Rabu, 01 Februari 2017

Efek Debat dan Rasionalitas Pemilih Jakarta

Efek Debat dan Rasionalitas Pemilih Jakarta
Burhanuddin Muhtadi  ;  Dosen FISIP Universitas Islam Negeri Jakarta;
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia
                                            MEDIA INDONESIA, 30 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SETELAH warga Jakarta dibingungkan oleh hasil beberapa lembaga survei yang menghasilkan prediksi yang berbeda-beda, tiga survei terakhir yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia, Populi, dan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menghasilkan kesimpulan seragam: elektabilitas Basuki T Purnama alias Ahok mulai menanjak kembali dan melemahnya tren elektabilitas Agus Harimurti Yudhoyono. Survei Indikator pada 12-20 Januari 2017, misalnya, menunjukkan tren elektabilitas Ahok-Djarot meningkat secara signifikan pada dua bulan terakhir.

Pada November 2016, elektabilitas petahana ini terpuruk pascakontroversi Surah Al-Maidah. Tak perlu waktu terlalu lama untuk kembali memuncaki tangga survei dengan perolehan 38,2% jauh meninggalkan pesaing-pesaingnya. Meski masih jauh mencapai magic number 50% plus satu sebagai syarat memenangkan dalam satu putaran, tren pulihnya elektabilitas Ahok-Djarot menyiratkan fenomena menarik.

Perilaku pemilih

Apa yang menjelaskan kenaikan elektabilitas Ahok-Djarot? Mengapa elektabilitas Agus-Sylvi cenderung melemah?

Dengan menggunakan metode stratified multistage random sampling, margin of error sebesar 3,8% pada tingkat kepercayaan 95% (dengan asumsi simple random sampling), survei Indikator yang dilakukan dengan tatap muka ini menguji faktor-faktor yang dianggap menjelaskan elektabilitas calon jika pilgub Jakarta dilakukan pada saat survei dilakukan.

Secara teoretis, banyak faktor yang menjelaskan elektabilitas terhadap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, di antaranya model sosiologis, psikologis, dan rational choice atau pilihan rasional. Inti dari model sosiologis adalah kesamaan karakteristik sosial menentukan pilihan politik. Variabel sosiologis yang diyakini sebagai prediktor ialah agama, etnik, usia, gender, pendidikan dan pendapatan (Lazarsfeld, Berelson, & Gaudet, 1944; Berelson, Lazarsfeld, & McPhee, 1954).

Kemudian bagi model psikologis, preferensi politik tidak ditentukan oleh variabel sosiologis demografis, tapi oleh faktor-faktor psikologis. Ukurannya ialah kedekatan dengan partai pengusung kandidat. Model sosiologis dan psikologis mengandaikan isu atau program dalam kampanye bukan sebagai variabel penting.

Sebaliknya, model pilihan rasional menilai penting apakah calon dianggap punya program atau isu-isu teknokratik dalam menjelaskan elektabilitas calon. Ukurannya ialah retrospeksi egosentrik dan sosiotropik. Kepuasan terhadap kinerja petahana menjadi dasar reward and punishment (Downs, 1957; Ferejohn, 1986; Fiorina, 1981).

Elektabilitas calon juga bisa ditentukan oleh kualitas personal calon seperti persepsi pemilih apakah calon jujur/bersih dari korupsi, mampu memimpin, perhatian terhadap rakyat, ramah dan santun, tegas dan berwibawa, pintar atau berwawasan dan berpenampilan menarik (Bean & Mughan, 1989; Liddle & Mujani, 2007; Miller & Shanks, 1996).

Selain faktor-faktor di atas, ada dua peristiwa penting yang dipercaya punya pengaruh terhadap elektabilitas calon di pilkada DKI Jakarta: (1) kontroversi Al-Maidah; dan (2) Debat calon gubernur dan wakil gubernur yang diselenggarakan oleh KPU dan disiarkan langsung oleh media televisi.

Efek debat dan rasionalitas pemilih

Dalam survei ini, karakter demografis dan sosial-ekonomi responden digunakan untuk melihat efek sosiologis dalam memengaruhi pilihan warga terhadap pasangan calon. Model psikologis diukur melalui seberapa dekat pemilih Jakarta terhadap partai. Survei menunjukkan hanya 7,8% pemilih Jakarta yang merasa dekat dengan partai.

Dalam analisis regresi logistik multinomial dengan menjadikan elektabilitas Ahok-Djarot sebagai reference category, model psikologis ini diturunkan dalam bentuk kedekatan terhadap partai-partai pengusung Ahok-Djarot dan efeknya terhadap elektabilitas Agus-Sylvi dan Anies-Sandi.

Model pilihan rasional diukur melalui dua variabel, yakni evaluasi retrospektif warga bahwa ekonomi membaik atau memburuk dan sejauh mana kinerja Ahok sebagai petahana dinilai memuaskan atau tidak oleh publik. Dimensi kualitas personal dinilai dari persepsi pemilih terhadap gabungan citra personal ketiga calon gubernur.

Sementara efek debat dinilai dari ketiga pasangan, mana yang dianggap unggul dalam debat pertama yang diselenggarakan KPU pada 13 Januari 2017. Analisis hanya dilakukan pada responden yang diwawancarai setelah debat.

Terakhir, variabel isu Al-Maidah diukur seberapa banyak pemilih yang menilai ucapan Ahok menista agama. Analisis regresi multinomial pada Tabel 1 menunjukkan bahwa evaluasi pemilih atas kinerja Ahok dan performa Ahok dalam debat cagub berpengaruh signifikan terhadap keputusan memilih calon gubernur-wakil gubernur. Bila kinerja Ahok memuaskan, pemilih cenderung memilih Ahok-Djarot ketimbang Agus-Sylvi dan Anies-Sandi. Begitu juga sebaliknya. Bila Ahok dinilai paling bagus dalam debat, pemilih cenderung memilih Ahok-Djarot ketimbang Agus-Sylvi dan Anies-Sandi. Begitu juga sebaliknya. Citra personal Ahok dan isu Al-Maidah juga berpengaruh signifikan, baik dibanding Agus-Sylvi maupun Anies-Sandi.

Faktor gender dan pendidikan berpengaruh signifikan jika dibandingkan dengan Agus-Sylvi, sementara dibanding Anies-Sandi tidak signifikan. Faktor kedekatan dengan partai koalisi pengusung paslon, dibandingkan dengan Anies-Sandi berpengaruh signifikan, tapi tidak signifikan dibandingkan Agus-Sylvi.

Poin utamanya ialah debat memiliki efek elektoral yang memengaruhi peta pertarungan di DKI Jakarta. Efek debat ini punya efek signifikan bahkan setekah dikontrol oleh banyak variabel seperti faktor sosiologis (usia, gender, etnik, agama, pendidikan, pendapatan), faktor psikologis, faktor rasional, citra personal Ahok, dan isu Al-Maidah. Terlepas bahwa faktor emosional (isu Al-Maidah) masih berpengaruh signifikan, tapi saat ini Ahok tampak mulai keluar dari isu yang sangat kuat menekan dukungannya, yaitu sentimen primordial terutama agama.

Pada kelompok agama (Islam, non-Islam), berdasar model, Ahok-Djarot akan cenderung lebih rendah, baik dibanding Agus-Sylvi maupun dibanding Anies-Sandi, tapi tidak signifikan. Ini kemungkinan karena publik juga sudah semakin jenuh dengan isu yang melibatkan Ahok, pemilih yang ingin mengetahui lebih jauh tentang inti permasalahannya juga sudah tidak bertambah.

Vonis publik bahwa Ahok telah menistakan agama juga terus menurun, saat ini tidak mayoritas, terutama dari kelompok muslim. Tingkat kepercayaan publik dengan pengadilan atas proses persidangan Ahok dan hasilnya kelak juga menunjukkan sinyal yang sangat positif.

Hasil survei ini menunjukkan bahwa warga Jakarta rasional. Klaim Agus dan kubunya yang mengatakan bahwa debat kandidat tak penting terbukti tak punya dasar empiris. Survei menemukan bahwa 86% warga Jakarta menilai debat sangat atau cukup penting untuk memberikan pemahaman tentang program para calon.

Di sinilah letak keunggulan Ahok-Djarot. Pasangan petahana ini unggul, terutama pada kategori program kerja dan pemahaman atau penguasaan masalah yang diperdebatkan. Bahkan, pada aspek cara mengomunikasikan gagasan, Ahok-Djarot juga tak kalah dengan Anies-Sandi menurut publik.

Faktor kinerja juga menjadi keunggulan Ahok. Sebesar 75% warga Jakarta merasa puas atas performa Ahok sebagai gubernur.

Publik juga mengapresiasi kinerja pemerintah provinsi dalam menanggulangi masalah banjir, sampah, infrastruktur, meski dalam soal mengatasi kemacetan publik merasa belum puas.

Terlepas dari pulihnya rating Ahok, elektabilitas petahana belum kembali seperti sebelum kejadian Al-Maidah. Baru separuh dari yang puas terhadap kinerja Ahok yang bersedia memilih dirinya jika pemilu dilakukan ada saat survei dilakukan. Dengan kata lain, masih banyak warga yang puas terhadap kinerja Ahok, tapi tak menerjemahkan dalam bentuk dukungan elektoral. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa aspek rasionalitas tak seluruhnya bisa menjelaskan perilaku pemilih.

Terlepas dari itu semua, warga Jakarta punya modal rasionalitas pilihan yang jauh lebih baik ketimbang provinsi lain. Tingkat pendidikan dan pendapatan warga Jakarta beberapa kali lebih tinggi ketimbang wilayah lain. Inilah sumber rasionalitas pemilih yang membantu memulihkan tingkat dukungan kepada Ahok-Djarot.

Jika Agus-Sylvi dan Anies-Sandi ingin lebih kompetitif di hari pemilukada nanti, kedua pasangan harus mampu menawarkan program yang lebih baik serta pendekatan rasional yang lebih meyakinkan ketimbang petahana. Ke depan, persaingan antarkandidat akan semakin bergeser pada adu gagasan, dan debat publik akan menjadi arenanya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar