Kamis, 02 April 2015

Awan Gelap Keamanan Pangan

Awan Gelap Keamanan Pangan

Posman Sibuea  ;  Guru Besar Ilmu Pangan di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatra Utara, Medan
MEDIA INDONESIA, 01 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

BAGI Anda yang doyan menikmati minuman dengan campuran es batu di warung makan, untuk sementara harus mulai berhati-hati. Ada dugaan es batu yang digunakan berasal dari air yang tercemar dan belum dimasak.Setelah meneguknya, alih-alih rasa segar yang diperoleh, tetapi memunculkan risiko sakit penyakit. Negeri dikepung racun, itulah salah satu topik `Primetime News' Metro TV edisi Jumat (27/03) yang menguak carut-marut perdagangan pangan yang tidak aman dikonsumsi. Es batu yang tidak memenuhi persyaratan untuk bahan tambahan minuman karena air yang digunakan diambil dari salah satu sungai di Jakarta, hanyalah salah satu dari sekian banyak masalah keamanan pangan di negeri ini. Itu ibarat fenomena puncak gunung es.

Berformalin

Badan POM, Kemenkes, YLKI, dan lembaga survei lainnya sudah sering melakukan uji mutu dan keamanan pangan olahan (food safety). Hasilnya tidak berbeda dari waktu ke waktu. Berbagai jenis produk pangan yang tidak aman karena berformalin tetap diperdagangkan. Praktik penipuan pun masih berlangsung yang kerap mencederai kesehatan. Penggunaan formalin untuk makanan sudah di larang. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168/Menkes/Per/X/1999 memberi regulasi penggunaan ba han tambahan makanan, mengingat bahaya serius yang akan dihadapi bila formalin masuk ke tubuh manusia. Formalin akan menekan fungsi sel, menyebabkan kematian sel, dan keracunan. Pada binatang percobaan, formalin diperkirakan menyebabkan timbulnya kanker.

Apakah karena konsumen pangan tidak berteriak ke sakitan seperti halnya warga lain yang berdarah-darah akibat terkena serpihan bom, sehingga pemerintah abai? Padahal formalin yang ditambahkan ke produk makanan olahan menjelma jadi monster pencabut nyawa. Produsen makanan olahan kurang peduli terhadap mutu dan keamanan pangan yang diproduksinya karena sekadar mencari untung.

Mereka kerap melanggar aturan, tidak saja menggunakan pengawet formalin, tetapi juga meracuni kon sumen dengan zat pengawet lain secara berlebihan. Penarikan mi numan isotonik dari pasaran pada akhir 2006 ialah serpihan contoh lainnya. Bermula dari hasil temuan LSM Kombet (Komite Masyarakat Antibahan Pengawet) Oktober 2006 pada sejumlah minuman isotonik yang mengandung pengawet natrium benzoat dan kalium sorbat.

Kandungan bahan pengawet minuman isotonik yang ditarik BPOM ini memang masih dalam taraf aman. Kekeliruannya ialah tidak mencan tumkan informasi bahan pengawet yang digunakan pada label secara benar. Boleh jadi, produsennya menganggap informasi pada label kemasan tidak begitu penting karena kandungan pengawet kimia yang di gunakan masih dalam takaran yang normal. Namun, mereka lupa informasi yang akurat tetap dibutuhkan konsumen, seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah No 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

Pihak industri pangan kerap melakukan kesalahan dengan tidak memberi label pada produk olahan pangannya. Kalaupun memiliki label, tetapi informasi di dalamnya tidak menjelaskan produk tersebut secara akurat. Informasi yang diberi kan pelaku industri pangan kepada konsumen relatif kurang lengkap, bahkan kerap memuat hal-hal yang membingungkan dan cenderung merugikan.

Label pangan secara definitif sesuai dengan PP No 69 tahun 1999 Pasal 1 disebutkan sebagai keterangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan, dan ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan. Jadi, label pangan harus berisikan keterangan yang jujur, jelas, dan tidak menyesatkan konsumen.

Perlindungan

Produk pangan olahan pada prinsipnya tidak dilarang menggunakan bahan pengawet, asal penggunaannya dan dosisnya tidak melampaui ambang batas yang ditentukan WHO atau Badan POM. Sayangnya, pihak industri pangan acap kali tidak menuliskan jenis dan jumlah bahan pengawet yang digunakan pada label. Hal ini sudah melanggar UU No 18/2012 tentang Pangan, UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, PP No 69/ 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dan PP No 28/ 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan.

Pada tataran praktik, keempat perangkat hukum ini masih sebatas macan kertas karena belum pernah di gunakan pemerin tah untuk menjerat seberat-beratnya pihak industri pa ngan yang mem produksi makanan olahan yang tidak memenuhi syarat ke sehatan. Bahkan, ketika Badan POM menarik sejumlah minuman ringan dari pasar karena bahan pengawetnya tidak disebutkan pada label, ternyata di berbagai pusat perbelanjaan produk minuman terlarang itu masih beredar dan masih dikonsumsi sejumlah orang.

Praktik-praktik bisnis pangan seperti ini menggambarkan bahwa negeri ini masih diselimuti awan gelap keamanan pangan. Pembohongan publik kerap dilakukan industri pangan. Ketika mendaftarkan produknya ke instansi terkait, disebut tidak memakai bahan pengawet. Namun, dalam praktiknya, produsen `nakal' kerap menggunakan BTM melampaui takaran yang dianjurkan, bahkan menambahkan bahan yang tidak semestinya digunakan.

Ringannya putusan peradilan seperti masa percobaan dalam berbagai perkara makanan yang merugikan kesehatan memberi ruang untuk kembali melanggar aturan main dan bukti tersumbatnya saluran perlindungan konsumen.PP No 69/ 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, sesungguhnya merupakan payung hukum yang dapat melindungi konsumen. Ke depan, pemerintah harus memiliki good will terhadap perlindungan konsumen pangan.Unsur keamanan pangan dalam bisnis produk olahan makanan yang kini amat pesat perkembangannya patut mendapat perhatian, demi pembangunan mutu SDM Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar