Minggu, 05 April 2015

Reformulasi Kebijakan Perberasan

Reformulasi Kebijakan Perberasan

Khudori  ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat; Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”; Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
KORAN SINDO, 04 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Presiden Jokowi menerbitkan Inpres Perberasan. Pada 17 Maret lalu, inpres yang ditunggu-tunggu itu keluar. Inpres No 5/2015 menggantikan Inpres No 3/2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Substansi isi tidak berbeda.

Inpres merupakan kebijakan Presiden yang ditujukan kepada menteri terkait (delapan kementerian) dan para gubernur/ bupati/wali kota untuk mengatur koordinasi dan pelaksanaan di setiap kementerian dalam rangka kebijakan perberasan nasional. Inpres No 5/2015 mengatur harga pembelian, menunjuk pelaksananya, mengatur hasil pembelian untuk keperluan apa, serta menunjuk siapa yang melakukan koordinasi dan evaluasi.

Yang tak diatur adalah pola pembiayaan dan siapa yang bertanggung jawab bila terjadi kerugian. Harga gabah kering panen di petani Rp3.700/kg (sebelumnya Rp3.300/kg), gabah kering giling di gudang Bulog Rp4.650/kg (sebelumnya Rp4.200/kg), dan beras di gudang Bulog Rp7.300/ kg (sebelumnya Rp6.600/kg). Rata-rata naik 11%.

Kebijakan perberasan, terutama kebijakan harga tunggal atau harga beras medium (satu kualitas), tidak mengalami perubahan sejak beleid ini diberlakukan 46 tahun lalu. Padahal, selama lebih empat dekade pelbagai aspek perberasan dan lingkungan berubah signifikan. Harga pembelian pemerintah (HPP) tunggal yang tidak mempertimbangkan aspek musim dan kualitas beras tidak lagi relevan.

Kebijakan itu hanya akan mempersulit pemerintah dalam mengintervensi ketika terjadi kegagalan pasar: harga naik atau turun. Tanam padi yang serentak telah menghasilkan irama panen ajek, hampir tidak mengalami perubahan dari tahun ke tahun: musim panen raya (Februari-Mei dengan 60-65% dari total produksi padi nasional), panen gadu (Juni-September dengan 25-30% dari total produksi), dan musim paceklik (Oktober-Januari).

Pergerakan harga gabah/beras berfluktuasi mengikuti irama panen: harga rendah saat panen raya (Februari-Mei), naik di musim gadu (Juni-September), dan melambung tinggi saat paceklik (Oktober-Januari). Pergerakan harga gabah/beras itu terjadi bukan semata-mata lantaran berlakunya hukum supply-demand, tetapi juga terkait dengan kualitas gabah/beras: kualitas gabah/beras rendah saat panen raya, membaik pada panen gadu, dan baik saat paceklik.

Saat panen raya, petani tidak bisa mengandalkan panas matahari untuk mengeringkan gabah. Akibatnya, kualitas gabah menurun. Petani menjual hasil panen dengan kualitas seadanya. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat panen gadu dan di musim paceklik. Kenyataan di atas menunjukkan kualitas gabah/ beras bervariasi mengikuti irama panen. Artinya, ada lebih satu kualitas gabah/beras.

Inpres Perberasan yang selalu direvisi secara ajek dengan harga HPP gabah/beras hanya satu kualitas alias kualitas tunggal tidak hanya ”melawan” pergerakan harga gabah/beras musiman (Sawit, 2009), tetapi juga mengingkari kenyataan yang ada di lapangan. Untuk beras, di kios-kios kelontong misalnya, ada 4-5 jenis beras, tidak hanya kualitas medium seperti diatur Inpres Perberasan.

Di Pasar Induk Beras Cipinang misalnya ada 17 jenis (kualitas) beras. Jenis-jenis beras itu mencerminkan perbedaan kualitas, yang harganya juga berbeda-beda. Kebijakan harga tunggal juga telah mengingkari kenyataan ada segmentasi pasar beras sesuai preferensi konsumen: segmen menengah-atas yang mengonsumsi beras premium, dan segmen bawah yang mengonsumsi beras medium.

Lebih dari itu, mempertahankan kebijakan harga tunggal semakin menyulitkan pemerintah dalam menjalankan berbagai kebijakan salah satunya intervensi harga melalui operasi pasar. Dengan hanya satu jenis beras (kualitas medium), apalagi stok lama, mustahil operasi pasar bisa meredam instabilitas harga semua jenis beras yang ada di pasar.

Selain sejumlah faktor lain, inilah salah satu penyebab operasi pasar akhir-akhir ini tak efektif. Karena itu, sudah saatnya kebijakan harga tunggal, baik untuk gabah maupun beras medium, diakhiri. Opsinya: mengganti dengan HPP multikualitas, multilokasi, dan multivarietas. Kebijakan HPP multikualitas pada gabah diperkirakan meningkatkan pendapatan petani.

Kebijakan ini diperkirakan bakal mendorong petani meningkatkan produksi gabah dengan kualitas yang lebih baik melalui input produksi (bibit unggul, pemupukan) maupun teknik budi daya yang baik (pengairan, pemberantasan hama dan penyakit, serta teknik budi daya selaras alam). Kebijakan HPP multikualitas pada beras diyakini akan mendorong pedagang/penggiling untuk meningkatkan produksi beras berkualitas lewat proses penggilingan yang lebih baik, dan perbaikan mesin dan operator.

HPP multikualitas dapat dirancang lewat kombinasi kriteria: kualitas gabah/beras, musim panen, dan varietas (Sawit dan Halid, 2010). Pada tahap awal cukup dwikualitas: medium dan premium. Setelah cukup berpengalaman, berikutnya bisa dikembangkan menjadi lebih dari dua kualitas. Kebijakan HPP gabah dan beras multi lokasi sebaiknya dihindari.

Meski biaya produksi padi bervariasi antarlokasi, menerapkan HPP gabah dan beras multi lokasi bakal menciptakan diskriminasi. Akan lebih baik dan adil bila faktor lokasi itu diakomodasi dalam kriteria varietas. Hampir di semua daerah sentra produksi padi, sebagian petani masih menanam varietas-varietas lokal (Winarto, 2011; Soedjito, 1996).

Varietas lokal bisa diakomodasi dalam kebijakan HPP yang lebih tinggi. Kebijakan ini diperkirakan akan menjamin lestarinya plasma nutfah padi lokal. Pengalaman selama pu-luhan tahun menunjukkan, penyerapan beras atau gabah setara beras oleh Bulog sebesar 60% terjadi di musim panen raya, 30% di musim gadu, dan 4% saat paceklik.

Besar-kecil penyerapan ini mengikuti irama panen dan pola produksi padi, dengan demikian juga mengikuti pergerakan harga dan kualitas. Dengan HPP gabah dan beras multi kualitas, pola penyerapan bisa disesuaikan dengan irama panen: menyerap gabah dan beras secara besar-besaran pada panen raya untuk memenuhi kuota beraskualitas medium.

Pada saat panen gadu dan musim paceklik, penyerapan gabah dan beras ditujukan untuk memenuhi kuota beras kualitas premium. Sebagian beras kualitas medium masih bisa diserap pada saat panen gadu. Dengan pola seperti ini, penyerapan gabah dan beras bisa dimungkinkan akan berlangsung sepanjang tahun.

Cara ini akan membantu pemerintah dalam mengendalikan harga gabah/ beras, dan inflasi. Penyerapan beras kualitas medium ditujukan untuk memenuhi kebutuhan program Raskin. Sebaliknya, beras kualitas premium untuk penyaluran non-Raskin, khususnya untuk mengisi cadangan beras pemerintah (CBP).

Besaran beras medium dan premium harus dijaga seimbang, terutama terkait stok akhir Bulog agar lembaga penyangga harga ini tidak terbebani beban bunga komersial yang besar. Sebagai perusahaan umum, Bulog juga harus efisien dan mampu menyetorkan keuntungan kepada negara.

Ketika Bulog merugi karena beban bunga komersial dalam menjalankan fungsi-fungsi sosial (public service obligation/PSO), seperti menyangga harga gabah/beras, menyerap gabah/beras domestik, mengelola CBP, dan menyalurkan Raskin, direksi bisa dinilai tidak perform dan setiap saat kursinya terancam tergusur.

Ini membuat direksi gamang. Output-nya, kinerja Bulog dalam menjalankan tugastugas sosial menjadi tidak optimal. Dengan serangkaian reformulasi ini dimungkinkan beleid pemerintah lebih operasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar