Minggu, 05 April 2015

Gubernur Ahok di Ujung Tanduk?

Gubernur Ahok di Ujung Tanduk?

Tjipta Lesmana  ;  Mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR
KORAN SINDO, 04 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Dalam hitungan hari, panitia hak angket Dewan Perwakilan Rakyat DKI Jakarta akan melaporkan hasil kerjanya ke sidang pleno DPRD DKI. Ada dua pertanyaan yang menarik sehubungan dengan selesainya kerja panitia hak angket.

Pertama, bagaimana kirakira sikap masing-masing fraksi di DPRD sehubungan dengan hasil kerja panitia hak angket? Kedua, bagaimana kira-kira sikap pleno DPRD DKI? Terhadap kedua pertanyaan ini, prediksi saya sebagai berikut: Pertama, melalui voting, panitia hak angket pasti akan sepakat mengeluarkan sikap bahwa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama telah melanggar undang-undang, yaitu menyerahkan RAPBD 2015 secara sepihak, tanpa persetujuan sama sekali dari Dewan.

Kecuali itu, Gubernur disalahkan karena melakukan pelanggaran etika, khususnya dalam berkomunikasi. Yang menentang angket sejauh ini adalah Fraksi Nasdem, PKB, Hanura, dan PAN. Jumlah kursi dari keempat fraksi tersebut hanya 23. Fraksi-fraksi besar adalah PDIP 28 kursi, Gerindra 15, PKS 11, dan Golkar 9. Mereka ujung tombak angket. Yang unik dan membuat saya tidak mengerti, Fraksi PDIP sejak awal mendukung penuh angket terhadap Gubernur.

Hal itu menunjukkan bahwa Basuki alias Ahok sudah kehilangan dukungan dari Ibu Megawati Soekarnoputri. Jadi, kalau main hitung-hitungan di atas kertas, kekuatan anti-angket dengan mudah digilas oleh kekuatan pendukung angket! Kedua, ketika hasil panitia hak angket dibawa ke Pleno Dewan, hampir dipastikan, mayoritas wakil-wakil rakyat DKI itu, dengan penuh emosi, berteriak meminta Dewan untuk meningkatkan status hak angket ke ”hak menyatakan pendapat”!

Seperti kita ketahui bersama, Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 menyatakan anggota DPR memiliki tiga hak pokok, yaitu hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Ketika sudah sampai pada hak pokok yang ketiga, hak menyatakan pendapat, presiden atau kepala daerah sesungguhnya sudah diseret ke ”pengadilan” yang disebut impeachment, atau pemakzulan.

Hanya, prosedur pemakzulan atas presiden berbeda dengan pemakzulan atas kepala daerah. Peradilan terhadap presiden ditempuh melalui putusan DPR RI untuk mengadili presiden karena dinilai telah melakukan pelanggaran terhadap sumpahnya, atau menyimpang dari ketentuan UUD 1945 atau melakukan tindak kejahatan. DPR kemudian menulis surat ke Mahkamah Konstitusi untuk dimintakan pendapatnya.

Jika MK memiliki sikap dan pendapat yang sama, DPR meminta MPR untuk menggelar Sidang Istimewa untuk memberhentikan presiden. Namun, jika MK berbeda pendapat dengan DPR mengenai tuduhan penyimpangan terhadap konstitusi maka proses pemakzulan pun berhenti. Di Sidang Istimewa, MPR tinggal ketuk palu, karena seluruh anggota DPR merangkap anggota MPR.

Jumlah anggota DPD di MPR tidak terlalu signifikan, Cuma 4x33 atau 132 anggota. Mengenai mekanisme pemberhentian kepala daerah, jika DPRD menerima pendapat mayoritas anggota Dewan untuk memberhentikan gubernur/ bupati maka DPRD menulis surat kepada Mahkamah Agung untuk dimintakan pendapat hukumnya (legal opinion).

Jika MA sependapat dengan DPRD, yaitu terjadi penyimpangan serius yang dilakukan oleh gubernur/ bupati, maka MA menulis surat kepada presiden, meminta presiden memberhentikan kepala daerah tersebut. Proses pemakzulan berhenti manakala MA berseberangan pendapatnya dengan pendapat DPRD. Permasalahannya: apakah presiden bisa memveto pendapat hukum MA?

Kalangan hukumpastiterbelahpendapatnya. Ada yang berpendapat presiden mau tidak mau harus mengikuti putusan MA. Namun, ada juga yang berpendapat presiden tetap memiliki hak untuk menolak, di samping menerima putusan MA. Presiden Indonesia, berdasarkan ketentuan UUD 1945, memang memiliki kewenangan legislatif dan yudikatif, di samping pemegang kewenangan tertinggi di bidang eksekutif.

Dengan demikian, nasib Ahok takkan segera ”tamat” kalau pun mayoritas anggota DPRD DKI serempak berteriak: ”Pecat Gubernur! Pecat Gubernur!”. Masih ada dua ”algojo” yang sangat berkuasa yang harus dilewati oleh Dewan, yaitu Mahkamah Agung dan Presiden Republik Indonesia. Di MA sendiri, proses peradilan terhadap gubernur Jakarta dipastikan akan memakan waktu cukup lama.

Kami sangat percaya bahwa para hakim agung memiliki integritas tinggi, di samping pengetahuan hukum yang dalam. Mereka takkan terbawa ”arus hura-hura” di DPRD Jakarta, juga takkan terseret dalam konflik sektarian antara Gubernur Ahok dan DPRD Jakarta. Kecuali itu, para hakim agung yang terhormat tentu akan mempelajari secara saksama apakah pelanggaran terhadap etika komunikasi yang dilakukan oleh Gubernur Ahok, kalau memang demikian, dapat dijadikan ”obyek perkara” untuk menjatuhkan sang Gubernur.

Kalau toh proses impeachment lolos di Mahkamah Agung, bagaimana dengan Presiden Jokowi, benteng terakhir dari seluruh proses impeachment? Di atas kertas, Presiden akan mati-matian mempertahankan Ahok. Semua orang sudah mengetahui bagaimana dekatnya hubungan duet Jokowi-Ahok, sejak mereka berkampanye bersama dalam pemilihan gubernur Jakarta tiga tahun yang lalu.

Namun, jika gonjang-ganjing politik, terutama di DPR RI, masih terus panas dan menggoyahkan kedudukan Presiden Jokowi, ceritanya akan berlainan. Jadi, bagaimana Presiden Jokowi bersikap manakala nasib Ahok akhirnya ”jatuh ke tangannya”, akan sangat ditentukan bagaimana posisi Jokowi dalam konstelasi politik nasional ketika itu.

Kebencian Anggota Dewan

Tidak sedikit kalangan yang berpendapat bahwa angket terhadap gubernur Jakarta lemah dan tidak rasional, hanya bermotifkan politis. Bahkan, ada pula tudingan bahwa angket itu semata-mata untuk menutupi ”muka buruk” wakil rakyat atau sebagai senjata untuk menolong sejumlah oknum anggota Dewan yang dicurigai terlibat dalam tindak korupsi terkait dengan isi RUU APBD 2015.

Tudingan-tudingan semacam itu bisa benar, bisa juga subjektif. Tapi menurut keyakinan saya, sentimen mendukung Angket di Dewan merupakan ekor dari akumulasi kekecewaan dan kemarahan mayoritas anggota Dewan terhadap perilaku (politik) Pak Gubernur. Di mana-mana, juga di depan para anggota panitia hak angket DPRD Jakarta, saya mengemukakan bahwa Ahok sesungguhnya pemimpin yang bagus, tegas, berani, pekerja keras, dan cepat mengambil keputusan.

Ia juga berani melawan arus, terutama ”arus jahat” yang memang sudah sangat fenomenal di Republik Indonesia selama ini. Hanya, komunikasi politik Ahok buruk, sangat buruk. Yang paling menyakitkan para anggota Dewan, ketika Ahok menyatakan kesiapannya membangun 106 sel tahanan untuk (menjebloskan) anggota Dewan!

Seakan-akan ia menuding seluruh wakil rakyat itu maling dan korup! Dilanda oleh amukan marah, maka praktik politik pun menjadi irasional. Sebagian besar anggota Dewan, lalu, sepakat, untuk menjatuhkan Ahok dari kursinya sebagai gubernur DKI. Rasional atau irasional, kalau sebagian besar yang empunya kuasa di Kebon Sirih sepakat untuk memakzulkan Gubernur, Anda mau bilang apa.

Tapi, sekali lagi, setelah angket lolos di DPRD Jakarta, proses menjatuhkan Ahok masih panjang dan alot. Para wakil rakyat masih harus bersabar menunggu keputusan Mahkamah Agung dan Presiden Indonesia, kalau lolos juga dari Mahkamah Agung. Sementara itu, kalau saja proses hukum di Bareskrim Polri terhadap para oknum pejabat terkait dengan tudingan korupsi di RAPBD DKI bergulir cepat, nasib angket selepas gedung DPRD DKI akan berubah pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar