Penyiaran
Menjawab Tantangan Zaman
Sukamta ;
Anggota Komisi I DPR RI; Sekretaris Fraksi PKS
|
KORAN
SINDO, 18
Februari 2017
Dunia
penyiaran kita terus berubah seiring dengan berjalannya waktu. Dulu dunia
penyiaran kita identik dengan televisi dan radio yang digawangi TVRI dan RRI.
Dua lembaga inilah yang bisa dikatakan menjadi andalan negara untuk
menginformasikan hal-hal mengenai kenegaraan dan kebangsaan serta menjadi
sarana hiburan dan pendidikan bagi masyarakat. Bahkan kita masih ingat
bagaimana pada masa Orde Baru, TVRI dan RRI menjadi semacam alat penguasa
untuk mendiktekan agendanya kepada masyarakat.
Sampai
kemudian mulai 1989 hingga berlanjut pada 1990-an bermunculan
televisi-televisi swasta yang turut menjadikan dunia pertelevisian kita
semakin berwarna seperti RCTI, Indosiar, ANTV, TPI dan SCTV yang menjadi
alternatif hiburan bagi masyarakat.
Kemunculan
televisi-televisi swasta yang menjamur bak cendawan di musim penghujan itu
pada satu sisi menawarkan hal positif bagi masyarakat, yaitu variasi hiburan
yang lebih menarik. Namun, pada sisi lain, bagi TVRI bisa menjadi tantangan
tersendiri. Dengan variasi dan progresivitas siaran televisi- televisi
swasta, TVRI menjadi terancam eksistensinya.
TVRI bisa
ditinggal masyarakat karena para pemirsa beralih kepada televisi-televisi
swasta karena lebih menyuguhkan hiburan yang menarik. Lalu beriringan dengan
dimulainya era Reformasi, dunia penyiaran semakin menggeliat. Pada 2002
diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 32 tentang Penyiaran yang memberikan
arahan dan pedoman bagi penatalaksanaan penyiaran secara nasional.
Dengan pedoman
undang-undang tersebut, penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk
memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang
beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan
umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera,
serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.
Disahkannya
undang-undang penyiaran ini ditujukan untuk membuat dunia penyiaran menjadi
lebih baik sesuai dengan arah dan tujuan bangsa. Memang pada perjalanannya
tentu hal ini mendapat tantangan- tantangan tersendiri.
Tantangan Digitalisasi
Kemajuan
teknologi telah demikian pesatnya. Hal ini tentu juga merambah dunia
penyiaran yang sebelumnya hanya menggunakan teknologi analog saja yang kini
juga dapat dinikmati dalam format digital. Bahkan lebih jauh, penyiaran sudah
saling terkonvergensi.
Dengan adanya
teknologi informasi, internet, televisi, radio, dan media sosial sekarang
terhubung satu sama lain. Hal ini menjadikan pemirsa televisi dan pendengar
radio tidak diharuskan duduk di depan televisi atau radio untuk menikmati
siarannya, tetapi bisa menikmatinya kapan saja, bahkan di mana saja. Televisi
dan radio kini dapat dinikmati lewat media streaming.
Selama sinyal
internet terpenuhi, menonton televisi atau mendengarkan radio bisa dilakukan
lewat telepon seluler. Yang menjadi persoalan, undang-undang penyiaran yang
ada selama ini belum mencakup penyiaran digital ini. Padahal televisi digital
sudah menjamur dan rentan mengandung konten siaran yang tidak sesuai dengan
undang-undang penyiaran tadi.
Pemerintah
bersama DPR tidak memiliki landasan hukum untuk mengatur penyiaran digital
sehingga kita akan sulit untuk mewujudkan tujuan penyiaran seperti di atas.
Misalnya dalam praktik, KPI tidak bisa menegur siaran televisi di internet
yang dinilai melanggar undang-undang penyiaran karena cakupan pengawasan KPI
tidak mencakup internet. Bicara soal konvergensi media, Indonesia cukup
tertinggal.
Negara-negara
lain sudah menerapkan konvergensi media ini, sedangkan di Indonesia persoalan
digitalisasi saja belum selesai. Karena itulah diperlukan sebuah
undang-undang yang mampu menjawab tantangan ini. Undang-undang penyiaran yang
ada, yaitu UU Nomor 32/ 2002, perlu disesuaikan dengan kebutuhan untuk
menjawab tantangan zaman.
Revisi undang-
undang tersebut mutlak diperlukan dengan menggeser paradigma (shifting
paradigm) dari paradigma analog ke paradigma digital. Penyiaran dengan
paradigma digital tidak hanya mengatur soal migrasi penyiaran dari analog ke
digital, tetapi lebih dari itu, termasuk kegiatan memancarteruskan juga harus
masuk dalam konsep digitalisasi ini.
Jangan sampai
bicara soal digital, tetapi cuma proses migrasinya saja. Oleh karena itu
penulis mendorong agar aturan digitalisasi penyiaran ini bisa dibahas secara
komprehensif dan tuntas, dari hulu sampai ke hilir. Termasuk di antaranya
soal pengelolaan frekuensi digital yang membutuhkan sebuah lembaga pengelola
yang profesional, adil, dan netral.
Peleburan TVRI dan RRI
Lembaga
penyiaran publik di negara kita, yaitu TVRI dan RRI, masing-masing sudah
memainkan perannya dalam mewarnai dunia penyiaran di negara ini. Bahkan cukup
bernilai historis karena RRI dulu misalnya berfungsi secara strategis untuk
memperjuangkan kemerdekaan kita.
Tapi, sejauh
ini, sejalan dengan bertumbuhannya lembaga-lembaga penyiaran swasta baik
televisi maupun radio, TVRI seperti ketinggalan zaman. Pada era konvergensi
media seperti sekarang, sudah lumrah jika satu lembaga penyiaran saling
terhubung dalam bentuk televisi, radio, internet, dan media sosial.
Namun
alih-alih menerapkan konvergensi media, TVRI dan RRI sendiri belum berada
dalam satu rumah. Kita bisa memaklumi TVRI dan RRI berdiri sendiri-sendiri
karena masih menggunakan paradigma analog. Dengan kemajuan teknologi
informasi seperti sekarang, semestinya paradigma yang digunakan adalah
digitalisasi penyiaran yang sangat memungkinkan untuk meleburkan TVRI dan RRI
dalam satu lembaga penyiaran publik yang dikelola negara dan bertujuan
utamanya untuk kepentingan rakyat.
Peleburan
kelembagaan menjadi salah satu model penyelesaian dan antisipasi untuk 20
hingga 30 tahun ke depan dengan tetap mengingat kondisi riil yang ada. Wacana
peleburan antara RRI dan TVRI yang disebut dengan RTRI (Radio & Televisi
Republik Indonesia) ini hendaknya mencakup konsep kelembagaan, pengawasan,
pertanggungjawaban, anggaran, model bisnis serta pengelolaannya.
Peleburan TVRI
dan RRI menjadi RTRI ini akan membuat struktur lebih efektif dan efisien yang
akhirnya dapat memudahkan pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan lembaga.
Manajemen kelembagaan akan lebih lincah dan gesit yang dapat menghasilkan
kerja-kerja yang progresif, inovatif, dan tentunya menyegarkan.
Dari segi
pengawasan, peleburan juga akan menghasilkan mekanisme yang tidak terlalu
birokratis. Peleburan ini juga akan memudahkan konsep penyampaian
pertanggungjawaban. RTRI sebagai penyelenggara dapat langsung bertanggung
jawab kepada Presiden dan DPR.
Meski begitu,
peleburan jangan sampai mengabaikan beberapa hal yang harus diperhatikan,
misalnya soal kekhawatiran akan hilangnya sisi historis dari RRI dan TVRI
yang bahkan telah berjasa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan dahulu serta
men gokohkan pembangunan bangsa. Nilai historis seperti ini perlu tetap
dipertahankan tanpa mengorbankan kepentingan masa depan bangsa.
Tantangan RTRI
Sebagai
lembaga baru nantinya, RTRI menghadapi sejumlah tantangan. RTRI yang
meleburkan dua lembaga, TVRI dan RRI, tentu akan mempertemukan dua budaya dan
manajemen kelembagaan yang berbeda, terlebih yang satu dengan yang lain
berbeda objek kerjanya, televisi dengan radio.
Ini jelas
tidak mudah. Apalagi secara umum lembaga pemerintah pada masa sebelumnya
dikenal dengan organisasi yang birokratis dan bermental kurang inisiatif dan
inovatif. Dengan peleburan dan kemajuan teknologi digital, hal ini diharapkan
dapat memperbaiki budaya dan manajemen supaya lebih efektif dan efisien.
Tantangan RTRI berikutnya adalah soal konten siaran.
Seperti kita
ketahui program siaran TVRI setelah bermunculannya televisi-televisi swasta
menjadi kurang menarik bagi masyarakat. Para pemirsa lebih tertarik dengan
tayangan-tayangan yang disuguhkan oleh televisi swasta. Meskipun demikian,
beberapa tahun belakangan ini tayangan- tayangan di TVRI mulai berubah ke
arah lebih menarik dan tetap berkualitas, tetapi tetap belum mampu menyaingi
siaran-siaran televisi swasta.
Tentu ini
tetap menjadi tantangan RTRI untuk membenahi konten siaran supaya bisa
menjadi media andalan dalam memperoleh informasi dan hiburan. Hal ini wajib
dilakukan agar RTRI nantinya bisa bersaing, bahkan lebih baik daripada
lembagalembaga penyiaran sejenis di negara lain seperti BBC, NBC, Channel
News Asia, NHK, dan seterusnya.
Tantangan ini
harus dihadapi dengan serius kalau tidak mau tergulung dan kehilangan peran
serta relevansinya. Tantangan yang tak kalah penting adalah soal pendanaan.
Anggaran TVRI dari APBN-P untuk tahun 2016 sekitar Rp1.6 triliun dan RRI
sekitar Rp1 triliun.
RTRI harus
bisa tumbuh secara industri dengan model bisnis yang efisien dan lincah,
kreatif dan profesional supaya tidak semata-mata mengandalkan anggaran dari
APBN, iklan, dan sewa frekuensi. Perlu dipikirkan skema pendanaan RTRI ini.
Pendanaan di negara-negara lain mungkin bisa menjadi bahan masukan bagi RTRI
nantinya.
Televisi BBC
Inggris 100% sumber dana berasal dari masyarakat melalui licence fee. Lalu
televisi NHK Jepang menerima iuran dari masyarakat yang bisa mencapai Rp 60
triliun dalam 1 tahun. Adapun ABC Australia 100% mendapat dana dari APBN.
Ketiga stasiun televisi milik pemerintah tersebut sama sekali tidak
menayangkan iklan komersial.
RTRI bisa saja
tetap menayangkan iklan, tapi terbatas karena lembaga penyiaran publik tidak
mengutamakan profit. Jika tantangan-tantangan konvergensi, digitalisasi, dan
peleburan lembaga penyiaran publik tadi dapat dijawab dengan solusi dan
kebijakan yang tepat serta progresif, kita harapkan dunia penyiaran dapat
mewujudkan arah dan tujuan penyiaran itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar