Minggu, 05 April 2015

Relawan dan Timses Masuk BUMN?

Relawan dan Timses Masuk BUMN?

Hendri B Satrio  ;  Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 04 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Beberapa hari yang lalu sebuah kelompok diskusi Jakarta yang bernama Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai-KOPI) melakukan polling opini publik tentang pendapat masyarakat atas keputusan pemerintah memasukkan eks tim sukses dan relawan Jokowi-JK menjadi komisaris BUMN.

Polling dilakukan pada situs politik www.uneg2politik.com. Hasil polling-nya, lebih dari 72% publik tidak setuju dengan kebijakan ini. Setidaknya ada tujuh relawan yang menempati posisi strategis di perusahaan BUMN. Relawan itu antara lain Cahaya Dwi Rembulan Sinaga yang menjadi komisaris independen Bank Mandiri, Pataniari Siahaan komisaris independen BNI, Sonny Keraf komisaris independen BRI, Jeffry Wurangin komisaris BRI, Refli Harun komisaris utama jasa marga, dan Diaz Hendropriyono komisaris Telkomsel.
Baru-baru ini Sukardi Rinakit ditawari masuk jajaran komisaris di BTN, namun syukurlah beliau mengedepankan pilihan hatinya dan menolak. Praktik menempatkan sejumlah orang kepercayaan di perusahaan BUMN sebenarnya lazim dilakukan Presiden sebelumnya. Namun, baru kali publik mengungkapkan ketidaksetujuannya pada keputusan tersebut.

Keputusan tidak setuju dari publik patut diduga sebagai reaksi atas janji Jokowi-JK yang saat masa kampanye pilpres menjanjikan tidak akan bagi-bagi kursi. Lantas mengapa Presiden seperti memaksakan bahwa relawan harus masuk menjadi petinggi di badan usaha milik negara (BUMN). Bahkan ada selentingan di media massa bahwa menteri BUMN sudah menyiapkan 600 posisi bagi relawan eks tim sukses Jokowi di BUMN.

David Easton, profesor Universitas Chicago Amerika Serikat, pernah memprediksi bahwa ini akan terjadi dalam politik. Easton menggariskan bahwa ada atribut yang disebut input-output dalam sistem politik. Input berasal dari masyarakat yang isinya tuntutan dan dukungan, sementara output adalah hasil kerja politik yang berasal dari tuntutan dan dukungan. Bila dikaitkan dengan relawan saat pilpres lalu, relawan sedang memainkan fungsi tuntutan kembali setelah output telah tercapai.

Tapi, bila hanya mengacu pada pemikiran Easton, ini tidak cukup kuat memaksakan Jokowi memasukkan relawan ke BUMN. Saya mencatat, setidaknya ada satu alasan kuat yang kemudian diturunkan menjadi dua alasan pendukung untuk menjawab pertanyaan tadi yaitu Jokowi sangat memerlukan dukungan solid yang lebih banyak, terutama dari pendukungnya.

Jokowi Butuh Dukungan Solid

Saat ini Jokowi diduga tidak memiliki dukungan solid di pemerintahan. Sangat kecil kelompok politik yang benar-benar mendukung mantan gubernur Jakarta ini. Indikatornya dapat dilihat mulai dari komposisi kabinet yang jauh dari harapan masyarakat hingga rongrongan terhadap kebijakan yang bertubi-tubi menghujam Jokowi. Selain itu, sudah jadi dugaan umum kekuatan KMP (Kalla, Mega, Paloh) lebih mendominasi pemerintahan.

KMP versi Istana ini patut diduga menjadi kekuatan yang sering membuat kebijakan ajaib, yang membuat Jokowi tersudut. Salah satu contohnya adalah dugaan berperannya KMP versi Istana dalam pencalonan BG sebagai kepala Polri atau keluarnya Surat Keputusan Menteri Yasonna yang memengaruhi konflik PPP dan Partai Golkar. Selain itu, tekanan juga hadir dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mulai bersikap abu-abu menyikapi kebijakan Presiden Jokowi.

Dalam kondisi ”terdesak” seperti saat ini, Jokowi akhirnya berada pada posisi harus memperkuat jaringan yang dia sadar loyal pada dirinya. Jaringan loyal yang dimiliki para relawan dua jari. Presiden mungkin sangat mengharapkan relawan dengan ”hadiah” yang diterimanya dapat menjadi tembok pertama Presiden dari hantaman lawan-lawan politiknya.

Jokowi Bukan Lagi Media Darling

Selain keadaan yang ”terdesak”, perlu diyakini bahwa Jokowi bukan lagi media darling. Sebutan media darling kembali disematkan pada sosok Jusuf Kalla. JK sejak zaman SBY sebetulnya selalu menjadi media darling. JK selalu disosokkan sebagai tokoh yang mumpuni dan nyaris sempurna oleh media massa.

Ini semakin diperkuat saat JK hadir pada perayaan puncak Hari Pers Nasional 2015 di Kepulauan Riau beberapa bulan lalu. JK membalas dukungan media dengan hadir secara penuh di acara itu. Kehadiran JK menempatkan Jokowi pada posisi kurang bagus karena menjadi Presiden pertama Indonesia yang tidak hadir pada acara perhelatan terbesar media massa nasional itu.

Partai Pengusung yang Banyak Maunya

Blunder pertama Jokowi dalam politik sejak dia menjabat menjadi presiden adalah janji politik semasa kampanye yang tidak memperbolehkan rangkap jabatan di parpol dan pemerintahan. Walaupun janji politik ini bagus, tapi dalam politik praktis, janji ini menyebabkan Jokowi kesulitan menjalankan pemerintahan.

Sebagai pemimpin yang bukan dari elite partai, Jokowi sulit independen dari parpol pengusungnya dan koalisi parpol pendukungnya. Hasilnya, pemilihan posisi menteri kabinet kerja yang sering disebut menteri ”KW 3” karena lebih mengedepankan pembagian kursi kekuasaan daripada kapabilitas. PDIP sebagai parpol pengusung Presiden malah barubaru ini mendorong Presiden agar memperbolehkan menteri memegang jabatan ganda, melawan kebijakan Presiden yang sudah mengharuskan pejabat negara tidak boleh menjabat di partai.

Bayangkan saja bila akhirnya Jokowi goyah dan mengabulkan permintaan itu, pasti akan banyak menteri yang menjadi pengurus parpol. Walaupun oleh beberapa pendukung Jokowi mendoakan agar Jokowi menerima dorongan PDIP. Tujuannya agar Jokowi bisa jadi elite partai seperti SBY dan Megawati yang lebih mudah menjalankan kebijakan sebagai presiden karena juga mengatur kebijakan di partai politiknya.

Dari beberapa alasan nanti mungkin sebagai individu kita dapat memahami mengapa Jokowi memaksakan posisi penting di BUMN untuk para relawan pendukungnya. Presiden perlu banyak dukungan untuk menjalankan program-programnya. Terdesak dan bukan lagi media darling bisa jadi membuat Jokowi memaksakan diri untuk tidak memenuhi janjinya saat kampanye dengan serta-merta menempatkan relawan dan tim sukses pada posisi kursi panas BUMN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar