yang berlaku bagi kelompok 41 negara berkembang.
Substansi yang ingin saya jadikan bahan diskusi ini adalah posisi pertanian, khususnya rasio nilai tambah pertanian per tenaga kerja (sebagai indikator kesejahteraan petani) terhadap pendapatan rata-rata nasional pada suatu negara. Rasio ini juga menggambarkan besaran tingkat ketimpangan petani terhadap rata-rata nasional. Hipotesisnya adalah, semakin besar rasio tersebut atau semakin tinggi pendapatan petani relatif terhadap pendapatan rata-rata nasional pada suatu negara, maka semakin kecil intensitas atau tingkat kelaparan pada negara tersebut. Hipotesis ini pada umumnya sudah berlaku untuk kasus di negara maju.
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya (Suara Pembaruan, 14 Februari 2013), yaitu pertama, terdapat 12 negara atau 29 persen dari 41 negara dicirikan oleh rasio nilai tambah pertanian per tenaga kerja dengan pendapatan per kapita nasional lebih besar daripada 1,0; kedua, 14 negara atau 34 persen dari negara-negara tergolong dalam kelompok 41 negara tersebut memiliki nilai rasio berkisar antara 0,5 dan sama dengan pendapatan rata-rata nasional. Jadi, 63 persen pendapatan per petani di negara berkembang yang tingkat kelaparannya rendah berkisar antara setengah dan lebih tinggi daripada rata-rata pendapatan nasional. Sebagai gambaran, untuk Indonesia, nilai rasio yang dimaksud turun dari 0,35 pada 2007 menjadi 0,24 pada 2010, atau menurun 11 persen.
Hasil kajian di atas memberikan petunjuk penting, yaitu negara dengan tingkat pendapatan yang masih belum memenuhi tingkat pendapatan sebagai negara maju, tapi tetap menjaga pendapatan petaninya relatif baik atau bahkan lebih baik daripada pendapatan rata-rata pada umumnya, cenderung memiliki tingkat kelaparan yang rendah. Alasan sederhananya adalah, sebagai ciri utama negara berkembang, sebagian besar penduduknya masih bermukim di pedesaan. Dengan menjaga nilai tambah pertanian yang relatif tinggi, sebagian besar penduduk yang bermukim di pedesaan juga menikmati pendapatan tersebut.
Tingkat pendapatan yang relatif tinggi di pedesaan juga menggambarkan kondisi atau tingkat pendidikan, kesehatan, kualitas permukiman atau kualitas lingkungan yang relatif lebih baik juga di pedesaan. Dengan perkataan lain, kesenjangan tingkat kehidupan antara pedesaan dan perkotaan yang baik memberikan tingkat kehidupan bersama yang lebih baik pula, satu di antaranya adalah rendahnya tingkat kelaparan.
Keseimbangan tingkat kehidupan yang lebih baik itu hanya terjadi apabila budaya--cara berpikir, cara merasa, dan cara meyakini--dari masyarakat bangsa yang bersangkutan menempatkan petani atau pertanian bukan sebagai usaha manusia atau sektor kehidupan yang sifatnya inferior. Karena itu, pertanian dijadikan sebagai landasan peradaban. Petani makmur, bangsa dan negara akan "enak tidur" dan tidak akan menghamba menggantungkan pangan dari bangsa lain. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar