Rabu, 02 September 2015

Program Unggulan Jaringan Gas Masif

Program Unggulan Jaringan Gas Masif

Andang Bachtiar  ;  Anggota Dewan Energi Nasional
                                               KORAN TEMPO, 01 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun 2007 merupakan akhir era minyak tanah sebagai bahan bakar rakyat jelata. Hiruk-pikuk pun menyertai upaya konversi dari minyak tanah ke gas elpiji. Saat itu, pemerintah beranggapan penggunaan elpiji, selain agar lebih ramah lingkungan dan praktis, bertujuan mengurangi ketergantungan terhadap minyak.

Yang tidak disadari masyarakat, sesungguhnya elpiji atau liquified petroleum gas masih "berbau-bau" minyak juga karena ia adalah produk ikutan dari minyak bumi (petroleum gas), bukan gas alamiah (natural gas). Komposisinya terdiri atas metana (C1) sampai butana (C5). Cara memperolehnya juga bersamaan dengan eksploitasi dan produksi minyak bumi. Sedangkan komposisi gas alam atau natural gas adalah metana (C1) sampai paling berat etana (C2), dan umumnya keterdapatannya sebagai entitas terpisah dari kolom minyak bumi.

Jika kebijakan peralihan dari minyak tanah ke elpiji terjadi karena subsidi membengkak lantaran sejak 2004 Indonesia sudah menjadi importir minyak, toh pada kenyataanya sampai sekarang masih ada subsidi. Pada 2007-2011, berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tercatat penghematan subsidi dari digantikannya minyak tanah (kerosin) oleh elpiji mencapai Rp 45,3 triliun.

Saat ini, 60 persen bahan baku elpiji diperoleh melalui jalur impor. Pada 2015, jumlah total subsidi elpiji mencapai sekitar Rp 28 triliun, atau hampir separuh dari angka total subsidi BBM pada tahun yang sama sebesar Rp 64 triliun. Artinya, dari sisi subsidi, sebenarnya kita telah terjebak, dari mulut buaya subsidi minyak tanah hingga mulut dinosaurus subsidi elpiji.

Bahkan, dengan dalih beban subsidi itu pulalah pemerintah sudah mulai berencana melepas elpiji ke harga pasar. Pemerintah juga berniat menggantikan pemberian subsidi melalui mekanisme tunai langsung dengan pembiayaan kepada masyarakat tidak mampu, sehingga mereka dapat membeli bahan bakar yang merupakan andalan rakyat jelata tersebut (Detikfinance, Jumat 26/6/2015).

Kondisi tersebut menggambarkan betapa tidak logis dan tidak ekonomisnya kebijakan jangka panjang pemerintah soal keberlangsungan prioritas penggunaan energi dalam bentuk tabung berisi elpiji untuk rakyat. Sebab, kenyataannya, harga yang dipatok lebih mahal.

Konversi dari minyak tanah ke elpiji sesungguhnya telah meninggalkan persoalan yang tidak  selesai, selain "hanya" menjadi kejutan mental supaya paradigma rakyat bisa segera diubah. Sungguh sangat disayangkan. Padahal, ketika gebrakan konversi minyak tanah ke elpiji dilakukan, pada saat bersamaan, pemerintah seharusnya bisa pol-polan menggenjot program Jaringan Gas Kota (Jargas) melalui pembangunan jaringan infrastruktur gas alam yang dapat langsung disalurkan ke rumah-rumah rakyat dengan bahan baku gas alam, baik berupa gas alam cair (LNG) atau CNG. Sebab, dari segi jumlah cadangan, terbukti bahwa keberadaan gas alam di Indonesia jauh lebih berlimpah dan potensial dibanding minyak bumi. Sementara cadangan minyak bumi Indonesia 7 miliar barel, cadangan gas alam kita mencapai 103 triliun kaki kubik (TCF) atau setara dengan 18 miliar barel minyak bumi. Sebanyak 50 persen gas alam kita diekspor. Hal ini berbanding terbalik dengan minyak bumi. Kita justru mengimpor separuh dari kebutuhan minyak bumi kita dari luar negeri, termasuk untuk kebutuhan elpiji.

Jargas dengan LNG atau CNG inilah satu-satunya pilihan atau kompetitor yang bisa dijadikan program unggulan untuk menggantikan atau mengakhiri era elpiji. Jargas memang sudah ada dan sedang berjalan. Sayangnya, program ini tidak dirancang untuk dijalankan secara masif di seluruh Indonesia hingga ke pelosok Nusantara. Padahal, kita berharap jangan sampai ketergantungan terhadap elpiji berlangsung berlarut-larut.

Tentunya, bagi daerah-daerah yang terdapat di pulau-pulau yang tidak memiliki cadangan gas alam, elpiji masih harus menjadi sumber energi darurat. Solusi lainnya, harus dicarikan dan diterapkan kebijakan yang dapat mendorong pengembangan energi terbarukan. Di situlah bahan bakar nabati, termasuk energi surya, angin laut, dan energi baru terbarukan lainnya, dimanfaatkan.

Gas alamiah dalam tingkat produksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu elpiji dan CNG-keduanya didominasi metana. Keduanya dibedakan dari proses "packaging"-nya untuk memudahkan transportasi. Yang satu diubah fasanya dari gas menjadi cair (LNG), sedangkan yang lain hanya dikompres/ditekan (tidak berubah fasa) sehingga tetap dalam bentuk gas (CNG).

Untuk pemakaian langsung di rumah tangga dan/atau industri, tentunya LNG dan CNG harus menggunakan jaringan pipa gas. Apabila dibangun secara masal, hal ini akan lebih ekonomis sehingga gas alam dapat langsung disalurkan ke rumah-rumah rakyat. Sebab, akan terlalu mahal dan berbahaya, jika masing-masing rumah dikirimi tabung-tabung atau vessel-vessel LNG atau CNG untuk digunakan langsung. Dengan demikian, mudah-mudahan kasus meledaknya tabung gas tidak lagi kerap terdengar.

Format transportasi LNG dan CNG juga perlu dipikirkan secara serius, terutama karena kondisi geografis negara kita terdiri atas kepulauan, sedangkan lokasi sumber daya yang ada tidak berada dalam satu pulau dengan lokasi pengguna. Berbeda dengan kondisi geografis negara kontinental, seperti Amerika dan Eropa, serta negara-negara pengimpor gas. Urusan distribusi LNG dan/atau CNG hanya sampai terminal/lokasi penerima di pinggiran benua/pulau negara. Selebihnya digunakan pipeline.

Karena itu, saat ini Dewan Energi Nasional (DEN) akan menetapkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dari bahan-bahan yang diajukan oleh Pemerintah melalui Kementerian ESDM. Diharapkan, dalam RUEN tersebut, ditetapkan juga rencana umum yang lebih masif dan revolusioner dalam rangka mengalihkan minyak tanah dan elpiji sebagai bahan bakar rakyat jelata ke gas alam, baik LNG maupun CNG, yang disalurkan lewat Jargas.

Mudah-mudahan penjelasan logis teknis, bisnis, serta politis pengalihan itu juga bisa dibeberkan secara detail agar segera dibuat program unggulan Jargas Masif Seluruh Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar