Kamis, 02 April 2015

Hak Angket DPR akankah Kandas?

Hak Angket DPR akankah Kandas?

Ikrar Nusa Bhakti  ;  Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 30 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

RABU (25/3), sebanyak 116 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) (20 suara), Fraksi Partai Gerindra (37 suara), Fraksi Partai Golkar (55 suara), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi muktamar Jakarta (2 suara), dan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) (2 suara) mengajukan hak angket terkait dengan langkah-langkah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum dan HAM) Yasonna Hamonangan Laoly yang mereka pandang melakukan intervensi ke konflik internal Partai Golkar dan PPP. Inisiator hak angket itu ialah anggota DPR dari Partai Gerindra, Ahmad Riza Patria. Mereka berharap pimpinan DPR melalui Badan Musyawarah (Bamus) akan menyetujui pengusulan hak angket tersebut. 

Pertanyaannya, akankah Bamus meluluskannya? Jika ya, mengapa itu terjadi? Jika tidak atau ternyata pengajuan hak angket itu kandas, apa penyebabnya?

Bila kita lihat angka pengusul hak angket tersebut, tampak jelas betapa dukungan terhadap pengajuan hak angket itu tidaklah terlalu besar walau masih ada upaya untuk menyatukan langkah politisi dari Koalisi Merah Putih (KMP) pada sehari sebelumnya, Selasa (24/3). Ada beberapa alasan mengapa KMP belakangan ini agak memudar. Pertama, terpilihnya Zulkifli Hasan sebagai Ketua Umum PAN menggantikan Hatta Rajasa telah membawa perubahan pada arah politik PAN ke depan. Meski PAN tidak secara resmi menyatakan meninggalkan KMP dan bergabung ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH), ada nuansa baru dalam berpolitik PAN. Para pemimpin partai yang baru menyadari bahwa Indonesia kini sedang menghadapi berbagai persoalan ekonomi yang amat rumit seperti penurunan nilai rupiah terhadap dolar AS, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, dan harga BBM yang naik turun tergantung harga minyak dunia. Di mata pimpinan PAN, sebaiknya DPR bahumembahu dengan pemerintah dalam mengatasi persoalan ini dan bukan malah bikin kegaduhan politik baru yang bukan saja menguras tenaga dan pikiran, melainkan juga semakin memperburuk citra DPR di mata rakyat.

Kedua, di dalam Partai Golkar sendiri telah terjadi perubahan yang sangat signifikan. Setelah Menkum dan HAM Yasonna H Laoly mengeluarkan surat penerimaan atas pendaftaran kepengurusan Partai Golkar oleh kubu Agung Laksono `sesuai dengan hasil keputusan Mahkamah Partai Golkar', tampak jelas betapa lompat pagar politik terjadi kembali di internal Partai Golkar. Ini bukan saja terjadi pada tingkatan pengurus Golkar di daerah, melainkan juga pada tingkatan pusat. Dalam bahasa pragmatisme politik mereka, “Kami harus mendukung kepengurusan yang legal!“ Secara kebetulan saat ini yang tercatat di Kemenkum dan HAM ialah kepengurusan hasil Munas Ancol, Jakarta, maka berbondong-bondonglah mereka mengubah posisi mendekat ke kubu Agung Laksono. Tidak ada loyalitas abadi dalam politik, yang ada adalah oportunisme dan pragmatisme politik karena sebagian besar politikus memang mencari kesempatan dan peluang, bukan menguatkan loyalitas yang mati kepada pimpinan partai.

Ketiga, pada tingkatan pimpinan DPR sendiri ada suatu harapan bahwa pada masa sidang kedua DPR ini akan terjalin hubungan yang lebih baik antara DPR dan pemerintah. Itu bahkan diucapkan sendiri oleh politikus Partai Golkar Setya Novanto, yang juga berasal dari Partai Golkar kubu Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie. Bipartisanship antara pemerintah dan DPR memang sangat penting dilakukan, bukan saja dalam persoalan politik luar negeri, melainkan juga dalam mengatasi persoalan negara yang kadang cukup pelik.

Keempat, jika ditinjau dari materi pengajuan hak angket, seperti dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla, materinya belum layak karena tidak menyangkut kepentingan umum, tetapi hanya kepentingan politik dari segelintir elite politik di Partai Golkar atau PPP yang tidak puas dengan keputusan Menkum dan HAM Yasonna H Laoly terkait dengan konflik internal di kedua partai itu.

Lalu bagaimana jika pengajuan hak angket itu disetujui Bamus DPR? Jika itu terjadi, berarti di DPR masih ada dua kubu, yakni KMP dan KIH. Selain itu, masih ada ganjalan lain dalam hubungan antara DPR dan Presiden Jokowi, khususnya soal pengajuan calon Kapolri Badrodin Haiti. Namun, dalam kasus yang kedua ini ada anomali politik, motor penggerak untuk menggagalkan pengajuan Badrodin justru datang dari partai pendukung pemerintah, yakni PDIP. Kita tidak tahu mengapa masih ada politisi PDIP yang terus menyuarakan agar Budi Gunawan dilantik menjadi Kapolri walaupun Presiden Jokowi sudah menggantinya dengan Komjen Badrodin Haiti. Apakah mereka hanya menyuarakan suara sang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri yang menginginkan Budi Gunawan dilantik jadi Kapolri, ataukah memang sudah terjadi pecah kongsi antara PDIP dan Jokowi?

Gaya parlementer

Bila kita dalami pengajuan hak angket itu, ada suatu keanehan. Pertama, hak angket memang merupakan bagian dari fungsi pengawasan dewan terhadap pemerintah. Namun, mengajukan hak angket atas surat yang dikeluarkan seorang menteri adalah tidak tepat. Menteri ialah pembantu presiden dan bukan subjek dari pengajuan hak angket. Hak bertanya, angket, interpelasi harusnya diajukan kepada presiden karena posisi presiden neben/setara dengan DPR. Di dalam sistem presidensial, suatu keanehan jika menteri dikenai hak angket oleh dewan. Ini berbeda dengan sistem parlementer di saat DPR dan kabinet adalah satu kesatuan dan mosi tidak percaya bisa saja diajukan kepada perdana menteri ataupun menteri.

Selain itu, memasukkan persoalan konflik internal partai ke ranah politik di DPR akan menambah pertanyaan publik mengenai kecanggihan berpolitik para wakil rakyat. Para wakil rakyat yang seluruhnya anggota partai harusnya memiliki kecanggihan berpolitik untuk menyelesaikan konflik di internal partai karena salah satu fungsi partai ialah mencegah, mengelola, dan menyelesaikan konflik di masyarakat. Jika politisi tidak mampu menyelesaikan konflik di internal partai sendiri, lalu apa yang akan kita harapkan dari politisi tersebut? Membawa konflik internal ke DPR juga mengerdilkan partai-partai yang berkonflik tersebut karena mereka tidak mampu menyelesaikannya sendiri dan berupaya membawanya ke ranah politik.

Dewan konflik elite

Apa yang terjadi di Partai Golkar dan PPP adalah konflik elite, bukan massa. Seharusnya para elite partai mampu menyelesaikannya sendiri. Para elite memang bagian dari oligarki partai.

Seperti juga pada tingkatan masyarakat ataupun negara, pada tingkatan organisasi partai memang ada dua kelas, yaitu kelas penguasa (the ruling class) dan kelas yang dikuasai (class that being ruled). Kelas penguasa partai terdiri atas para elite di dewan pimpinan pusat (DPP) dan sub-sub elite pada tingkatan dewan pimpinan daerah (DPD) serta jajaran di bawahnya. Para elite partai tersebut memiliki superioritas material, moral, pikiran, dan pengalaman jika dibandingkan dengan massa pendukung partai.

Apa yang terjadi di Partai Golkar dan PPP sesungguhnya pertarungan elite, antara elite penguasa partai yang lama dan elite penguasa partai yang baru. Elite lama tidak dapat menerima kenyataan bahwa sirkulasi elite dapat saja terjadi setiap saat dan mereka yang tadinya berkuasa bisa saja menjadi elite atau kelas yang tidak berkuasa. Kekerasan mereka untuk tidak mau menerima kenyataan itu disebabkan mereka masih merasa memiliki power yang lebih besar dan legitimasi yang lebih kuat dari arus bawah dan atas partainya. Namun, ternyata lawan politiknya justru mendapatkan legalitas hukum dari pemerintah melalui Menkum dan HAM Yasonna H Laoly. Ini yang menjadikan konflik di kedua partai itu tak kunjung usai. Walaupun penguasa baru di Golkar dan PPP berupaya mengakomodasi kepentingan politik para penguasa lama partai, dignity dan pride mereka terusik.

Hak angket tidak akan menyelesaikan konflik internal baik di tubuh Partai Golkar maupun PPP. Kedua kubu di dalam Partai Golkar dan PPP harus menyadari bahwa kalaupun mereka menang akan jadi arang, dan mereka yang kalah akan jadi abu. Artinya, Golkar dan PPP akan mengarah pada jurang kehancuran jika konflik ini tak kunjung usai. Tidak ada jalan lain bagi penyelesaian konflik internal mereka, kecuali menghadirkan kompromi politik dan kesadaran bahwa nasib partai jauh lebih penting daripada nasib para elite politik yang bersaing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar