Artikel Bandung Mawardi di Kompas (3/2)
menarik untuk memicu diskusi tentang puisi Afrizal Malna. Sayangnya,
tulisan itu sendiri berhenti setelah meraba bahwa ada recik gambaran
kenyataan urban dalam karyanya, tak membawa kita lebih jauh dari pembacaan
yang nyaris sama tuanya dengan usia kepenyairan Afrizal sendiri.
Sejak setidaknya Abad yang Berlari
pada tahun 1984, puisi-puisi Afrizal dibicarakan sebagai simbolisasi
kehidupan urban. Banyak yang lantas lekas mengamininya—sekurangnya, tidak
menolaknya—lantaran kesamaan ”cita rasa” antara puisinya dan realitas kota.
Kedua teringkus dengan satu kata: kekacauan. Sebagaimana keselarasan adalah
hal yang terkesan jauh dari kota, tata bahasa adalah hal yang terasa asing
dari puisi khaotiknya.
Namun menjumpai pembacaan
urbanisme yang menembus Afrizal lebih jauh dari sebatas menemukan
keserupaan antara larik-larik disfiguratifnya dengan kehidupan keras dan
serak-semarak kota pun adalah hal yang sulit (pembacaan Tia Setiadi dan
Acep Iwan Saidi, yang bernas, saya anggap di luar tema ini). Pembacaan
puisinya sebagai visualisasi tata bahasa atas benda-benda pun—yang kemudian
berkembang menjadi pembacaan relasi dan tirani obyek atas manusia pada
1990-an dan 2000-an—tak lain berasal dari manifesto Afrizal sendiri.
Pertanyaannya, mungkinkah puisi
yang demikian fragmentatif—dan membuat banyak pembacanya frustrasi
ini—diselami lewat suatu cara baca yang sistematik? Di luar tak sedikit
pembaca yang menyerah, mereka yang memilih melanjutkan membacanya pun
biasanya mencoba untuk tidak memahami karyanya. Cukup dinikmati saja. Ada
yang membentuk obyek-obyek puisi Afrizal dalam imajinasinya lalu
menontonnya. Ada yang membayangkan diri berada di tengah-tengah aliran tak
beraturan kata-katanya dan membiarkan diri tenggelam di antaranya. Dan bagi
mereka yang melakukan ini, memang, sajak-sajak itu nikmat.
Namun, pembacaan yang tidak melibatkan
perangkat kognitif semacam itu sebenarnya sebuah petunjuk. Menikmati karya
sastra, mengutip alur berpikir kritik strukturalis, tak dimungkinkan
tanpa adanya keserupaan logika di antara karya terkait dengan realitas
perasaan yang dihidupi pembacanya. Sajak-sajak Chairil tak mungkin
memperoleh perhatian yang didapatnya sekarang bila kalimatnya dimengerti
tetapi pembaca tidak dapat merasakan apa-apa darinya. Puisi dibaca untuk
sensasi yang bisa diperah darinya, rasa terbakar oleh entakannya untuk
menyitir seorang kritikus, dan, tentu saja, bukan untuk informasi aktual
yang bisa diperoleh di halaman lain.
Dan inilah menariknya. Bila
Chairil mendayagunakan bentuk, bunyi, dan metafora yang gamblang untuk
menikamkan sentakan akustik pada pembacanya, ketiga hal di atas nyaris
absen sama sekali dari puisi-puisi Afrizal. Namun, tanyakanlah kepada
para pembacanya, sajak-sajak Afrizal tak kehilangan efek merajam perasaan
yang lazimnya diperoleh pembaca puisi dari perpaduan cakap perumpamaan
yang efektif dengan lantunan pembacaan yang bergaung di ceruk kepalanya.
Ambil sepotong puisi Afrizal,
”palu. waktu tak mau berhenti, palu. waktu tak mau berhenti. seribu jam
menunjuk waktu yang bedaberbeda. semua berjalan sendiri-sendiri, palu.”
Manakala dibacakan, apalagi secara spontan, puisi ini sukar untuk dibawakan
dengan lantang dan berirama. Namun, asosiasi yang ditimbulkan di benak kita
bukannya tidak dapat disebut puitik. Ia memiliki efek defamiliarisasi, yang
menurut Viktor Shklovsky sebuah kualitas yang biasa kita peroleh dari karya
seni yang kita nikmati.
Asosiasi
Kita mencecap karya untuk perasaan
keterlemparan dan keterasingan, dan puisi barusan menorehnya dengan
menyajikan jukstaposisi hal-hal yang telah kita pahami dalam adegan yang
janggal. Waktu diperlakukan seperti algojo kejam yang tak punya rasa iba
untuk berhenti dan palu menjadi sosok pendengar aku lirik dalam monolognya
yang melankolis; kemudian adegan sontak berganti memperlihatkan jam dengan
waktu berbeda-beda dan setiap hal berjalan dengan kesendiriannya
masing-masing.
Tidak jelas? Sebaliknya. Saya
kira, ketidakberdayaan seorang aku yang kehilangan pegangan akan
dimensi kalanya tertoreh dengan sangat nyata di lirik-lirik
tersebut. Jarang diketahui, tetapi dalam mengompensasi ketiadaan kiasan
yang lazim dan eksperimen bentuk, ada kejernihan visual luar biasa
sekaligus pengalaman ragawi yang kuat pada paparan Afrizal. Ini
memungkinkan kita, seperti salah seorang pembaca tadi, membayangkan diri
tergulung di tengah-tengah puisinya.
Kemenyeharian diksi-diksinya— yang
mendatangkan kritik bahwa puisinya tidak elegan—justru memagnifikasi daya
kekonkretan imaji yang dipicunya. Tema-tema besar yang lebih banyak kita
pahami secara konseptual itu—waktu, dunia, abad, kematian, kota—dipadankan
Afrizal dengan kata kerja yang adalah aktivitas kita sehari-hari,
menjadikannya pengalaman yang betul-betul terasa di atas kulit dan daging
manakala kita melewati lorong larik-lariknya.
Ambil sekali lagi Abad yang
Berlari. Abad digambarkan berlari. Yang dari tanah kerja, dari laut kerja,
dari mesin kerja. Peta berlari, dari kota datang, dari kota pergi, mengejar
waktu. Manusia sunyi disimpan waktu. Dunia berlari. Seribu manusia dipacu
tak habis mengejar. Runtutan elemen era kontemporer kita—peta, mesin,
kota—dimetaforakan dengan aktivitas ketubuhan yang intens. Meski tak
merangkai lirik dengan alur yang kentara, seseorang dapat merasakan, ya,
ini dia. Inilah kehidupan modern.
Asosiasi-asosiasi nyaris liar ini
sepintas tampak tanpa arti. Namun bacalah dengan pikiran sedang menonton
film dan tiba di bagian di mana periode sekian tahun diceritakan dengan
kilasan-kilasan adegan. Kejapan-kejapan puisi Afrizal, dibaca demikian,
akan menyajikan sensasi terkejar-kejar dan ketidakberartian diri yang
mendarah daging. Sebuah sensasi yang merangkum modernitas.
Puisi Afrizal tidak ranggi? Sangat
benar. Namun, itulah impresi yang justru dihabisinya guna memperoleh
serat-serat pengalaman terdalam realitas kekinian yang selama ini tak
teraih puisi. Kehidupan yang tergulung dalam proses produksi kehidupan itu
sendiri. Perubahan nan cepat yang nyaris-nyaris tak tercerap. Pesimisme,
depresi, dan perasaan rendah diri. Susunan absurd puisi Afrizal
menghunjamkannya tepat ke atas pembuluh perasa kita.
Dan kota itu sendiri, sebagai atom
dari kehidupan modern, dalam sajak Afrizal tak lagi sekadar sesuatu yang
digambarkan, tetapi digambarkan dengan intim. Amat intim. Belantara
bangunan dan pusat kehidupan sosial itu bukan lagi menjadi proses-proses
jauh di luar sana, tetapi ia—beserta segenap eksploitasi, kekerasan,
ketergelungan yang dialami penduduknya—menyesap ke wilayah pengalaman pribadi
pembacanya. Lewat sajak-sajak ”peristiwa” Afrizal, kota bukan hanya dibaca,
bukan hanya sesuatu yang dikisahkan, tetapi terjadi.
Jadi bacalah. Alamilah. Alamilah
kota, dalam puisi Afrizal, sebagai rangkaian peristiwa paradoksal. Kerap
gelap. Kerap menyedihkan. Dan tak jarang, bertaburan ingatan, personal,
menyentuh.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar