Minggu, 05 April 2015

Ironi Kehidupan Lansia

Ironi Kehidupan Lansia

Razali Ritonga  ;  Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
MEDIA INDONESIA, 04 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

TERSERETNYA nenek Asyani, 63, dalam kasus hukum akibat dakwaan mencuri dua batang pohon jati milik PT Perhutani cukup memprihatinkan masyarakat. Keprihatinan itu bukan semata karena kasus hukum yang menimpanya, melainkan kasus itu juga merefleksikan kesulitan beliau dalam menyambung hidup.

Boleh jadi, munculnya sosok Asyani merupakan puncak gunung es yang merepresentasikan betapa rendahnya kesejahteraan penduduk lanjut usia (lansia) di Tanah Air. Padahal, bagi kebanyakan orang, masa tua kerap dipersepsikan sebagai periode untuk menikmati hidup. Namun, faktanya, tidak sedikit lansia yang terus bergulat untuk bertahan hidup. Sungguh ironis, memang.

Indonesia jauh tertinggal

Secara faktual, kondisi lansia di Tanah Air kini masih jauh dari sejahtera. Publikasi the Global Age Watch Index (2014), misalnya, menyebutkan peringkat kesejahteraan lansia Indonesia berada di urutan ke-71 dari 96 negara. Posisi Indonesia jauh tertinggal, misalnya, jika dibandingkan dengan Thailand (peringkat ke-36), Filipina (ke-44), dan Vietnam (ke-45).

Celakanya, meski pendapatan per kapita Indonesia termasuk menengah, kesejahteraan lansianya berada jauh di bawah jika dibandingkan dengan, misalnya, Bangladesh yang pendapatan per kapitanya jauh lebih rendah. Dengan pendapatan per kapita sebesar US$1.544 per tahun, Bangladesh mampu mencapai peringkat ke-59 dalam soal kesejahteraan lansianya. Adapun pendapatan per kapita di Indonesia sebesar US$4.071 per tahun.
Bahkan, bila dibandingkan dengan negara berpenduduk jauh lebih besar, Tiongkok dan India, tingkat kesejahteraan lansia di Indonesia berada di bawah kedua negara itu. Tiongkok berada di peringkat ke-48 dan India di peringkat ke-69 dari 96 negara.

Rendahnya derajat kesehatan dan minimnya jaminan hidup lansia, antara lain, yang menyebabkan rendahnya kesejahteraan lansia di Tanah Air. Publikasi the Global Age Watch Index (2014) menyebutkan lansia di Tanah Air masih memiliki harapan hidup 18 tahun lagi. Akan tetapi, dari 18 tahun itu, rata-rata hanya 14,3 tahun dalam kondisi sehat.

Sementara itu, dari sisi jaminan hidup, terdeteksi dari rendahnya cakupan pensiun yang hanya sebesar 8%, dan jaminan penghasilan sekitar 18%. Maka, tak mengherankan jika cukup banyak lansia yang terpaksa bekerja di usia tuanya, tetapi yang berkemampuan menghasilkan pendapatan hanya sekitar 35%.

Rendahnya kemampuan lansia di Tanah Air dalam memperoleh pendapatan menyebabkan tidak sedikit di antara mereka yang menjadi tanggungan anak dan keluarga. Padahal, lansia kerap memerlukan biaya besar untuk perawatan kesehatannya mengingat mereka rentan terkena penyakit seperti jantung, diabetes, dan kanker. Dalam kasus Asyani, misalnya, yang saat in masih dirawat di rumah sakit, membua keluarga kesulitan untuk membayar biaya selama pengobatan.

Bonus demografi kedua

Padahal, berasarkan pengalaman sejumlah negara yang kini mengalami penuaan penduduk, kehadiran lansia bukan merupakan beban, melainkan sebaliknya menjadi suatu berkah. Bertambahnya lansia ternyata mampu menghadirkan bonus demografi, yang kerap disebut bonus demografi kedua. Adapun bonus demografi pertama berasal dari pertambahan usia produktif (15-64 tahun).

Di Jepang, misalnya, lansia yang sekitar 33% tidak menjadi beban karena masih mampu berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi di negerinya. Selama 1980-2005, misalnya, dari pertumbuhan ekonomi aktual sebesar 1,72%, sekitar 1,21% di antaranya merupakan kontribusi lansia (Mason, 2005).

Bahkan, hasil studi Mason (2005) menunjukkan bonus demografi kedua di beberapa negara mampu berkontribusi lebih besar terhadap pertumbuhan ekonominya jika dibandingkan dengan kontribusi bonus demografi pertama. Di Asia Timur dan  Asia Tenggara, misalnya, kontribusi bonus demografi kedua terhadap pertumbuhan ekonomi selama 1970-2000 rata-rata sebesar 1,31% per tahun, sedangkan kontribusi , bonus demografi pertama terhadap pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya sebesar 0,59% per tahun.

Lebih jauh Mason (2006) menjelaskan kontribusi lansia terhadap pertumbuhan ekonomi, antara lain, melalui aset yang diperoleh sejak usia produktif, yang apabila diinvestasikan akan memberikan keun tungan bagi negara atau daerah tempat tinggal mereka. Bahkan, kontribusi lansia terhadap pertumbuhan ekonomi dapat berlipat ganda jika mereka masih produktif bekerja.

Maka, atas dasar itu, pemerintah perlu menyiapkan SDM berkualitas agar dapat bekerja dengan perolehan pendapatan yang layak dan bisa menabung untuk hari tuanya. Fakta rendahnya kesejahteraan lansia yang terjadi saat ini merupakan refleksi ketidakmampuan mereka dalam menghimpun aset pada usia produktif. 

Jelasnya, jika lansia di masa mudanya saja susah, bagaimana di usia tua mereka? Hal ini ditengarai bertalian dengan rendahnya kualitas sumber daya lansia sejak usia produktif sehingga tak mampu menghimpun aset secara memadai di hari tuanya.

Namun, untuk menebus kekurangsiapan meningkatkan SDM masa lalu sehingga menyebabkan rendahnya kesejahteraan saat ini, pemerintah barangkali perlu menyiapkan bantuan terhadap lansia. Penyiapan rumah tinggal bagi lansia dari keluarga tak mampu, misalnya, diperkirakan dapat meringankan beban hidup lansia.

Untuk ke depan, pemerintah perlu menyiapkan grand design pembangunan kependudukan yang lebih komprehensif, terutama akibat kian bertambahnya lansia di Tanah Air. Proyeksi Penduduk 2010-2035, misalnya, menunjukkan Indonesia akan mengalami penuaan penduduk (ageing population) pada 2020, dengan jumlah lansia (usia 60 tahun ke atas) sekitar 10%.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar