Pertarungan
Kedua Ahok versus Anies
Adi Prayitno ;
Dosen
Politik FISIP UIN Jakarta;
Peneliti The Political Literacy
Institute
|
KORAN
SINDO, 16
Februari 2017
Pemungutan
suara pilkada serentak tahap kedua usai sudah. Secara umum, pesta demokrasi
lima tahunan yang diselenggarakan di 101 di seluruh Indonesia ini berjalan
damai dan demokratis. Selama tahapan kampanye dimulai, nyaris tak ada gejolak
politik yang berpotensi mengancam stabilitas pilkada.
Dari hasil
hitung cepat yang dirilis lembaga survei Pollmark Indonesia sudah mulai
terlihat siapa calon kepala daerah yang diprediksi menang dan kalah. Di
Jakarta misalnya, rara-rata lembaga survei ini merilis suara pasangan Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat mencapai 42,47%, pasangan
Anies Baswedan dan Sandiaga Uno 39,77%, serta Agus Harimurti Yudhoyono dan
Sylviana Murni meraup dukungan 17,96%. Itu artinya, pilkada DKI Jakarta
dipastikan berlangsung dua putaran karena tak ada pasangan calon yang
memperoleh dukungan lebih dari 50 % suara.
Data di atas
memastikan hanya pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi yang bakal berlaga di
putaran kedua. Klausul dua putaran untuk pilkada DKI Jakarta termaktub dalam
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan
Wakil Wali Kota. Dalam pasal 36 ayat 1 dan 2 disebutkan pasangan calon
Gubernur dan Wakil Gubernur di DKI Jakarta yang memperoleh suara lebih dari
50% langsung ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih. Namun,
jika tak ada satupun pasangan calon yang mendapat 50% suara, maka diadakan
pemilihan tahap kedua.
Tentu saja,
hasil hitung cepat lembaga survei di atas cukup mengejutkan terutama soal
perolehan suara Agus-Sylvi dan Anies-Sandi. Sebab, dalam survei dua bulan
terakhir, sedikit lembaga survei yang mengunggulkan pasangan Anies-Sandiaga
lolos putaran tahap kedua. Sementara Agus-Sylvi begitu digdaya merajai di
banyak survei.
Melejitnya
elektabilitas jagoan Gerindra dan PKS ini tidak terlepas dari hasil positif
dari debat kandidat yang diselenggarakan oleh KPUD Jakarta. Dalam tiga kali
debat, Anies terlihat tampil dominan, menguasai panggung, dan mampu mengemas
visi dan misinya dengan Bahasa sederhana yang mudah dicerna oleh khalayak.
Selain itu,
lolosnya pasangan calon nomor urut tiga ini tidak terlepas dari militansi dan
soliditas kader PKS dan Gerindra. Dua partai yang dikenal sebagai partai
‘pembunuh raksasa’ dalam banyak pilkada karena memiliki mesin politik cukup
solid yang mampu mengalahkan calon-calon kuat.
Pertarungan
Ahok-Djarot versus Anies-Sandi di putaran kedua tentunya akan membangkitkan
memori lama soal persaingan pilpres 2014. Sebab, kedua pasangan disokong
sosok yang menjadi aktor utama pilpres 2014 lalu seperti Prabowo Subianto,
Megawati Soekarnoputri, dan mungkin juga Joko Widodo (Jokowi). Dalam konteks
inilah, putaran kedua pilkada DKI Jakarta selalu memantik perhatian publik.
Laga ini akan menjadi ‘big match’ dan pertarungan hidup mati kedua pasangan
calon yang melibatkan tokoh-tokoh politik lawas tadi.
Migrasi Pemilih
Setelah
dipastikan tak lolos melaju ke putaran kedua, publik bertanya kira-kira ke
mana arah perpindahan dukungan Agus- Sylvi? Memang, sulit menerka secara
pasti migrasi pemilih pasangan nomor urut satu ini. Meski begitu, ada
sejumlah hal yang bisa dianalisa untuk memprediksi migrasi pendukung Agus-Sylvi.
Pertama,
pendukung Agus-Silvy kemungkinan beralih ke pasangan Anies-Sandi mengingat
sentimen pemilih kedua calon ini hampir sama. Yakni, pemilih Islam yang anti
Ahok atau asal bukan Ahok. Termasuk juga soal sentimen agama dan etnis
tertentu. Kedua, jika dilihat irisan partai penyokong, mungkin saja partai
penyokong Agus-Sylvi, terutama PAN, PKB, dan PPP bakal beralih ke Ahok
mengingat ketiga partai tersebut tergabung dalam koalisi pemerintah yang saat
ini menjadi motor utama pendukung Ahok- Djarot. Problemnya terletak pada
mayoritas konstituen partaipartai Islam ini yang sedari awal menolak Ahok
karena dianggap menista agama dan menghina ulama. Jika PAN, PKB, dan PPP
ngotot mendukung Ahok-Djarot, bukan hal mustahil jika mereka akan mengalami
kontroversi hati, semacam konflik batin dengan konstituennya.
Ketiga,
pendukung Agus-Sylvi ada kemungkinan memilih golput setelah jagoan mereka
keok tanpa diduga. Namun, peluang ini cukup minim mengingat pemilih
Agus-Sylvi rata-rata pemilih aktif yang sudah melek politik. Sebab itulah,
pemenang pilkada DKI pada putaran kedua adalah calon yang bias
mengkapitalisasi limpahan pendukung Agus-Sylvi. Jika dilihat suasana hatinya,
elite dan massa pendukung Agus-Sylvi lebih dekat ke Anies-Sandi. Apalagi,
belakangan Susilo Bambang Yudhonoyo (SBY) menjadi sasaran bully pendukung Ahok-Djarot makin
membuat pendukung Agus-Sylvi sulit beralih ke Ahok-Djarot.
Evaluasi Pilkada
Setidaknya ada
dua fenomena politik mencolok yang terjadi sepanjang gelaran pilkada serentak
tahap kedua yang dilaksanakan pada 15 Februari 2017. Pertama, politik uang (money politics). Praktik kotor ini
menjadi cacat bawaan elektoral saat ini yang dilakukan secara vulgar tanpa
tedeng aling-aling. Di berbagai daerah, distribusi uang tunai ini dilakukan
melalui perantara seperti tim sukses, kepada desa, tokoh masyarakat, pemimpin
kelompok pemuda, elit lokal, hingga penyelenggara pemilihan seperti petugas
KPPS.
Bawaslu
mencatat, sedikitnya ada 600 praktik politik uang yang terjadi dalam pilkada
serentak tahap kedua di berbagai wilayah. Modelnya cukup beragam, mulai dari
pemberian uang tunai langsung, pemberian berupa barang, hingga bantuan berupa
program. Tujuannya sama, yaitu mempengaruhi suara pemilih. Kedua, kampanye
hitam atau lebih dikenal dengan sebutan black
campaign. Secara sederhana, black campaign
didefinisikan sebagai kampanye kotor bertujuan mendistorsi (downgrade) kandidat lawan dengan
isu-isu negatif yang tak berdasar.
Dahulu,
kampanye hitam dilakukan secara oral, face to face melalui mulut ke mulut
setiap invididu masyarakat. Kini, praktik kampanye hitam lebih canggih dengan
menggunakan media elektronik dan jeraring media soal seperti facebook,
twitter, dan lain sebagainya. Dalam studi perilaku pemilih, mengutip frasa
Anthony Downs dalam An Economic Theory
of Democracy (1957) menyebutkan bahwa pilihan politik masyarakat tak
melulu ditentukan oleh seberapa banyak informasi yang dimiliki pemilih
tentang kandidat. Melainkan juga sangat terkait dengan sejauh mana kapasitas
masyarakat dalam mengolah informasi tersebut.
Di masa tenang
yang berlangsung dari 12 hingga 14 Februari lalu misalnya, panwaslu DKI
Jakarta misalnya menemukan selebaran gelap dengan jumlah cukup banyak di
kontrakan di bilangan Jakarta Barat untuk menyudutkan pasangan calon
tertentu. Ini menjadi penanda bahwa pilkada menjadi ajang kampanye jahat
untuk menjatuhkan lawan. Oleh karena itu, sebagai bagian proses pembelajaran
politik dan konsolidasi demokrasi di tingkat lokal, praktik politik kotor
seperti money politics, kampanye
jahat, berita hoax dan sejenisnya harus diamputasi.
Setidaknya hal
ini menjadi evaluasi pilkada serentak kali ini untuk bekal penyelenggaraan
pilkada tahap kedua di Jakarta maupun penyelenggaran pilkada serentak tahap
ketiga pada 2018 mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar