Darurat Kepemimpinan
Yudi Latif ; Cendekiawan
|
MEDIA
INDONESIA, 06 April 2015
NEGARA tercinta kita sedang
dalam cobaan berat. Kepemimpinan negara seperti layangan putus benang di
tengah impitan kesengsaraan rakyat dan pertikaian kepentingan elite yang
tercerabut dari nasib rakyat.
Harga kebutuhan pokok
masyarakat seperti beras, BBM, elpiji, terus naik dengan pasokan yang makin
sulit diperoleh di pasar. Saat yang sama, kemerosotan nilai tukar rupiah
bersamaan dengan penaikan tarif kereta ekonomi, rencana pengenaan PPN atas
tarif listrik dan tol, penaikan biaya meterai, dan berbagai kenaikan
harga-harga kebutuhan lainnya kian membebani rakyat. Subsidi untuk rakyat
dipangkas, tapi subsidi sumbangan pembelian mobil bagi pejabat negara
dinaikkan. Kebocoran pendapatan negara tetap tak bisa ditekan dan pembiayaan
negara kembali bergantung pada utang luar negeri.
Konflik dan pertikaian
antarlembaga negara merebak di ruang publik dan melemahkan kebersamaan.
Institusi KPK sebagai mahkota reformasi untuk pemerintahan bersih mengalami
hantaman dan demoralisasi yang menggoyahkan eksistensinya.
Partai-partai politik sebagai
pilar demokrasi kehilangan independensi dan kesolidannya karena penetrasi
aneka kepentingan dari luar yang mengarah ke perpecahan, tanpa komitmen
pemerintah untuk menjaga iklim yang sehat bagi pertumbuhan kepartaian.
Kemerosotan otoritas
kepemimpinan dan pertikaian elite ini bersejalan dengan peningkatan kerawanan
sosial: tindak kriminalitas, aksi-aksi pembegalan, perampokan, dan pembunuhan,
dan radikalisme mewarnai kehidupan rakyat sehari-hari.
Dalam menghadapi cobaan berat
yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara ini,
kita tidak boleh hanyut dalam irama adu domba dan kehilangan orientasi.
Cobaan berat ini justru harus kita hadapi dengan memperkuat semangat gotong
royong; melawan setiap usaha pecah belah; serta meneguhkan kembali komitmen
untuk mengedepankan keselamatan bangsa di atas kepentingan sempit
perseorangan dan golongan.
Di tengah penderitaan rakyat dan
pertikaian elite, perlu ditumbuhkan rasa tanggung jawab di kalangan para
pemimpin dan aparatur negara. Seperti diingatkan oleh Bung Hatta, “Indonesia luas tanahnya dan besar
daerahnya dan sebagai nusantara tersebar letaknya. Oleh karena itu, soal-soal
yang mengenai pembangunan negara Indonesia yang merdeka dan kuat tak sedikit
jumlahnya dan tidak pula mudah adanya. Pemerintahan negara yang semacam itu
hanya dapat diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab yang
sebesar-besarnya, dan mempunyai pandangan yang amat luas. Rasa tanggung jawab
itu akan hidup dalam dada kita, jika kita sanggup hidup dengan memikirkan
lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan
bangsa.“
Dalam menunaikan rasa tanggung
jawab itu, hendaklah disadari bahwa berbagai cobaan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara ini mencerminkan kekeliruan kita dalam menjalankan sistem
pemerintah an negara karena pe nyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan
semangat konstitusi proklamasi. Untuk itu, para penyelenggara negara,
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, harus kembali ke rel pemerintahan yang
sejalan dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Di tengah kegaduhan demokrasi,
banyak orang dan aktor politik lupa pada pokok persoalan. Bahwa demokrasi
lebih dari sekadar ledakan perhimpunan, pesta pemilihan, atau rebutan
kekuasaan, tapi modus kekuasaan yang seharusnya lebih menjunjung tinggi
daulat rakyat dengan mewujudkan tujuan negara, seperti termaktub dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: `Melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial'.
Dalam kaitan ini, perbaikan
tata negara dan tata kelola negara menjadi kata kunci dalam perwujudan
aspirasi demokrasi dan tujuan bernegara. Ledakan partisipasi massa dalam pesta
demokrasi sering berujung dengan kekecewaan, ketika hiruk pikuk per debatan
politik tidak punya persambungan dengan output pemerintahan.
Dengan demikian, menjadi jelas
bahwa kita tidak cukup berpesta demokrasi. Taruhan kita ada pada kemampuan
untuk memperbaiki tata kelola negara.
Jika berkaca dari keberhasilan
reformasi birokrasi di negara-negara lain, ditemukan tiga faktor kunci (critical success factors) dalam
reformasi tata kelola negara, yaitu (1) adanya kepemimpinan yang kuat; (2)
adanya komitmen dan kesepa haman bersama yang kuat; dan (3) adanya agenda
reformasi yang jelas, bertahap, dan terukur.
Faktor pertama merupakan kunci
pembuka kotak pandora, bagi perbaikan faktor faktor lainnya. Bahwa demokrasi
yang bermaksud memuliakan kedaulatan rakyat menghendaki kepemimpinan yang
`kuat', yakni kepemimpinan berbasis hukum dengan menjalankan amanat
konstitusi. Di sini, pemimpin negara mesti sadar bahwa demokrasi tak bisa
dipisahkan dari konstitusi seperti tecermin dalam istilah `demokrasi
konstitusional' (constitusional
democracy). Istilah itu mengandung makna bahwa demokrasi merupakan suatu
fenomena politik yang tujuan ideologis dan teleologisnya ialah pembentukan
dan pemenuhan konstitusi.
Dengan kata lain, demokrasi
yang di jalankan tidak bisa bersifat generik yang bisa diambil begitu saja
dari pengalaman negara lain, betapa pun majunya negara tersebut. Demokrasi
harus disesuaikan dengan falsafah dasar dan amanat konstitusi, yang merupakan
abstraksi dari kesadaran dan jati diri bangsa.
Dalam usaha melaksanakan
konstitusi tersebut, diperlukan keteladanan kepemimpinan. Dengan kepemimpinan
yang committed terhadap konstitusi,
ketaatan warga negara pada otoritas bukan sebagai ekspresi dari loyalitas dan
ketakutan personal yang bersifat ad hoc, melainkan sebagai ekspresi dari
kesadaran hukum untuk kemaslahatan bersama yang bersifat permanen.
Menyangkut keteladanan kepemimpinan
itu, presiden dalam konstitusi Republik ini menempati posisi sentral. Sebagai
kepala negara dan pemerintahan, presiden melambangkan harapan masyarakat
bahwa amanat konstitusi itu akan diterjemahkan ke dalam kerangka kebijakan
dan dijalankan administrasi pemerintahan secara rasional. Komitmen utama
konstitusi dan kepemimpinan negara berkhidmat pada upaya untuk mengamankan
dan mencari keseimbangan dalam pemenuhan tiga pokok kemaslahatan publik (public goods). Hal itu berkisar pada
persoalan legitimasi demokrasi, kesejahteraan ekonomi, dan identitas
kolektif.
Basis legitimasi dari
institusi-institusi demokrasi berangkat dari asumsi bahwa institusi-institusi
tersebut merepresentasikan kepentingan dan aspirasi seluruh rakyat secara
imparsial. Klaim itu bisa dipenuhi jika segala keputusan politik yang diambil
secara prinsip terbuka bagi proses-proses perdebatan publik (public deliberation) secara bebas,
setara dan rasional. Hanya dengan penghormatan terhadap prosedur-prosedur public deliberation seperti itulah,
peraturan dan keputusan yang diambil memiliki legitimasi demokratis yang
mengikat semua warga, dan pemerintah bisa melaksanakannya secara benar (right) dan tanpa ragu (strong).
Setelah basis legitimasi
diperjuangkan, kemaslahatan publik selanjutnya ialah kesejahteraan ekonomi.
Demokrasi politik tak bisa berjalan baik tanpa demokratisasi di bidang
ekonomi. Pancasila sendiri mengisyaratkan ujung pencapaian nilai-nilai ideal
kebangsaan harus bermuara pada `keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia'. Negara kesejahteraan menjadi pertaruhan dari kesaktian Pancasila.
Untuk menciptakan kesejahteraan
ekonomi di negara seperti ini, Joseph E Stiglitz (2005) merekomendasikan
perlunya keseimbangan antara peran pemerintah dan pasar.Dalam hal ini, negara-negara
berkembang harus lebih bebas dan leluasa menentukan pilihan-pilihan kebijakan
ekonomi mereka.Tidak ada cara tunggal dan sistem yang sempurna, seperti yang
sering dikhotbahkan para arsitek ekonomi di World Bank dan IMF.Seturut dengan
itu, pemimpin negara harus memiliki keberanian untuk menjalankan amanat
konstitusi dalam penguasaan bumi, air, udara, dan kekayaan alam bagi
kesejahteraan rakyat.
Pemimpin negara, sebagai mata hati dan mata nalar
rakyat, harus berani mengambil sikap prorakyat dalam kasus eksplorasi
kekayaan alam yang merugikan bangsa dan negara.
Semuanya itu merupakan
prakondisi bagi terpeliharanya kebajikan ketiga: yakni identitas kolektif
sebagai bangsa Indonesia. Kemunculan Indonesia sebagai perwujudan dari civic nationalism (yang berbasis
demokrasi konstitusional), dengan Pancasila sebagai titik temu solidaritas
kolektifnya, mulai mendapatkan ancaman dari meruyaknya aspirasi politik
identitas yang bersemangat partikularistik.
Fungsi pemimpin negara di
tengah gelombang ekstremitas dalam masyarakat benarbenar sedang diuji. Betapa
pun Presiden/ Wakil Presiden tampil karena dukungan partai atau kelompok
tertentu, sekali mereka terpilih, anasir-anasir partikularistik harus
dikesampingkan demi kemaslahatan bersama.
Kepemimpinan Presiden/Wakil
Presiden lebih dari sekadar `petugas partai', tapi petugas seluruh rakyat
Indonesia yang harus dilayaninya. Terlalu besar taruhannya jika Presiden
tidak lagi mendengar jerit tangis ratusan juta rakyat hanya karena lebih
mengutamakan kepentingan perseorangan dan golongan.
Dalam situasi krisis akut
dengan darurat kepemimpinan, dunia politik memerlukan peran kepemimpinan yang
lebih besar. Yang diperlukan bukan saja pemimpin yang baik (good leader), melainkan pemimpin agung
(great leader). Keagungan di sini
tidaklah merefleksikan kapasitas untuk mendominasi dan memaksa, tetapi
terpancar dari kesejatian karakter untuk mengasihi, melindungi, mengurus, dan
menertibkan. Singkat kata, diperlukan kepemimpinan moral yang dapat
menambatkan kembali biduk-biduk yang oleng pada jangkar keyakinan. Tentang
hal itu, Khalifah Umar memberikan petunjuk, “Yang dapat memangku kepemimpinan ini ialah orang yang tegas tapi tak
sewenang-wenang, lembut tapi tidak lemah, murah hati tapi tidak boros, hemat
tapi tak kikir. Hanya orang seperti itulah yang mampu.“ ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar