J
Goenawan Mohamad ;
Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 18 Februari 2017
Kampanye
politik adalah kata, adalah gambar, adalah kata, dan selebihnya sinisme.
Namanya J. Ia
"konsultan politik". Ia dibayar mahal, meskipun ia enggan mengakui
itu. Berhari-hari ia akan merancang siasat untuk memenangkan tokoh yang
menyewanya dalam pemilihan. Ia akan merapat ke sang calon, memberinya
sejumlah ide untuk dikemukakan, mengajarinya menyusun kata dalam berdebat dan
pidato, menata bagaimana si tokoh harus tampil di televisi. "Di depan
kamera nanti, coba pasang wajah yang lembut. Coba menangis sedikit ketika
menyebut keadaan putra Anda."
Dan si
politikus menurut. Dan esoknya, dalam pol, angka elektabilitasnya naik.
Namanya J. Ia
memulai bisnisnya dengan mengenal betapa dahsyatnya kekuasaan: sesuatu yang
dapat menyebabkan seseorang sangat menginginkannya, hingga menggelikan, atau
menjijikkan, karena tak mengenal lagi rasa malu dan dalam 18 jam sehari
bersedia berpura-pura.
J tahu psikologi
orang ramai. Katanya kepada sang calon: "Orang-orang akan lupa apa yang
Anda katakan, tapi mereka ingat perasaan mereka ketika mendengar kata-kata
Anda." Dengan kata lain, emosi yang terbit yang menentukan, bukan isi
yang dicerna.
Dan ia
mengutip kata-kata Machiavelli. Atau Sun Tzu. Atau Muhammad Ali.
Tentu,
kalimat-kalimat yang pas diingat buat sebuah pertempuran. Di depan timnya,
saat persaingan mengeras dan kalah bukan mustahil, J berteriak: "Hei
bangun, ini perang! Dan hanya ada satu kesalahan di sini, hanya satu, yaitu
kalah!"
Namanya J. Ia
konsultan politik yang berapi-api. Ia tak segan-segan membahayakan nyawa
orang untuk menang, menang apa saja-misalnya berpacu di tepi jurang melawan
bus kampanye yang dinaiki lawan.
Karena ia
memimpin kampanye, ia pemegang komando. Pelan-pelan terasa, yang berkuasa
bukan sang calon.
Tentu saja
sang calon kadang-kadang tersinggung, karena ia yang punya uang, karena ia
tokoh.
Calon:
"Memangnya kamu yang nyewa aku?"
J: "Bukan
begitu...."
Calon:
"Aku yang nyewa kamu!"
J:
"Bukan.... Tak ada yang bisa menyewa saya. Kecuali kalau.... Ya, ya.
Secara teknis, ya, saya yang disewa."
Di sebuah
kesempatan lain, sang calon mengingatkan lagi: "Aku yang berkuasa. Kamu
ngerti enggak...? Aku bukan boneka yang bisa kamu mainkan."
J: "Anda
memang boneka! Anda memang boneka. Juga saya.... Kita ini cuma pion."
(Dari jauh,
dari tepi panggung yang tak terlihat, kita tak tahu siapa pemain catur
sebenarnya. Mungkin tak ada. Mungkin permainan catur itu dimainkan sebuah
energi yang dalam lakon Macbeth disebut sebagai "vaulting
ambition", "ambisi yang menjulang".)
Jadi apa
demokrasi sebenarnya? Di mata J, demokrasi adalah sebuah mekanisme seseorang
ke sebuah takhta dengan menggunakan dukungan orang banyak. Memang pernah
orang percaya bahwa demokrasi, dengan proses pemungutan suaranya, adalah cara
terbaik untuk mengetahui apa yang dikehendaki orang banyak ketika memilih
seorang gubernur atau presiden, orang yang akan bertugas sebagai manajer
perubahan.
Mungkin J dulu
juga percaya teori itu, tapi kini tidak lagi. Politik, baginya, menyiapkan kita untuk
kecele. "Mulai dengan janji-janji gede, dan ujungnya ternyata tahi
anjing...," kata J. "Jika pemungutan suara memang bisa mengubah
keadaan, tentunya pemilihan umum akan dilarang."
Para pembaca,
bukan saya yang mengarang dialog di atas. Saya hanya menerjemahkannya secara
bebas dari skenario Peter Straughan untuk film Our Brand Is Crisis yang
beredar dua tahun lalu. Dalam film itu, "J" adalah "Jane
Bodine", dimainkan Sandra Bullock.
Perempuan ini menyimpan
segumpal sinisme. Baginya politik tak ada hubungannya dengan moral dan nilai.
Ia tak percaya ada yang disebut "yang baik". Ia hanya percaya bahwa
politik, sebagai perang, harus siap brutal. Segala tipu daya harus dipakai:
tangis palsu, berita palsu, janji palsu. Jangan gentar jika akibatnya adalah
kaburnya mana yang patut dan tak patut, benar atau tak benar, adil atau tak
adil. Kata Jane: "Kalau mau menang, kau mesti ambil risiko."
Temannya
mengingatkan: "Jika kamu terlalu lama bersama setan alas, lama-lama kamu
sendiri jadi setan alas."
Setan alas tak
pernah bermaksud menyelamatkan sebuah negeri dengan politik. Setan alas hanya
menegaskan apa yang suram tapi nyata: dalam proses politik tak ada dialogic
democracy seperti dibayangkan Anthony Giddens. Tak ada ruang yang bisa
dihidupkan dengan dialog, yang memungkinkan adanya "mechanisms of active trust". Saling percaya tak ada
dan tak perlu ada.
Saya kira si
setan alas benar-sedikit. Di masyarakat seperti Indonesia, politik bisa merupakan
antagonisme. Tapi ada sesuatu dalam kehidupan manusia yang berubah, pelan
atau cepat, ketika bertemu dengan manusia lain: tidak hanya berubah dari
percakapan menjadi perang, tapi juga dari perang menjadi percakapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar