Sang
Guru
Trias Kuncahyono ;
Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 19 Februari 2017
Apakah daun
yang gugur dari pohon di musim salju merasa dikalahkan oleh hawa dingin?
Begitu tulis
Paulo Coelho, dalam novel Manuscrito Encotrado en Accra (Manuskrip yang
Ditemukan di Accra), mengutip perkataan Sang Guru ketika menjawab permintaan
Yakob: ”Ajari kami tentang kekalahan.”
Kata pohon
kepada daun, ”Demikianlah siklus kehidupan. Kaupikir dirimu akan mati, tetapi
nyatanya kau tetap hidup di dalamku. Berkat dirimu, aku bisa bernapas dan
hidup. Berkat dirimu pula aku merasa dicintai, sebab aku sanggup memberikan
naungan kepada pengelana yang kelelahan. Getahmu ada di dalam getahku; kita
berdua satu.”
Selain sebagai
organ pemasak dan penghasil makanan bagi pertumbuhan, daun juga memiliki
beberapa fungsi penting lain dalam menopang metabolisme tanaman. Fungsi daun
pada tanaman tersebut, antara lain sebagai pengambil zat-zat makanan
(resorbsi), penyimpanan makanan, pengolahan zat-zat makanan (asimilasi),
penguapan air (transpirasi), pernapasan (respirasi), induksi bunga, organ
untuk perbanyakan secara vegetatif, organ untuk perangkap serangga, dan untuk
menaikkan daun.
Jelaslah
dengan demikian, bahwa daun yang gugur lepas dari ranting, melayang-layang tak
berdaya dipermainkan angin, dan akhirnya jatuh menyentuh bumi, bukanlah
sebuah kekalahan. Ia telah berjuang keras, mengerahkan seluruh dayanya, demi
keberlangsungan hidup pohon. Pengorbanan dirinya tak kepalang tanggung, warna
diri yang semula hijau, berubah menjadi kuning, dan akhirnya kecoklatan.
Dalam siklus
alam, demikian kata Sang Guru, tak ada kemenangan maupun kekalahan: yang ada
hanyalah pergerakan. Musim dingin berjuang keras untuk mempertahankan
kekuasaannya. Akan tetapi, akhirnya harus tunduk pada musim semi yang datang.
Musim semi pun harus menghentikan keindahannya karena datangnya musim gugur,
yang akan segera digantikan musim dingin kembali.
Demikian pula
matahari. Ketika pagi hari ia terbit dari ufuk timur, dan sepanjang hari
memperlihatkan keperkasaan dan kekuasaannya, menumpahkan panasnya ke bumi,
pada saatnya harus tenggelam pula. Ketika senja telah tiba, ia harus
tenggelam ditelan bumi, dan kegelapan yang menggantikannya. Ada bulan dan
bintang tergantung di langit, tetapi mereka tidak juga mampu memberikan
terang yang sempurna pada bumi. Bahkan, sinar bulan, tak mampu menembus
lebatnya daun.
Itulah hukum
alam: ada awal, ada akhir. Ada pagi, ada sore. Ada siang, ada malam. Semua
berjalan sebagaimana waktunya, persis yang disampaikan oleh Sang Pengkhotbah.
Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya.
Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal; ada waktu untuk menanam,
ada waktu untuk mencabut yang ditanam; ada waktu untuk membunuh, ada waktu
untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; ada
waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap, ada
waktu untuk menari; ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk
mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari
memeluk; ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu
untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; ada waktu untuk merobek, ada waktu
untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara; ada
waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada
waktu untuk damai. Dan, ada waktu untuk berdiam diri!
Demikian pula
kekuasaan. Kekuasaan itu ada batasnya. Dalam negara demokrasi, jelas, ada
pembatasan kekuasaan. Secara sederhana demokrasi dapat dikatakan sebagai
bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat, kekuasaan warga negara atas negara untuk
dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu
pilar demokrasi adalah prinsip trias politica (tidak lepas dari buah pikiran
Baron Secondat de Montesquieu, 1689-1755, setelah membaca Magnum Opus—karya
besar—John Lock, 1632-1704, yakni Two Treatises of Government yang terbit
tahun 1690) yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif,
yudikatif, dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara
yang saling lepas dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain.
Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar
ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol
berdasarkan prinsip checks and balances.
Hanya saja,
ini yang kerap terjadi: pemegang kekuasaan cenderung lupa diri, lupa batasan,
dan yang lebih buruk adalah mabuk kekuasaan. Karena, kekuasaan memberikan
peluang bagi seseorang yang memegang kekuasaan untuk mendapatkan
segala-galanya dalam kehidupannya: kehormatan, status sosial, uang, dan juga
kenikmatan hidup. Mungkin karena begitu sentralnya kekuasaan dalam kehidupan
masyarakat, maka kekuasaan itu diburu dengan mengerahkan segala daya dan
upaya, segala nalar-budinya, dan kalau perlu menghalalkan segala cara.
Ingat yang
terjadi di Gambia. Yahya Jemmeh yang sudah berkuasa di negeri itu selama 22
tahun (1994-2017), lewat kudeta militer, menolak untuk turun meski kalah
dalam pemilu Januari 2017. Meskipun pada akhirnya Jemmeh turun, tetapi ini
memberikan gambaran betapa kekuasaan telah membuatnya lupa diri. Berbeda
dengan Hillary Clinton yang kalah dalam bertarung menghadapi Donald Trump, dengan
penuh kebesaran jiwa mengakui kekalahannya, dan bahkan bersama suaminya, Bill
Clinton, menghadiri upacara pelantikan Trump.
Hanya mereka
yang gagal mengenali kekuatannya sendiri (merasa dirinya besar, bahkan sangat
besar), akan berkata, ”Aku kalah,” dan diliputi kesedihan. Begitu kata Sang
Guru.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar