Minggu, 05 April 2015

Memaknai Menyerahnya Goliat Tabuni

Memaknai Menyerahnya Goliat Tabuni

Amiruddin al-Rahab  ;  Direktur Eksekutif Papua Resource Center
KORAN TEMPO, 04 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Papua memang selalu memiliki kejutan. Yang terbaru, kabar menyerahnya pemimpin kelompok bersenjata, Panglima Organisasi Papua Merdeka (OPM), Goliat Tabuni (GT) di Tingginambut, Puncak Jaya, yang disampaikan ke media oleh Kasdam Cendrawasih. Menyerahnya GT itu kemudian oleh Pangdam Cendrawasih dikaitkan dengan rencana kedatangan Presiden Jokowi pada Mei nanti ke Papua.

Sayangnya berita itu berakhir hambar. Sebab GT, melalui keponakannya, Deerd Tabuni, membantah menyerah (tabloidjubi.com, 28/3/15). Untuk menutupi kesalahan Kasdam itu, Pangdam Cendrawasih Fransen G. Siahaan membenarkan bahwa GT belum menyerah, yang menyerah adalah 23 orang anak buahnya tanpa senjata.

Meskipun menyerahnya GT itu seperti sensasi, ini penting untuk dimaknai secara politik, karena berkaitan dengan rencana kehadiran Presiden yang hendak berdialog dengan tokoh-tokoh di wilayah Puncak Jaya, Papua. Untuk itu, berita tersebut memiliki nilai politik yang tinggi dan strategis untuk dicermati.

Sebagaimana kita ketahui, dalam 10 tahun ini, Puncak Jaya dan sekitarnya telah menjadi wilayah konsentrasi kelompok-kelompok bersenjata di Papua. Dalam 10 tahun itu, Puncak Jaya terus-menerus dirongrong oleh aksi kekerasan bersenjata di satu sisi dan di sisi lain menjadi ajang kampanye pelanggaran HAM oleh aparat keamanan. Pada 2013–2014 saja telah terjadi aksi bersenjata 40 kali. Korban jiwa yang jatuh jumlahnya 30 orang lebih (aparat dan rakyat), pada 2013–2014. Aparat pun kehilangan 20-an pucuk senjata.
GT adalah sosok tua dan disegani dalam kelompok bersenjata di Papua, khususnya di wilayah pegunungan tengah Papua. Markas GT berada di Distrik Tingginambut, Puncak Jaya. Puncak Jaya dan Puncak adalah wilayah dengan kelompok bersenjata paling kuat saat ini di Papua.

Sejak kelompok GT hadir di Puncak Jaya, kelompok bersenjata lainnya ikut bergabung, yaitu Anton Tabuni, Dinus Wakerwa, Marunggen Wonda, Lekaka Talenggen, dan Militer Murib. Tiap-tiap kelompok memiliki puluhan senjata. Kelompok-kelompok yang bergabung dengan GT inilah yang aktif melakukan penyerangan dan aksi-aksi bersenjata yang memakan korban jiwa di Puncak Jaya dan Puncak sepanjang 2004–2014. Meskipun saat ini dikabarkan masing-masing kelompok bergerak sendiri-sendiri, GT tetap sosok yang disegani. Bahkan GT menjadi ikon perlawanan bagi kelompok-kelompok bersenjata dan politik di Papua.

Dengan melansir berita menyerahnya GT, aktor keamanan di Papua sepertinya hendak melakukan cipta kondisi untuk menyambut kedatangan Presiden Jokowi ke Mulia. Bagaimanapun, secara intelijen dan keamanan, menyerahnya GT adalah "hasil operasi" kelas premium untuk disuguhkan ke hadapan Presiden. Pesannya bahwa, "patah" perlawanan bersenjata yang paling keras di Papua selama ini. Sayangnya, operasi cipta kondisi itu tidak rapi, sehingga berantakan dalam beberapa hari.

Melihat simpang-siurnya kabar penyerahan diri GT yang dikaitkan dengan rencana keinginan Presiden untuk berdialog di Papua, ada beberapa analisis yang bisa dikemukakan. Pertama, aktor keamanan telah menempatkan sosok GT di posisi terpenting, sekaligus menempatkannya dalam posisi paling rentan di antara komandan-komandan kelompok bersenjata di Papua. Sepertinya informasi sengaja dilepas untuk melihat rivalitas di antara pemimpin kelompok-kelompok bersenjata dalam menyambut ajakan berdialog dari Presiden Jokowi.

Kedua, jika bukan untuk menciptakan rivalitas, aktor keamanan di lapangan dalam melakukan cipta kondisi tidak terkoordinasi dalam satu komando yang baik, sehingga melepas informasi yang prematur dan mudah dibantah. Dalam kerangka ini, upaya berdialog dengan cara kontak langsung kepada pimpinan kelompok-kelompok bersenjata yang dikehendaki Presiden Jokowi menjadi mentah dan akan lebih sulit ke depan.

Ketiga, perlu pula dicatat bahwa penyerahan diri orang-orang yang disebut OPM selama ini lebih banyak dimobilisasi ketimbang murni penyerahan diri. Aksi penyerahan diri itu selalu muncul ketika hendak ada pergantian pejabat. Sepertinya "hasil operasi" tertinggi di Papua adalah adanya penyerahan diri atau senjata. Kerap pula mereka yang disebut OPM setelah menyerahkan diri tidak terurus dengan baik, dan kemudian kecewa. Bisa dikatakan, puluhan aksi menyerahkan diri tersebut tidak membuat aksi kelompok bersenjata berkurang.

Karena itu, Presiden harus jauh lebih cermat dalam menerima dan mencerna informasi mengenai perkembangan keamanan di Papua. Letjen (Purn) Bambang Darmono, mantan Kepala UP4B, dalam satu kesempatan pernah menyampaikan, untuk menangani kondisi keamanan di Papua, yang perlu dicermati adalah terjadinya kompetisi antar-aktor keamanan dalam mendapatkan "hasil operasi". Kompetisi itu kerap membuat informasi tidak akurat. Di samping itu, Presiden, dalam menjalin dialog di Papua, juga harus selalu menyadari bahwa konfigurasi demografi politik Papua yang trapesium selalu menyuguhkan pemimpin yang tidak tunggal. Untuk itu, langkah menangani Papua juga tidak pernah bisa tunggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar