Kejahatan atas nama agama mengkhianati agama itu sendiri. Kian
suburnya aksi kejahatan tersebut sudah seharusnya memanggil langkah nyata
dari kepemimpinan yang bertanggung jawab dari semua aktor.
Kesimpulan itu disampaikan special
rapporteur PBB Heiner Bielefeldt pada penutupan Forum Aliansi Peradaban
di Vienna, 28 Februari lalu. Mendefinisikan kekerasan atas nama agama
sebagai bentuk kejahatan (kriminal) mengimplikasikan dua hal, yakni sikap
penegasan untuk tak menoleransi kekerasan atas nama keyakinan, dan
menempatkan persoalan itu pada ranah hukum. Masalah ini menjadi fokus
perhatian peserta, khususnya pada topik kebebasan beragama.
”Menyedihkan, kita hidup di
dunia yang diwarnai intoleransi. Keragaman budaya seharusnya membawa kita
pada keragaman dialog dan pengetahuan,” kata Nassir Abdulaziz, High Representative Aliansi
Peradaban PBB, pada sesi pembukaan yang dihadiri Sekjen PBB Ban Ki-moon.
Tahun depan, Indonesia tuan rumah untuk perhelatan global itu. Dalam
percakapan saya dengan beberapa peserta, terlihat antusiasme mereka
menyambut agenda pertemuan mendatang. ”Negara
Anda sangat penting, dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan semakin
memiliki suara di kancah internasional,” kata seorang peserta dari
Jerman.
Namun, pada saat bersamaan, Pemerintah Indonesia dihadapkan pada
laporan Human Right Watch yang
mempertanyakan komitmen Presiden SBY menyelesaikan pelbagai kasus kekerasan
dan diskriminasi yang menimpa kelompok-kelompok minoritas. Istana pun
meradang.
Ada yang menyentak dari seruan lembaga berbasis di New York itu.
Dunia internasional jangan lagi memuji Indonesia sebagai contoh negara
toleran. Ini bisa dibaca sebagai akumulasi kekecewaan terhadap kinerja
pemerintah yang belum memuaskan dalam menangani pelanggaran HAM, terutama
pasca-Sidang Tinjauan Periodik Universal, Dewan HAM PBB, pada Mei 2012.
Berlarutnya persoalan intoleransi akan menjadi beban politik pemerintahan
SBY di pengujung masa jabatannya.
Padahal, salah satu amunisi andalan diplomasi Kementerian Luar Negeri
adalah citra Indonesia sebagai negara Muslim demokratis terbesar di dunia
yang bersendikan kebinekaan. Tentu akan jadi pekerjaan tak mudah bagi
Kementerian Luar Negeri mengapitalisasi julukan Indonesia sebagai negara yang
menghargai perbedaan jika tak ditopang institusi-institusi pemerintah
terkait. Peran dan dukungan aktor nirnegara seperti organisasi masyarakat
sipil, media, dan sektor swasta ikut menentukan.
Apologetik
Toleransi dalam kehidupan berbangsa harga mati. Pernyataan tegas ini
disampaikan Presiden SBY saat menghadiri perayaan 150 tahun HKBP di Jakarta
tahun lalu. Saya yakin, SBY setuju pandangan Ricoeur (2012): hakikat toleransi adalah sikap asketisme
dalam mempraktikkan kekuasaan negara dan agama seperti kuasa mayoritas,
menahan diri untuk tak memaksakan satu keyakinan dan cara beragama
tertentu, serta apa yang dirasa pantas menurut dirinya kepada kelompok yang
berbeda.
Yang belum kunjung terlihat adalah bagaimana Presiden mengorkestrakan
komitmennya di hadapan aparatur negara. Kasus-kasus intoleransi selalu
dipahami secara apologetik oleh mayoritas pemangku kebijakan.
Dalam suatu pertemuan koordinasi antarkementerian, seorang perwakilan
Kementerian Dalam Negeri menganggap permasalahan intoleransi dan kekerasan
hanya percikan, tidak akan membakar bangunan keharmonisan masyarakat yang
sudah lama terbangun. Tampaknya pandangan apologetik semacam ini jadi
mazhab paling berpengaruh di lingkungan birokrasi, tak terkecuali di
kementerian yang mengurusi pendidikan dan agama.
Pada saat yang sama ada kecenderungan menguatnya desakan untuk
menjadikan fatwa lembaga keagamaan sebagai tolok ukur kesahihan perilaku
berbangsa. Gejala ini tidak hanya ditemukan di masyarakat awam, tetapi juga
di kalangan terdidik.
Meski sifatnya tak mengikat secara yuridis, dalam banyak kasus fatwa
mampu menyandera logika bernegara seperti pada kasus Ahmadiyah, Syiah, dan
pengharaman pluralisme yang menjadi dasar berbangsa. Akan beda cerita jika
sebuah fatwa dijadikan salah satu bahan pertimbangan kebijakan setelah
diuji nalar publik yang konsensual.
Penelitian Maarif Institute di 50 SMAN (2011) menemukan, budaya
kewargaan tidak jadi arus besar di institusi pendidikan. Pendidikan
keagamaan belum sepenuhnya menyentuh ruang-ruang konvergensi nilai-nilai
agama dengan nilai-nilai kewargaan yang berbasis pada toleransi dan
pluralisme. Pendidikan kewarganegaraan pun belum berhasil
mentransformasikan prinsip kewargaan ke ranah kognisi dan perilaku siswa.
Mendorong tumbuhnya budaya kewargaan yang inklusif di kantong-kantong
pendidikan akan dapat menangkal kecenderungan homogenisasi identitas sosial
yang kian terlihat belakangan ini. Lembaga pendidikan harus jadi
laboratorium integrasi sosial, melampau sekat agama, etnisitas, dan budaya.
Masyarakat Indonesia yang toleran tidaklah konstan dan lahir di ruang
kosong. Bandulnya bisa berubah ke arah sebaliknya bila kita terjebak pada
apologetisme dan tidak mau bersikap jujur. Keterbukaan pemerintah akan
memungkinkan terciptanya komitmen dan kerja sama dengan aktor-aktor
nirnegara guna menangani gejala intoleransi dan pelanggaran terhadap
kelompok-kelompok minoritas.
Kita berharap hiruk-pikuk tahun politik 2013 tak melalaikan
pentingnya memikirkan kembali proses integrasi sosial bangsa. Terlebih,
tahun depan Indonesia akan menjadi etalase sebuah negara majemuk yang
toleran pada Forum Aliansi Peradaban PBB. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar