Kamis, 02 April 2015

Kembalikan Kesucian Politik

Kembalikan Kesucian Politik

Thomas Koten  ;  Direktur Social Development Center
MEDIA INDONESIA, 01 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

POLITIK itu hakikat dasarnya suci, indah, agung, dan terhormat, yakni sebagai wahana membangun masyarakat utama. Itulah inti dari dua karya klasik dari kedua filsuf Yunani yang menjadi magnum opus, Republiknya Plato, dan Nicomachean Ethics-nya Aristoteles. Sebuah masyarakat yang terwujud dalam tatanan sosiallah yang berlandaskan pada hukum, norma, dan aturan sehingga tercipta keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Di situ, parlemen ibarat Akademinya Plato, yaitu lembaga persemaian pemikiran-pemikiran cemerlang dan pertukaran ide-ide brilian di kalangan para politikus yang mengemban misi utama sebagai perumus kebijakan negara. Politikus adalah negarawan yang berintegritas, arif, dan bijak dengan gagasan-gagasan yang cemerlang yang memberi pencerahan dan pencerdasan kepada masyarakat. Politik bagi Plato, sebagaimana sitir Amich Alhumami terhadap Hacker (1961) adalah jalan mencapai apa yang disebut a perfect society; bagi Aristoteles adalah cara meraih apa yang disebut the best possible system that could be reached.

Dengan demikian, harapan bagi politikus di parlemen tidak lebih sebagai orang-orang yang memiliki peran sangat penting sebagai legal drafter dan policy maker; yakni sebagai pembuat undang-undang yang dapat menjamin tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan serta perumus kebijakan strategis yang memihak kepentingan masyarakat.

Hilangnya kesucian politik

Sayangnya, politik Indonesia semakin hari semakin kehilangan muruah kesucian, keindahan, kehormatan, dan keagungan. Politikus Indonesia pun sudah tidak lagi mencitrakan kenegarawanannya. Parpol pun sudah semakin tergerus pesonanya. Yang ada di parpol ialah friksi, konflik, dan perpecahan dengan politikus yang banyak terjerat kasus suap dan korupsi.

Oleh karena itu, yang terjadi dalam politik ialah pertarungan perebutan kekuasaan dengan segala cara, akal, kiat, bahkan tidak jarang akal busuk dan tipu daya tanpa peduli lagi etika politik. Ujungnya, citra kekuasaan tidak lagi menjadi tanggung jawab yang memikul cita-cita luhur bangsa dan hanya menjadi tempat untuk mempertontonkan kemuliaan diri. Lalu, politik pun semakin dinilai sebagai sosok yang kotor dan kekuasaan menjadi panggung yang menjijikkan.

Jika dilihat secara kasat mata, politikus Indonesia baik di parpol maupun di parlemen, selama ini telah mendekati deskripsi Max Weber tentang orang-orang yang menghidupi dirinya dari politik, bukan sebaliknya orang-orang yang menghidupi politik dengan sumbangsih tenaga, pikiran, dan kearifan. Artinya, politikus Indonesia kini selalu menjadikan politik sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri. Politik tidak diorientasikan untuk memperjuangkan nilai. Politikus seperti itu dapat teridentifikasi dari tindakannya yang instrumentalistik untuk mengeksploitasi peraturan, prosedur, dan kedudukan dalam menggapai keuntungan pribadi dan kelompok.

Padahal, menurut Weber, politikus yang sejati adalah politikus yang semestinya memiliki kearifan untuk menata negara dan menciptakan kebaikan bersama (bonum publicum). Politikus yang bermartabat dan berintegritas menganggap bahwa politik adalah medan perjuangan yang di dalamnya harus ditransformasikan nilai-nilai kebaikan untuk merealisasikan cita-cita bersama karena di situ pula letak etika dan tujuan luhur politik.

Politik Indonesia dikerjakan oleh para politikus yang kurang bermartabat dan berintegritas seperti itu, maka kita melihat seperti apa yang terjadi saat ini, misalnya lembaga legislatif berubah menjadi ground breading bagi praktik suap dan korupsi. Di tangan parlemen, fit and proper test disulap menjadi fee and property uang dan materi. Parlemen telah beralih fungsi menjadi medan transaksi politik untuk pemenuhan kepentingan diri dan kelompok, seperti memperjuangkan nasib koalisi ketimbang nasib bangsa dan negara.

Semua itulah yang membuat politik Indonesia semakin kehilangan kesucian, keindahan, keluhuran, kehormatan, dan keagungannya. Politikus yang tidak bermartabat dan tidak berintegritas, tidak peduli dengan terpecah belahnya partai politik, dan tidak henti-hentinya terjadi kegaduhan politik. Mereka juga tidak mau tahu dengan nasib dan kualitas politik Indonesia yang terus mengalami kemerosotan.

Fenomena kemerosotan politik seperti itu telah menjadi contoh yang buruk bagi warga negara. Ingat, bahwa warga negara menurut Aristoteles, yaitu selalu belajar tentang kebaikan dengan cara meniru perilaku yang baik dari para politikus. Secara substansial, nilai-nilai kebajikan sosial ialah landasan bagi terbentuknya masyarakat utama.

Kini, masyarakat pun seperti telah kehilangan apa yang disebut oleh kaum komunitarian sebagai civic virtue. Civic virtue menurut Alasdair (1981) adalah akar dan sumber kebajikan masyarakat yang menjadi faktor determinan bagi tumbuhnya individu-individu berkarakter yang mau memadukan semua unsur kualitas berkarakter yang dimaksud, sehingga membentuk kekuatan sinergis guna membangun tatanan sosial yang baik dan berkualitas.

Perlu kesucian politik

Tidak ada jalan lain. Kesucian, kehormatan, keindahan, dan keagungan politik harus segera kembali dilekatkan pada tubuh politik Indonesia. Tubuh politik Indonesia yang suci, indah, terhormat, dan agung itulah yang sangat didambakan oleh publik bangsa saat ini. Lantaran publik bangsa kini sudah benar-benar muak melihat wajah politik yang tak karuan akibat digerayangi para poli tikus yang tidak berperilaku etis dan terhormat dalam berpolitik.

Politik yang suci, indah, dan terhormat adalah politik yang selalu h berpijak pada kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, bukan pada kepentingan pribadi dan kelompok. Kesucian, keindahan, kehormatan, dan keagungan politik terletak pada karya dan pelayanan politik dari para politikus kepada rakyat secara paripurna. Makna etis politik terletak pada kemaslahatan rakyat yang diperjuangkan oleh politikus-politikus yang beretika dan bermoral.Kesucian dan keindahan politik memancar dari tindakan politikus yang autentik dan tegas dalam memperjuangkan nilai.

Hanya politikus-politikus yang beretika dan bermorallah yang sanggup mengerjakan politik sesuai dengan tujuan sucinya. Politikus-politikus yang mengerjakan politik secara etis adalah politikus-politikus yang memiliki panggilan jiwa yang agung, mulia, dan suci. Dalam berpolitik, mereka akan mengedepankan moralitas dan etika, termasuk dalam meraih dan merebut kekuasaan secara santun.

Politikus-politikus yang menjalankan politik sesuai dengan panggilan jiwa nan suci akan meletakkan tujuan luhur dan suci dari politik di atas tujuan lainnya, serta berjuang di atas landasan nilai-nilai yang tegas. Tujuan luhur dan suci dari politik adalah memberikan pencerahan dan mengarahkan masyarakat ke hidup yang lebih baik dengan penuh pengorbanan, bukan berhenti pada kalkulasi untung-rugi.

Jadi, sulit rasanya dapat mengembalikan politik Indonesia dalam kesejatiannya yang suci, indah, luhur, dan terhormat jika politikus-politikus di negeri ini tidak memiliki panggilan jiwa nan suci untuk berpolitik bagi kepentingan rakyat. Karena itu, diharapkan para politikus Indonesia segera menyadari perihal panggilan jiwanya dalam berpolitik dengan meletakkan etika dan moralitas di atas seluruh tindakan politiknya. Dengan demikian, politik Indonesia dapat kembali kepada kesucian, keluhuran, dan keindahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar