Minggu, 05 April 2015

Legalitas SK Menkum HAM dan Perombakan di DPR

Legalitas SK Menkum HAM dan Perombakan di DPR

W Riawan Tjandra  ;  FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta;
Alumnus Doktor Ilmu Hukum UGM
MEDIA INDONESIA, 02 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

KEPENGURUSAN Golkar yang dipimpin Agung Laksono sudah mendapat pengakuan dari pemerintah. Menkum dan HAM Yasonna Laoly sudah menerbitkan Surat Keputusan (SK) yang mengakui kepengurusan Agung Laksono. SK bernomor M.HH-01.AH.11.01 itu telah diterbitkan sejak Senin (23/03).Secara substantif, isi keputusan dari Menkum dan HAM RI pada intinya menegaskan pengesahan perubahan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, serta Komposisi dan Personalia DPP Partai Golkar tersebut menetapkan beberapa hal. Pertama, mengesahkan Permohonan Perubahan AD/ART, serta komposisi dan personalia DPP Partai Golkar dengan kedudukan kantor tetap di Jalan Anggrek Nelly Murni, Jakarta. Kedua, susunan kepengurusan tingkat pusat partai politik tersebut terlampir dalam keputusan ini. 

Ketiga, keputusan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Keempat, setelah berlakunya keputusan ini, susunan komposisi DPP Partai Golkar masa bakti 2009-2015 tidak berlaku lagi. Kelima, apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini, akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya.

Ditinjau dari teori hukum ad ministrasi negara terhadap keputusan Menkum dan HAM RI, perlu diberikan beberapa catatan berikut. Pertama, berlakunya sebuah keputusan tata usaha negara dari seorang pejabat tata usaha negara ditentukan oleh teori validitas dan teori opposabilitas. Berdasarkan teori validitas keberlakuannya suatu keputusan tata usaha negara sebagai suatu bentuk tindakan administrasi negara secara yuridis adalah sejak ditandatanganinya keputusan tersebut oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, sejak ditetapkannya SK Menkum dan HAM RI No. M.HH-01.AH.11.01 ialah sejak ditandatanganinya keputusan 23 Maret 2015.

Kedua, berdasarkan teori opposabilitas, berlakunya suatu keputusan tata usaha negara yang ditetapkan oleh pejabat tata usaha negara (baca: Menkum dan HAM) adalah sejak terbukanya hak perlawanan pascaditetapkannya keputusan itu menurut prosedur dan bentuk yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana telah diketahui oleh publik, pasca-penetapan SK Menkum dan HAM No. M.HH-01.AH.11.01 kubu Partai Golkar versi Aburizal Bakrie (ARB) yang sejatinya telah `kehilangan legalitas' kedudukannya secara formal sebagai pengurus Partai Golkar versi Munas Bali, telah menggunakan perlawanan dengan mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta.

Mengacu pada teori mengenai keberlakuan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) tersebut, maka pascapenetapan SK Menkum HAM No. M.HH-01.AH.11.01 sudah timbul akibat hukum berupa legalitas perubahan kepengurusan baru di tubuh Partai Golkar yang dipimpin oleh Agung Laksono. Oleh karena itu, sudah tepat tindakan KPU dalam mempersiapkan proses pilkada serentak 2015, untuk berpegang pada SK Menkum dan HAM dalam menentukan keikutsertaan Partai Golkar dalam proses pilkada yang direncanakan dilaksanakan pada Desember 2015.

Ditinjau dari teori hukum administrasi negara yang mengenal asas praduga keabsahan terhadap keputusan pejabat tata usaha negara, maka selama SK Menkum dan HAM No. M.HH-01.AH.11.01 tertanggal 23 Maret 2015 belum dibatalkan berlakunya oleh PTUN maupun dicabut sendiri oleh Menkum dan HAM berdasarkan asas contrarius actor similar fit (executive review), KTUN yang telah ditetapkan oleh Menkum dan HAM itu masih tetap sah berlaku dan harus dipatuhi oleh siapa pun yang terkait dengan keputusan tersebut.

Secara umum, setiap SK dianggap benar adanya dan dapat dijalankan sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa SK batal atau dinyatakan tidak sah. Di dalam hukum acara PTUN, ini dikenal dengan asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtsmatigeheid/ praesumptio iustae causa). Hal ini pun kemudian diadopsi oleh Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang (UU) 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan bahwa: “Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat“.

Gugatan ARB terhadap SK Menkum dan HAM ke PTUN Jakarta, secara teoretis maupun yuridis tidak menghalangi kepengurusan AL untuk merombak atau mengganti elitenya di DPR. Terkait dengan SK Menkum dan HAM belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan SK itu batal atau tidak sah.

Daya berlakunya SK ini tak ubahnya seperti UU. Sejelek apa pun produk DPR dan presiden tersebut, secara normatif, sebelum UU itu belum di-nyatakan oleh Mahkamah Konstitusi, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi berkekuatan hukum tetap, maka UU itu dianggap benar atau benar adanya. Itulah yang berlaku. Tentu saja, hal ini berbeda dengan putusan hakim (vonis). Terhadap putusan hakim baru bisa dieksekusi setelah ada putusan yang final dan berkekuatan hukum tetap, bukan semenjak diputuskan.Artinya, selagi ada proses hukum atau upaya hukum maka belum bisa dieksekusi.

Sehubungan dengan surat yang disampaikan oleh pengurus baru Partai Golkar yang dipimpin oleh Agung Laksono, sebagaimana sudah disahkan melalui SK Menkum HAM No. M.HH-01.AH.11.01 tertanggal 23 Maret 2015 kepada pimpinan DPR, seharusnya DPR tak boleh menolak dan mengesampingkan begitu saja permintaan perombakan kepengurusan fraksi Partai Golkar.

Hal itu disebabkan karena telah ditetapkannya kepengurusan baru Partai Golkar yang kini dipimpin oleh Agung Laksono merupakan hak dari pengurus baru Partai Golkar, untuk mengambil kebijakan perubahan struktur kepengurusan dari fraksi Partai Golkar di tubuh DPR, termasuk mengganti anggota DPR di tubuh DPR, sesuai dengan kebijakan pengurus Partai Golkar yang baru. Pasal 82 UU No 17/2014 tentang MPR. DPR, DPD, dan DPRD (MD3) pada intinya mengatur bahwa fraksi di tubuh DPR merupakan kepanjangan tangan dari Partai Politik.

Partai Politik memiliki kewenangan sepenuhnya untuk menentukan kebijakan terkait dengan kepengurusan maupun kebijakan politik yang diambil oleh fraksi. Pada posisi itu, jika ada permintaan perombakan struktur kepengurusan fraksi di tubuh DPR, posisi dari pimpinan hanya bersifat sekadar administratif. Tak boleh mencampuri kebijakan yang diambil oleh partai politik terkait fraksi yang dibentuknya di tubuh DPR.

Pimpinan DPR bisa dinilai melakukan perbuatan melawan hukum dan melanggar UU MD3 jika mengintervensi proses kebijakan partai politik terhadap fraksinya di tubuh DPR. Hak Partai Golkarlah untuk mengambil kebijakan terkait fraksi Partai Golkar di tubuh DPR. (Pimpinan) DPR tak boleh memperlihatkan sikap yang mengandung konflik kepentingan dalam mengambil sikap terkait dengan kebijakan Partai Golkar untuk melakukan perombakan fraksinya di tubuh DPR.

DPR harus bisa memberikan pembelajaran terhadap publik, untuk taat asas dan patuh terhadap UU yang berlaku yang notabene merupakan produk legislasi dari DPR sendiri bersama Presiden melalui proses pembentukan UU. DPR harus mengambil sikap yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa di saat kini harus mengambil sikap terkait dengan kebijakan pengurus Partai Golkar yang sah, untuk melakukan perombakan struktur kepengurusan fraksi Partai Golkar. DPR adalah wakil rakyat yang selayaknya bisa menjadi panutan bagi rakyat maupun konstituennya, bukan badut-badut politik yang berperilaku antagonis yang hanya bisa mempertontonkan huru-hara dan arogansi politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar