Ketua
MK Dipanggil KPK
Moh Mahfud MD ;
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara
dan
Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN
SINDO, 18
Februari 2017
Salah satu
berita penting yang menyebar luas sehari setelah pilkada serentak, 16
Februari 2017 adalah berita, “Ketua MK Dipanggil KPK” terkait kasus Patrialis
Akbar. Sontak, pemanggilan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) tersebut memancing banyak komentar terutama di media sosial.
Sangat banyak netizen yang bukan hanya memberi mention, tetapi juga bertanya
langsung ke alamat akun saya terkait dengan pemanggilan ketua MK tersebut.
Pertanyaannya
beraneka ragam, tetapi sangat banyak yang menyatakan dan menanyakan
kemungkinan Ketua MK Arief Hidayat terlibat dalam kasus korupsi penyuapan
yang menimpa Patrialis Akbar. “Untuk apa dipanggil KPK kalau tidak terlibat?
Vonis MK itu dibuat secara kolektif di antara para hakim, tak mungkin
Patrialis bekerja sendiri, pasti memengaruhi hakim-hakim lain agar membuat
vonis sesuai dengan keinginan Patrialis.
Lihatlah,
hakim-hakim MK lainnya juga sudah dipanggil oleh KPK”. Demikian celotehan-
celotehan netizen. Di kalangan masyarakat masih banyak kesalahpahaman atas
istilahistilah standar di dalam hukum, sehingga kalau ada berita “dipanggil”
oleh KPK, kemudian dianggap terlibat dalam satu kasus.
Padahal orang
yang dipanggil ke KPK itu kemungkinannya ada dua yakni “diperiksa” atau
“dimintai keterangan”. Meskipun secara teknis sama, kedua istilah terbut
mempunyai latar belakang dan tujuan yang berbeda. Orang yang diperiksa
biasanya didasarkan pada dugaan keterlibatan dalam kasus yang sedang
ditangani oleh KPK, misalnya, diduga ikut serta melakukan, mendapat bagian,
membiarkan suatu kejahatan..
Sementara
orang yang dimintai keterangan biasanya hanya terkait dengan kelengkapan
informasi yang dibutuhkan penyidik sesuai dengan posisi dan pengetahuan orang
yang dimintai keterangan. Dalam hal pemanggilan Ketua MK Arief Hidayat oleh
KPK tampak jelas bahwa yang bersangkutan dipanggil hanya untuk dimintai
keterangan terkait dengan jabatannya.
Dia bukan
diperiksa, tetapi dimintai keterangan. Dalam kasus Akil Mochtar saya pun
pernah dipanggil oleh KPK untuk dimintai keterangan tetapi bukan diperiksa.
Yang ditanyakan oleh KPK hanyalah apa kenal dengan tersangka, bagaimana cara
pembagian tugas penanganan perkara, cara pengambilan putusan, siapa saja yang
ikut dalam rapat permusyawaratan hakim, siapa yang membuat draf vonis serta
bagaimana menyimpannya, dan sebagainya.
Di
tengah-tengah masyarakat kerap muncul gosip yang berlebihan, kalau dipanggil
KPK lantas diisukan terlibat korupsi. Ketika saya dimintai keterangan oleh
KPK dalam kasus Akil Mochtar muncul semacam gosip. “Loh, kok Pak Mahfud
selesai hanya 30 menit, sedangkan yang lain kalau diperiksa bisa lebih dari 7
jam? Janganjangan ini ada permainan,” demikian gosip yang ditiupkan.
Ya, iyalah,
saya kan hanya ditanya cara menentukan penanganan perkara, cara memimpin
sidang-sidang, dan cara menjaga kerahasiaan keputusan Rapat Permusyawaratan
Hakim. Untuk apa berlama-lama? 30 menit itu pun sudah termasuk waktu
mengoreksi hasil pengetikan berita acara oleh penyidik.
Saya juga
pernah datang ke KPK atas inisiatif sendiri untuk minta diperiksa dalam satu
isu, tetapi KPK menolak memeriksa saya karena kasus yang diisukan itu tidak
pernah ada. Sebaliknya, saya pernah juga didatangi oleh petugas KPK ke kantor
untuk dimintai keterangan terkait dengan kasus Nazaruddin yang pernah
menghebohkan itu. Pemberitaan tentang hukum kerap menjadi runyam karena
banyak wartawan yang ditugaskan di lembaga- lembaga penegak hukum tidak paham
istilah-istilah standar dalam hukum.
Mereka,
misalnya, tak paham perbedaan antara ditolak dan tidak dapat diterima, antara
batal dan dibatalkan, diterima dan dikabulkan, dan sebagainya. Terkait kasus
Patrialis Akbar (PA), ada juga yang menyebarkan isu bahwa PA pasti tidak
bermain sendirian, tetapi pasti bekerja sama dengan hakimhakim lain sehingga
vonis MK bisa terjadi karena pengaruh PA terhadap hakim-hakim lain.
Ini pun
merupakan kesimpulan yang tidak serta-merta benar, bahkan lebih cenderung
salah. Memang benar putusan MK dibuat secara kolektif, tetapi sangat mungkin,
dalam kasus PA, hakim-hakim tidak ada yang dipengaruhi secara kolutif. Ada
beberapa kemungkinan dalam hal ini.
Pertama,
putusan kolektif sudah disepakati dan PA (tanpa mengajak hakimhakim lain)
“menjualnya” kepada yang berkepentingan. Ini mungkin terjadi sebab setelah
ada kesepakatan di antara para hakim dalam Rapat Permusyawaratan Hakim vonis
tidak langsung dibacakan, tetapi juga harus dibuat draf dulu dan setelah itu
dikoreksi oleh para hakim bersama-sama melalui beberapa kali sidang yang bisa
makan waktu sampai satu bulan.
Kedua, setelah
draf putusan jadi, yang bersangkutan menjual kasus dengan cara mengambil copy
dan menunjukkan kepada yang berkepentingan untuk menyuap. Yang kedua ini
dikenal dengan teori menembak dari atas kuda. Mungkin juga yang bersangkutan
memang memengaruhi hakim-hakim lain, tetapi tidak dalam konteks kolusi
melainkan dalam konteks adu pendapat di antara para hakim.
Dalam hal ini,
yang bersangkutan berhasil meyakinkan secara logis karena perkara yang
ditangani memang gampang ditebak arah putusannya dan para hakim memang
menggunakan logika dan argumen yang sama. Ketiga, memang, secara teoretis,
ada juga kemungkinan PA memengaruhi hakim lain secara kolutif melalui
pendekatan- pendekatan personal dan penyuapan.
Namun, hal ini
sangatlah kecil kemungkinannya jika dilihat dari fakta-fakta yang sudah
ditunjukkan oleh KPK. Untuk kasus PA ini, berdasar fakta-fakta yang sudah
ditunjukkan oleh KPK lebih mungkin modus operandi adalah yang pertama dan
kedua. Kita tunggu saja! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar