Sertifikasi
atau Ordonantie
Achmad Jainuri ;
Guru
Besar Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya; Wakil Ketua Pimpinan
Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
|
KORAN
SINDO, 17
Februari 2017
Dua kata judul
di atas apabila dirangkai menjadi kalimat tanya akan muncul pertanyaan
perbandingan: apa persamaan dan perbedaan sertifikasi dan ordonantie.
Persamaan
keduanya merupakan peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Sertifikasi
dikeluarkan pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan, sedangkan ordonantie oleh pemerintah Kolonial
Belanda. Yang pertama terkait dengan kepemilikan kualifikasi kompetensi yang
berimplikasi penghargaan bagi yang memiliki sertifikat. Oleh karena itu,
pemerintah berkepentingan memfasilitasi orang ataupun lembaga untuk
memperoleh sertifikasi ini dalam rangka menciptakan tenaga atau tindakan yang
profesional, seperti sertifikasi guru, dosen, halal, sampai sertifikasi
pengadaan barang dan jasa.
Sementara yang
kedua bermakna pada pembatasan dan kontrol terhadap pendapat dan prilaku yang
dinilai membahayakan masyarakat maupun negara. Pemerintah Kolonial Belanda
pernah memberlakukan Wilden Scholen
Ordonantie (Peraturan Sekolah Liar), Koeli
Ordonantie (Peraturan Buruh) untuk melindungi majikan (pemilik modal)
kalau terjadi sengketa dengan buruh, dan Ordonantie
mubalig untuk membatasi pengaruh mubalig yang dinilai menghasut rakyat untuk
melawan pemerintah Kolonial Belanda.
Pertanyaannya,
apakah Sertifikasi Khatib Jumat itu dimaksudkan untuk mencetak khatib Jumat
yang profesional dengan segala konsekuensi keprofesionalitasannya, atau
bentuk lain dari upaya rezim untuk membatasi dan mengontrol umat muslim.
Sebagian masyarakat mengkhawatirkan program ini merupakan bentuk lain dari
kontrol dan pembatasan terhadap kekuatan kritis yang ada di masyarakat,
utamanya umat muslim. Alasannya, karena sejak masa pemerintahan Kolonial
Belanda, kekuatan kritis yang dinilai sangat membahayakanpemerintah kolonial
adalah umat muslim.
Untuk
membatasi gerak mereka, pemerintah Kolonial mengeluarkan kebijakan yang
disebut ”Politik Islam Belanda”, yakni memberikan kebebasan terhadap praktik
beribadah umat muslim, namun tidak pada aspek yang berkaitan dengan politik.
Terhadap kecenderungan politik ini, pemerintah Kolonial melakukan kontrol
yang sangat ketat, terutama kepada para mubalig. Pernah suatu ketika seorang
mubalig, dalam ceramahnya, menyebut sebuah kitab ”sabilul Mursyidin,” yang
oleh aparat keamanan kata-kata itu dinilai mengajak perang sabil melawan
Belanda.
Oleh
Christiaan Snouck Hurgronje (pencetus politik Islam Belanda), peristiwa ini
dinilai berlebihan dalam menjalankan pengawasan karena ketidakpahaman aparat
terhadap ajaran Islam. Setelah masa kemerdekaan, kebijakan terhadap umat
muslim ini dilestarikan dalam ”Politik Islam Penguasa”. Pada masa Orde Lama,
program ini muncul dalam Nasakom (nasional, agama, dan komunis), yang
merangkul sebagian kelompok umat muslim ke dalam Nasakom, dan menyingkirkan
kelompok muslim lain yang dinilainya sebagai ”kepala batu”, karena tidak
mendukung program ini.
Di era Orde
Baru, pengebirian Politik Islam dilakukan dengan menghilangkan simbol-simbol
Islam, memperlemah kekuatan politik umat melalui labellabel negatif,
stereotipe bahwa umat muslim itu sangat berbahaya apabila berbicara tentang
politik kekuasaan. Rekayasa dan pelabelan dilakukan terhadap bahaya Islam,
seperti terus diungkitnya peristiwa DI TII sampai dengan munculnya peristiwa
Komando Jihad. Ada ketakutan yang berlebihan dari rezim Orde Baru terhadap
potensi Islam dan umat muslim sebagai kekuatan politik di Indonesia.
Dalam The New Yorkers yang terbit Mei 1988,
dua artikel secara berturut menyarankan para pelaku bisnis Amerika di
Indonesia. Jika mereka ingin berhasil disarankan untuk mendekati dua kekuatan
politik yang sama-sama berbaju ”hijau”. Yang pertama adalah Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan yang kedua adalah umat muslim;
keduanya dianggap sebagai the real
political power di Indonesia. Karena saat itu yang memegang kekuasaan
adalah ”hijau” yang pertama, kelompok inilah yang didekati.
Sementara
”hijau” yang kedua menjadi objek pelemahan karena potensi politik yang
dimilikinya, dan itu berlangsung hingga sekarang. Politically, umat muslim tidak pernah bisa menyatu menjadi sebuah
”kekuatan”. Mereka ini suka berselisih karena alasan kepentingan sesaat,
apalagi jika perselisihan dibungkus dengan ideologi. Pada era pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono, isu radikalisme dan terorisme dimanfaatkan untuk
memperlemah potensi politik umat muslim. Rezim penguasa ini juga pernah
mewacanakan sertifikasi ulama.
Namun, rencana
itu dibatalkan karena reaksi masyarakat luas menentang kebijakan yang dinilai
akan menjadi alat kontrol terhadap ulama. Sertifikasi ini juga ditengarai
untuk membatasi gerak dan pendapat para ulama atas kebebasan berpendapat yang
selama ini dinikmatinya. Di antara alasan rezim penguasa merencanakan program
itu adalah karena kebijakan yang sama juga dilaksanakan di beberapa negara
muslim, seperti Malaysia dan Arab Saudi. Namun, pemerintah lupa bahwa di dua
negara yang dimaksud agama masuk dalam struktur negara, artinya ada paham
resmi agama yang dianut oleh negara.
Di Indonesia
tidak dikenal paham resmi negara, negara menjunjung tinggi pluralisme total.
Karena itu, negara tidak ikut campur urusan ibadah umat beragama. Jika ada
pembatasan-pembatasan terhadap praktik keagamaan formal, tidak hanya
bertentangan dengan Bhineka Tunggal Eka, tetapi juga dinilai sebagai
melestarikan politik pelemahan terhadap umat beragama dari pemerintah. Atas dasar
pengalaman diatas itulah beberapa kalangan yang tidak setuju merasa khawatir
praktik sertifikasi mubalig itu akan mengarah pada pembatasan dan kontrol
terhadap Islam dan umat muslim.
Indikasi
kekhawatiran ini didukung oleh gencarnya rezim penguasa mengooptasi semua
kekuatan untuk mendukung misi pemerintah. Merangkul kelompok tertentu dan
mengabaikan kelompok yang lain, membatasi gerak suatu kelompok untuk
menyuarakan aspirasi (411 dan 212), dan memberikan kelonggaran kelompok lain
dalam melakukan hal serupa (412).
Kalau alasan
diwacanakannya kebijakan ini karena tengara adanya indikasi khatib lupa
menyampaikan nasihat yang semestinya (menteri agama), bertentangan dengan
budaya setempat dan membawa budaya lain (dirjen Bimas Islam), maka
sesungguhnya masyarakat sudah memiliki filter dengan tidak mengundang mubalig
seperti ini di tempat masing-masing.
Mubalig yang
seperti ini termasuk yang menjadi sasaran pembinaan Kementerian Agama,
sebagai fasilitator, melalui penataran dan sejenisnya untuk menjadi lebih
profesional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar