Tak
Berhentikan Ahok, Presiden Melanggar Hukum?
Ikhsan Abdullah ;
Praktisi
Hukum
pada Kantor Law Firm H Ikhsan
Abdullah&Partners
|
KORAN
SINDO, 15
Februari 2017
Presiden
Jokowi sedang mempertontonkan pembangkangannya kepada hukum. Sabtu (11/2)
lalu Basuki Tjahja Purnama (Ahok) telah aktif kembali sebagai gubernur DKI
Jakarta setelah kurang lebih 3,5 bulan menjalani masa cuti.
Sesuai
ketentuan UU Pilkada, Ahok sebagai gubernur petahana harus cuti bila
mengikuti pencalonan kembali sebagai calon gubernur. Namun sesuai ketentuan
UU Pemerintah Daerah, gubernur dalam status terdakwa dan diancam hukuman lima
tahun atau lebih maka harus diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai
gubernur. Hal itu diatur sangat jelas dalam Pasal 83 ayat 1 dan 2.
Namun pada
pelaksanaannya, presiden tidak mengindahkan ketentuan undang-undang tersebut
yang seharusnya dijalankan dengan semestinya, sehingga hukum dapat ditegakkan
dengan adil dan berkepastian. Sesuai prinsip equality before the law sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 UUD
45, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan
pemerintahan. Inilah yang harus dilaksanakan oleh Jokowi sebagai presiden RI.
Dengan tidak
melaksanakan kewajibannya menegakkan konstitusi negara, Jokowi bukan saja
melanggar konstitusi RI, yakni UUD 45, namun sekaligus juga sedang
mempertontonkan pembangkangannya terhadap hukum dan prinsip antidiskriminasi.
Persoalan pemberhentian kepala daerah adalah ruang lingkup hukum tata negara,
hukum administrasi negara, dan hukum pidana. Perangkat hukum yang dijadikan
acuan berdasarkan pada ketentuan UUD 1945 dan ketentuan perundang- undangan
yang berlaku.
Hal ini
sebagai konsekuensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang
berdasarkan atas hukum (rechts staat)
dan bukan negara atas dasar kekuasaan (macht
staat). Pemberhentian Ahok sebagai kepala daerah, murni harus dilakukan
berdasarkan pada ketentuan undangundang. Inilah konsekuensi dari pilihan
negara hukum dan bukan atas dasar kekuasaan. Itu bunyi Penjelasan UUD 1945.
Terjadinya intervensi politik terhadap hukum dalam kasus Ahok yang aktif
kembali sebagai gubernur, men-down
grade kedudukan negara hukum dan berpotensi menyebabkan kegaduhan
masyarakat yang berujung pada keadaan masyarakat yang tidak stabil dan dapat
bereskalasi luas sehingga situasi menjadi tidak stabil (instabilitas)
nasional.
Setidaknya
terdapat tiga ketentuan hukum terkait dalam kasus aktifnya kembali Ahok
sebagai gubernur definitif yaitu; (1) UU Nomor 10/ 2016 tentang pemilihan
gubernur, bupati dan walikota, (2) UU Nomor 23/ 2014 tentang pemerintahan
daerah, dan (3), Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) berkaitan dengan
pemilihan kepala daerah.
Aktifnya
kembali Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta secara definitif, menimbulkan
persoalan hukum yang amat kompleks dan mencip-takan kegaduhan baru dari sisi
hukum dan politik, maka DPR harus segera melaksanakan fungsi kontrolnya atas
pelanggaran serius yang dilakukan oleh mendagridanpresidenterhadapketentuan
UU tersebut, agar jangan sampai masyarakat akan melakukan ikhtiar
sendiri-sendiri untuk menegakkan hukum dengan caranya sendiri (anarkis).
Tentu saja hal
itu sesuatu yang harus dihindari. Jalan terbaik tentu harus membawa persoalan
ini ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji. Ada baiknya kita cek kembali UU
Pemilihan Kepala Daerah, yakni UU Nomor 23/2014. Pasal 83 ayat 1 yang
menegaskan bahwa ”Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan
sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa telah melakukan tindak
pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun,
tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap
keamanan negara, dan atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.”
Pada pasal ini
pula dalam ayat (3) mengatur kewajiban hukum Presiden untuk memberhentikan
gubernur Ahok sebagai kepala daerah DKI Jakarta. Pasal tersebut sebagai
landasan konstitusional untuk dijalankan oleh presiden dan seluruh
kementriannya dan aparatur penegak hukumnya tanpa kecuali. Pemberhentian ini
sudah ditegaskan oleh UU Pemda sebagai pemberhentian sementara, bukan
definitif (pemberhentian tetap). Pemberhentian tetap oleh Presiden sesuai
ayat 4 pasal 83 hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap (inkragh van
gewijsde).
Sebagaimana
kita ketahui, pasal 83 tidak menyebut dan tidak mensyaratkan adanya ”tuntutan
jaksa penuntut umum” melainkan ”kejahatan yang diancam dengan pidana penjara
paling singkat lima tahun, sehingga pemberhentian sementara adalah menjadi
keharusan dan merupakan hal yang lazim sebagaimana status terdakwa pada
jabatan publik lainnya yang pernah diberhentikan sementara, seperti pada kasus
bupati Bogor, gubernur Sumatera Utara, gubernur Banten.
Sama sekali
tidak terkait menunggu tuntutan jaksa penuntut umum sebagai dasar
pemberhentian sementara, karena UU sama sekali tidak mensyaratkan perihal
tersebut. Pasal 83 ayat 1-5 sudah menyebutkan secara nyata atau sangat jelas
tentang unsur-unsur norma hukum pemberhentian seorang kepala daerah. Maka
dengan tidak dilakukannya pemberhentian sementara Ahok sebagai gubernur oleh
Presiden, dapat dimaknai rakyat sebagai sikap politik seorang presiden untuk
menyelamatkan Ahok.
Maka amat
jelas Presiden telah melakukan intervensi politik terhadap hukum, yang dapat
mendorong bagi terjadinya suatu keguncangan sosial yang berkelanjutan. Dari
perspektif hukum administrasi, langkah Presiden tidak memberhentikan
sementara Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta merupakan tindakan
malaadministrasi. Hal ini dapat dilihat dari perspektif UU Ombudsman dan UU
Pelayanan Publik.
Status
terdakwa sebagai pejabat publik tentu akan memengaruhi situasi pelayanan
publik yang dijalankan oleh pejabat tersebut, yang sehari-hari tentu disibukkan
dengan proses hukum yang harus dijalaninya di pengadilan. Di samping
keabsahan tindakannya bertalitemali dengan keabsahannya secara hukum
administrasi, baik berkaitan dengan produk keputusannya maupun tindakannya
yang sangat rawan untuk dipersoalkan keabsahannya (delegitimasi).
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, pelaksanaan pemberhentian gubernur merupakan
kewajiban konstitusional Presiden untuk melaksanakan Pasal 83 UU Nomor
23/2014. Pasal tersebut adalah ketentuan imperatif (bukan fakultatif), karena
tidak ada frase kata dapat di dalam teks pasal tersebut. Ketentuan normatif
itu mengharuskan presiden untuk melaksanakan ketentuan pasal tersebut secara
tegas tanpa diskriminasi. Tindakan mengabaikan hukum merupakan pembangkangan
kekuasaan Presiden atas UUD 1945 yang dapat merusak tatanan hukum dan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Presiden
adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang harus menjalankan hukum
berasas keadilan dan kepastian dan tidak diskriminatif serta tunduk kepada
UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Presiden wajib melaksanakan dan
menjunjung tinggi hukum dan UU. Apabila presiden melanggar hukum atau
memberlakukan hukum secara diskriminatif, tindakan tersebut merupakan
pelanggaran sumpah jabatan dan berakibat sangat serius bagi rusaknya tatanan
hukum dan munculnya disharmoni sosial dan social
distrust (ketidakpercayaan) masyarakat.
Dan, inilah
titik dan benih kerawanan sosial yang semestinya disadari dan dihindari oleh
Bapak Jokowi sebagai seorang presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar