Minggu, 05 April 2015

Ferry Katolik Islami

Ferry Katolik Islami

Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 04 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Suatu sore beberapa waktu setelah meninggalnya Mayjen (Purn) Ferry Tinggogoy, saya didatangi istri almarhum yang bermaksud mengonsultasikan satu masalah hukum.

Saya berkawan dekat dengan almarhum Ferry Tinggogoy karena dia adalah anggota DPR dari Fraksi TNI-Polri saat saya menjabat menteri pertahanan (2000-2001). Almarhum juga pernah memimpin Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Provinsi Sulawesi Utara saat saya menjadi wakil ketua umum DPP PKB (2001-2005), dan terakhir almarhum adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (2009-2014).

Kedatangan istri almarhum ingin berkonsultasi kepada saya tentang prosedur-prosedur yang efektif untuk mengurus perkara salah seorang warga Sulawesi Utara yang tanahnya dicaplok secara sewenang-wenang oleh pengembang. Dia menanyakan kepada saya, bisakah saya membantu mengurus ke pengadilan secara profesional, atau bisakah saya memperkenalkan dengan pengacara yang tangguh untuk mengurus perkara yang dibawanya, atau bagaimana caranya agar hakim yang menangani perkara itu benar-benar bisa adil.

Yang menarik, perkara pencaplokan tanah itu tak ada hubungan keperdataannya dengan Ferry atau keluarganya. Tanah itu adalah milik warga biasa dari kalangan lemah, yang kemudian dirampas secara sewenang-wenang. Saat Ferry masih hidup, orang itu meminta tolong kepada Ferry atas perlakuan sewenang- wenang itu, dan Ferry menyanggupi untuk membantunya.

Nah, setelah Ferry meninggal, istrinya datang kepada saya untuk meneruskan perjuangan orang miskin itu memperoleh hak kembali atas tanahnya secara hukum. Istri Ferry mengatakan akan melanjutkan janji suaminya kepada warga yang diperlakukan sewenang-wenang itu. Lho, kok ? Ya, ketikahidup, Ferrysudahberjanji akan membantu orang itu dan membantu biayanya sampai tuntas di pengadilan.

Sebagai wakil rakyat yang duduk di DPD, Ferry merasa wajib membela rakyat yang diwakilinya dari tindakan sewenang-wenang dan ketidakadilan. Hal ini menarik karena, minimal, dua hal. Pertama, ketika masih hidup, Ferry berusaha melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat di DPD, yakni membela kepentingan warga negara yang diwakilinya.

Untuk itu, dia tak ragu mengeluarkan biaya dari kantongnya sendiri. Kedua, istri almarhum Ferry Tinggogoy merasa wajib melanjutkan perjuangan suaminya untuk membela hak hukum seorang warga negara yang telah dirampas haknya. Istri Ferry yang adalah seorang dokter itu mengatakan kepada saya, dirinya merasa wajib terus membantu orang yang tanahnya dirampas itu karena suaminya pernah berjanji untuk membantu mengurus dan membiayai sampai ke pengadilan.

Janji almarhum harus dipenuhi sebagai amanah. Bagi saya, inilah contoh sikap kemanusiaan dan kejujuran seseorang. Meskipun pemberi janji sudah meninggal dan janji untuk membantu itu dikaitkan dengan tugas politik sebagai wakil rakyat, secara moral harus dipenuhi, termasuk oleh keluarga yang ditinggalkan. Sikap Ferry dan keluarganya inilah contoh sikap islami, yakni berlaku baik kepada orang lain dan berusaha memenuhi janjinya seperti yang diajarkan oleh agama Islam.

Keluarga Ferry Tinggogoy adalah penganut agama Katolik yang taat dan dalam hidupnya dia selalu berusaha jujur, baik, dan sportif. Saya menyebut Ferry ini adalah penganut Katolik yang islami karena cara hidupnya sama belaka dengan yang diajarkan oleh Islam yang sarat dengan ajaran hidup berakhlak.

Saya teringat, pada suatu bulan puasa dia mengundang saya untuk berbuka puasa di sebuah restoran. “Kok, mengundang saya berbuka? Pak Ferry kan Katolik?” tanya saya. Saya kan ingin ikut bahagia dan menghormati puasanya, Pak Mahfud,” jawabnya dengan tulus. Saya teringat penggalan pengalaman berkawan dengan Ferry Tinggogoy ini ketika pekan lalu saya bercuit di akun Twitter saya (@mohmahfudmd) yang kemudian ditanggapi beragam oleh tuips. Saat itu saya bercuit, “Di Indonesia banyak orang Islam tapi perilakunya tidak islami. Di New Zealand hampir tidak ada orang Islam tapi masyarakatnya islami”.

Cuitan ini mendapat banyak tanggapan, banyak yang menanggapi positif, tapi ada juga beberapa tuips yang tidak suka menganggap saya mencemooh perilaku orang-orang Islam. Saya sendiri mencuitkan pernyataan itu karena tertarik dengan satu hasil penelitian mengenai peringkat negara-negara yang berperilaku islami.

Penelitian itu menggunakan parameter penerapan akhlak Islam sebagai ukuran perilaku islami, misalnya sikap hidup tertib, ketaatan pada hukum, tidak korupsi, tidak sewenang-wenang, menghormati hak orang lain. Hasil penelitian itu memang cukup mengagetkan karena perilaku dan akhlak Islam justru lebih hidup di Selandia Baru jika dibandingkan dengan di negara-negara Islam atau negara-negara yang mayoritas rakyatnya beragama Islam.

Saya hanya ingin menegaskan bahwa berdasarkan temuan itu, ternyata banyak orang Islam yang tidak istikamah untuk melaksanakan akhlak islami. Sebaliknya banyak orang yang tidak Islam sudah berperilaku sesuai dengan ajaran Islam, sehingga meski tak beragama Islam, perilaku mereka sudah islami.

Ketika berkunjung ke Jepang awal 2014, di depan para mahasiswa Indonesia yang belajar di sana saya mengatakan, “Di Jepang tak banyak orang Islam, tetapi terasa ada suasana Islam dalam penegakan hukum”. Sebenarnya lontaran pernyataan saya ini bukanlah hal baru. Lebih dari satu abad yang lalu, Syech Muhammad Abduh (1849-1905) sudah mengatakan, “al-Islaam mahjuub bil muslimien” yang berarti, “kemuliaan Islam tertutup oleh perilaku orang-orang Islam sendiri”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar