Kasus penipuan berkedok investasi
kembali terjadi oleh PT Golden Traders Indonesia Syariah. Kali ini modusnya
lebih ”meyakinkan”, yakni menggunakan emas sebagai basis komoditas, serta
embel-embel syariah.
Emas memang menjadi logam mulia
yang kian favorit, terutama setelah investasi surat berharga (saham dan
obligasi) mengalami masalah, seiring dengan meledaknya ”gelembung
finansial” pada krisis subprime
mortgage di Amerika Serikat pada 2008-2009. Label syariah juga sengaja
ditempelkan pelaku sebagai upaya ”pemasaran” agar produk ini lebih laku
dijual. Kedok emas dan syariah ini merupakan ”inovasi” terbaru penipunya,
Taufik Michael Ong, warga negara Malaysia.
Modus operandinya pada dasarnya
sama saja dengan kasus-kasus penipuan sebelumnya. Bedanya, dalam kasus
konvensional, nasabah menabung uang tunai dengan janji mendapatkan imbal
hasil (return atau yield)
yang tinggi, jauh melampaui bunga deposito bank. Dalam kasus PT Golden
Traders Indonesia Syariah (GTIS), nasabah wajib membeli emas seharga Rp
710.800 per 1 gram—lebih tinggi daripada harga pasar sekitar Rp
560.000—dengan janji mendapatkan imbal hasil minimal 2 persen per bulan,
atau ekuivalen 24 persen per tahun. Return ini jauh lebih tinggi
daripada suku bunga deposito di bank saat ini sekitar 5-6 persen per tahun,
sesuai dengan batas maksimum penjaminan 5,5 persen oleh Lembaga Penjamin
Simpangan (LPS).
Praktik investasi emas GTIS ini
baru berlangsung dua tahun dan telah berhasil mengumpulkan 10.000 investor.
Jika benar omzetnya hingga 3 ton emas, berarti Rp 2,15 triliun. Angka ini
sungguh fantastis. Sebagaimana lazimnya skema Ponzi, nasabah pada awalnya
lancar mendapatkan haknya berupa imbal hasil minimal 2 persen per bulan
(bahkan ada yang 4,5 persen per bulan). Namun, dalam beberapa bulan
terakhir, nasabah mulai tidak menerima lagi haknya, dan puncaknya adalah
Taufik Michael Ong kabur, diduga ke luar negeri.
Kasus klasik ini terus saja
berulang, seolah-olah nasabah tidak jera untuk terjerumus ke lubang yang
sama. Lalu, siapa yang bersalah? Apakah nasabah yang miskin informasi?
Ataukah nasabah cenderung ”serakah”
untuk mendapatkan bunga yang besar tanpa harus bekerja keras? Atau, bisakah
kita menyalahkan suku bunga deposito di bank yang kian rendah sehingga tidak
menarik? Ataukah tidak adanya regulasi pemerintah yang dapat mencegah
praktik semacam ini?
Praktik skema Ponzi, yakni
membayar imbalan (return) yang
besar kepada investor yang dananya berasal dari investor lain yang datang
belakangan sehingga lama-kelamaan bunga dan pokok investor tidak dapat
dibayar, bukan monopoli di negara berkembang saja. Bahkan di Amerika
Serikat, skema Ponzi juga terjadi. Kasus yang paling spektakuler karena
terjadi di level elite adalah kasus Bernard Madoff.
Melalui Bernard L Madoff
Investment Securities, skema Ponzi dijalankan lebih rapi sehingga bertahan
lama. Biasanya skema Ponzi meledak dalam jangka pendek, misalnya 2-3 tahun
seperti kasus GTIS. Namun, karena Madoff tidak memberikan imbal hasil yang
berlebihan, praktik kecurangannya berlangsung awet, sejak 1990-an hingga
2008. Selama periode tersebut, Madoff memberikan imbal hasil 10 persen.
Pada akhir praktiknya tahun 2008, Madoff memberikan imbal hasil 5 persen di
saat harga surat berharga di New York terpangkas 38 persen karena terimbas
krisis.
Praktik fraud oleh Madoff
berhasil menghimpun 4.800 nasabah dalam 17 tahun. Berarti GTIS lebih
”hebat” karena bisa mendapat 10.000 nasabah dalam waktu hanya dua tahun. Fraud
Madoff diperkirakan mencapai 64,8 miliar dollar AS. Kasus Madoff terbongkar
karena laporan anaknya sendiri pada Desember 2008, saat krisis subprime
mortgage baru saja meledak September 2008. Yang mengesankan, Madoff dikenai
tuduhan melanggar 11 tuduhan kriminal. Hukumannya pun mantap: 150 tahun
penjara plus mengembalikan uang 170 miliar dollar AS.
Itulah kejahatan skema Ponzi
terbesar dalam sejarah. Sebagai selebritas pasar modal Wall Street, Madoff
memiliki jaringan Yahudi yang kuat sehingga berhasil menipu sutradara
terkenal Steven Spielberg, serta aktor Kevin Bacon dan John Malkovich,
untuk jadi nasabahnya. Modus semacam ini praktis juga dijiplak Taufik
Michael Ong dalam kasus GTIS.
Ada lagi hal mirip antara Madoff
dan Ong: keduanya menipu di saat suku bunga simpanan di bank berada pada
level yang rendah. Di AS, Kepala The Fed (Bank Sentral) Alan Greenspan
berhasil menurunkan suku bunganya sejak awal 1990-an. Akibatnya terjadi
migrasi dana dari bank ke pasar modal. Di Indonesia, gejalanya mirip. Suku
bunga bank terus turun sehingga dana orang-orang kaya mengalir ke bursa
efek. Sebagian lainnya mencoba mencari peruntungan melalui investasi lain,
tetapi ternyata berujung ”bodong” (hampa). Investasi tipuan.
Apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, aparat hukum harus mengejar Ong sampai dapat, lalu diganjar
hukuman maksimum seperti Madoff. Efek jera akan menjadi kunci agar kasus
serupa tidak terulang lagi dengan mudah.
Kedua, Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) harus membentuk satuan tugas khusus, seperti Densus 88 pada
kepolisian, untuk mengendus pergerakan praktik-praktik serupa yang diduga
masih banyak berkedok koperasi, simpan-pinjam, dan varian lainnya. Agar
lebih gesit dan bertenaga, OJK perlu bekerja sama dengan kepolisian.
Kejahatan praktik Ponzi merupakan wilayah pidana yang memerlukan keahlian
keuangan oleh OJK dan keahlian mengendus dan menumpas oleh aparat
kepolisian. Upaya preventif jauh lebih penting. Biasanya kasus terungkap
setelah volume kerugian mencapai angka fantastis.
Ketiga, upaya sosialisasi harus
ditingkatkan. Tidak saja kepada masyarakat yang awam soal rekayasa
finansial, tetapi juga terhadap institusi kemasyarakatan yang berpotensi
disalahgunakan sebagai kedok. Dengan cerdik Ong telah memanfaatkan
institusi keagamaan serta menggunakan istilah syariah sebagai payung
penipuannya. Bahkan nama Ketua DPR Marzuki Alie sempat dibawa-bawa Ong
untuk melegitimasikan praktik Ponzinya. Ini sangat memprihatinkan dan tak
boleh terulang.
Masyarakat perlu diberi tahu bahwa
seharusnya mereka menaruh dananya pada institusi keuangan yang mapan dan
jelas payung supervisinya, misalnya bank yang berada di bawah supervisi OJK
dan dikawal dengan penjaminan LPS. Jika tanpa supervisi formal, tidak ada
yang bisa menjamin penyimpangan praktiknya.
Di dunia ini tidak ada jalan
pintas untuk mendapatkan kekayaan. Tidak ada kekayaan yang bersifat instan.
Semua itu hanya bisa dicapai melalui kerja keras yang tiada henti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar