Kecewa
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 17
Februari 2017
Mengapa
terjadi penyesalan dan kekecewaan? Karena tidak semua harapan, keinginan, dan
cita-cita tercapai. Padahal keinginan seseorang tak pernah mati, bahkan
tumbuh setiap hari. Makanya semakin banyak dan semakin besar keinginan,
semakin besar juga potensi untuk kecewa dan menyesal dalam hidup seseorang
mengingat tidak semua keinginan terwujud.
Meski tidak
persis, hidup memang ada unsur gambling. Untung-untungan. Adu nasib.
Sekalipun seseorang sudah berusaha, sebagaimana dalam permainan sepak bola
atau kompetisi pilkada, tidak jadi jaminan target kemenangan tercapai. Rumus
matematika itu tidak bisa diterapkan dalam kaidah kehidupan. Di sana banyak blind spot.
Kekecewaan dan
penyesalan jika dikelola dengan baik, secara rasional dan emosional, akan
menggumpal menjadi kekuatan dahsyat yang memotivasi seseorang untuk membuat
loncatan hidup (quantum leap). Kekecewaan
itu deposito mental sebagai pijakan meraih kesuksesan di masa depan. Berbagai
cerita sukses orang besar pasti dalam hidupnya pernah mengalami kekecewaan
yang amat dalam. Di antara mereka ada yang pernah tidak naik kelas karena
dianggap idiot dan bodoh oleh gurunya. Padahal gurunya saja yang salah, tidak
mampu melihat dan menggali bakat luar biasa yang terpendam. Ketika bakat itu
tersalur, dia tumbuh menjadi orang besar karena prestasinya di atas
rata-rata.
Makanya muncul
ungkapan klasik, kegagalan itu kesuksesan yang tertunda. Kegagalan dan
kekecewaan itu amunisi untuk membuat loncatan jauh ke depan. Kita boleh dan
wajar menyesal ketika kalah dalam sebuah kompetisi akbar, tetapi jangan
memenjarakan tekad untuk bangkit dan maju.
Kalau kita
membaca ulang perjalanan hidup yang pernah kita lewati, potret dan pelajaran
yang sangat menarik adalah sewaktu kecil belajar berdiri dan berjalan. Kita
semua pernah mengalaminya, tetapi kita lupa. Kendati demikian kita bisa
melihat potret diri lewat anak-anak kita yang masih kecil. Coba amati, berapa
kali anak kecil terjatuh ketika belajar berjalan dan berlari. Tapi anak kecil
selalu bangkit lagi dan lagi meskipun kaki lecet terbentur benda keras atau
badan jatuh karena kaki belum kuat menahan berat tubuh. Anak kecil tidak
putus asa dan tidak mengenal malu ketika jatuh. Kadang menangis sebentar,
lalu bangkit mencoba lagi sampai akhirnya bisa.
Mengapa anak
kecil cepat pandai ketika belajar bahasa? Karena tidak malu salah ketika
salah berucap. Semangat, spontanitas, dan kelugasan itu cenderung menghilang
ketika seseorang tumbuh dewasa atau menjadi orang tua. Makanya orang tua
sulit dan lama mempelajari bahasa asing, salah satu sebabnya karena
kehilangan spontanitas dan takut salah. Malu dan takut salah dalam belajar
itu suatu kesalahan besar. Sepanjang tidak menyalahi hukum agama dan etika
sosial, kita tidak perlu malu untuk selalu belajar.
Jangan takut
salah dan mengakui kesalahan. Jangan pelit minta maaf kepada teman. Orang
yang mau minta maaf dan berterima kasih itu menunjukkan kebesaran dan
ketulusan jiwanya. Seseorang tak akan jatuh harga dirinya karena minta maaf.
Sebaliknya justru akan mengundang respek orang lain.
Jika
diingat-ingat dan dihitung, berapa banyak kita mengalami kekecewaan hidup.
Mungkin terjadi dalam memilih pasangan hidup, dalam memilih pekerjaan, tempat
tinggal, mendidik anak, bisnis, pergaulan sosial, pilihan politik, dan
sebagainya.
Karena dalam
hidup dan kehidupan kekecewaan lebih menguras energi dan berkesan mendalam
ketimbang peristiwa kebahagiaan, muncul pandangan di kalangan filsuf bahwa
hidup ini tak lebih sebagai rangkaian derita dan kekecewaan. Rasa senang
hanyalah interval sesaat dari kekecewaan hidup yang lebih panjang dan
permanen. Life is a terrible joke. Hidup itu guyon yang mengerikan.
Hal-hal yang
menyenangkan cepat berlalu, bayangan derita dan kalah sudah menanti di hari
tua yang ditutup dengan kekalahan melawan kematian. Berbagai ayat kitab suci
juga memberikan isyarat bahwa dunia itu penuh tipuan dan keluh kesah. Makanya
sebagian penduduk bumi lalu lari ke agama mencari pegangan yang menghibur dan
menenangkan jiwa.
Tapi banyak
pula yang melihat panggung kehidupan adalah panggung persaingan dan
pertempuran. Sikap sadisme dan masokhisme telah melekat dalam diri manusia.
Sadisme memberikan rasa puas ketika bisa menaklukkan orang lain sampai tak
berdaya. Adapun masokhisme, semakin dirinya terluka semakin muncul semangat
dan gairah hidup. Dua-duanya menempatkan panggung kehidupan sebagai ajang
gladiator. To kill or to be killed.
Sekejam itukah realitas hidup? Tergantung pada siapa yang menjawab pertanyaan
ini.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar