Senin, 04 Maret 2013

Ekonomi Rente


Ekonomi Rente
Faisal Basri ;  Ekonom
KOMPAS, 04 Maret 2013


Laju inflasi Februari 2013 naik tajam, menembus 5 persen. Sudah 20 bulan inflasi berada di kisaran 3,6 persen hingga 4,8 persen. Angka tertinggi sebelumnya terjadi pada Juni 2011, yaitu 5,5 persen.
Bahan makanan kerap menjadi pemicu kenaikan harga. Kali ini pun demikian. Kenaikan harga bahan makanan yang mencapai 10,3 persen pada Februari 2013 dibandingkan bulan yang sama tahun lalu adalah yang tertinggi dibandingkan dengan seluruh kelompok pengeluaran lainnya.
Sekitar dua pertiga penyebab inflasi pada Februari lalu bersumber dari kenaikan harga bahan makanan belum diolah (raw food atau fresh food).

Pangan sudah menjadi masalah struktural. Namun, penanganannya sebatas di permukaan dan ”gagah-gagahan”, tetapi miskin substansi.

Sejak tahun 2007, Indonesia telah mengalami defisit perdagangan pangan. Impor pangan meningkat lebih cepat ketimbang ekspor pangan sehingga defisit cenderung melebar.

Berdasarkan Global Food Security Index 2012 yang dikeluarkan Economist Intelligence Unit, indeks keamanan pangan Indonesia sudah di bawah 50 (skor antara 0-100) dan berada di urutan ke-64 dari 105 negara.

Posisi kebanyakan negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, dan China, lebih baik daripada Indonesia.

Negara-negara industri maju sekalipun tak mengabaikan persoalan pangan ini, sebagaimana terlihat dari skor mereka yang tinggi. Misalnya Amerika Serikat dengan skor 89,5 dan berada di posisi puncak. Jepang dan Korea pun berada pada posisi terhormat, masing-masing ke-16 dengan skor 80,7 dan ke-21 dengan skor 77,8.

Kedaulatan pangan kita sudah semakin tergerus dan kian rentan menghadapi fluktuasi harga pangan dunia, apalagi ditambah dengan perubahan iklim yang kian ekstrem.

Tak sulit untuk mengidentifikasi akar masalah. Jika harga-harga terus meningkat untuk kurun yang relatif lama—bukan sekadar menghadapi Lebaran—hampir pasti persoalan terletak pada sisi pasokan.
Bagaimana mungkin harga daging menjulang kalau pasokan sapi di dalam negeri cukup. Bagaimana mungkin membuat perencanaan pengadaan daging sapi yang baik kalau perkiraan populasi sapi saja awur-awuran.

Kalau perkiraan populasi sapi awur-awuran, perkiraan kebutuhan impor pun awur-awuran.
Kalau demikian, solusinya bukan perbaikan mekanisme lelang kuota daging sapi. Mekanisme lelang terbuka memang akan membuat impor lebih transparan, tetapi tidak akan menurunkan harga daging sapi secara signifikan.

Tanpa ditopang data produksi daging sapi yang akurat, kuota impor bakal tetap menyuburkan praktik pemburuan rente. Lebih efektif kalau pemerintah mengenakan bea masuk impor daging ketimbang pembatasan kuantitas.

Penerimaan pemerintah dari bea masuk bisa digunakan untuk memajukan peternak di dalam negeri, terutama usaha penggemukan sapi. Sementara itu, penggunaan kuota impor menyebabkan pemburu rente bergentayangan di seputar kelompok-kelompok kepentingan (vested interest).
Hal serupa bisa pula diterapkan untuk komoditas lain, seperti kedelai, jagung, bawang putih, bawang merah, dan gula. Penanganan pascapanen merupakan kunci untuk melindungi petani.

Bukan dengan tiba-tiba membatasi impor, seperti pada kasus buah-buahan dan sayur-mayur. Kita yakin bahwa produk para petani mampu bersaing dengan produk-produk impor apabila segala kendala di sisi produksi bisa dipangkas.

Bahkan, jika semua kendala ini bisa diatasi, sangat terbuka peluang untuk menembus pasar internasional mengingat buah-buahan kita banyak yang sangat unggul dan eksotik.

Perlu perubahan cara pandang dari keterbukaan sebagai ancaman menjadi peluang. Pekerjaan rumah kita adalah mempermudah akses ke pasar internasional dan membangun trading house untuk produk-produk petani.

Tugaskanlah badan usaha milik negara yang bergerak di bidang perdagangan dan BUMN di bidang transportasi laut dan udara untuk mendukung penuh upaya ini sehingga tercipta Indonesia incorporated.
Akan tetapi, apabila subsidi benih yang diberikan pemerintah hanya Rp 100 miliar, sedangkan subsidi untuk bahan bakar minyak mencapai Rp 240 triliun, berarti secara tak langsung pemerintah lebih mendorong produksi sektor otomotif ketimbang memberdayakan dan menyejahterakan kehidupan petani.

Pemerintah lebih peduli terhadap penyediaan lahan untuk kawasan industri dengan segala rupa kelengkapannya, sementara tak berbuat apa-apa untuk menghambat konversi lahan pertanian produktif dan beririgasi teknis ke sektor nonpertanian.

Keberpihakan pemerintah pada sektor pertanian pangan dan petani yang merupakan penyerap lapangan pekerjaan terbesar harus lebih diutamakan.

Populisme yang gagah-gagahan pada gilirannya akan lebih menyuburkan praktik pemburuan rente. Yang paling kentara juga adalah kasus pengadaan gula. Untuk membantu petani tebu, pemerintah menaikkan harga patokan lelang.

Padahal, akar masalah yang dialami petani tebu adalah ”penindasan” pabrik gula terhadap petani tebu. Pemerintah juga tak kunjung membenahi tata niaga gula.

Sudah merupakan rahasia umum bahwa perdagangan gula hanya dikuasai oleh segelintir pedagang besar. Dengan demikian, kenaikan harga gula lebih banyak dinikmati para pedagang besar ketimbang petani tebu.

Pemerintah telah meluncurkan Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Apakah kemudian ada upaya sistematis untuk memajukan petani dan memperkokoh ketahanan pangan berbasis rakyat untuk mengedepankan pembangunan yang inklusif?

Jauh api dari panggang. Pertanian pangan akan dipusatkan di koridor Sulawesi, Papua, dan Maluku. Apa yang akan dimajukan kalau bukan usaha-usaha pertanian pangan berskala besar dan mega. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar