Program Unggulan Jaringan Gas Masif
Andang Bachtiar ; Anggota Dewan Energi Nasional
|
KORAN
TEMPO, 01 September 2015
Tahun 2007 merupakan
akhir era minyak tanah sebagai bahan bakar rakyat jelata. Hiruk-pikuk pun
menyertai upaya konversi dari minyak tanah ke gas elpiji. Saat itu,
pemerintah beranggapan penggunaan elpiji, selain agar lebih ramah lingkungan
dan praktis, bertujuan mengurangi ketergantungan terhadap minyak.
Yang tidak disadari
masyarakat, sesungguhnya elpiji atau liquified petroleum gas masih
"berbau-bau" minyak juga karena ia adalah produk ikutan dari minyak
bumi (petroleum gas), bukan gas
alamiah (natural gas). Komposisinya
terdiri atas metana (C1) sampai butana (C5). Cara memperolehnya juga
bersamaan dengan eksploitasi dan produksi minyak bumi. Sedangkan komposisi
gas alam atau natural gas adalah metana (C1) sampai paling berat etana (C2),
dan umumnya keterdapatannya sebagai entitas terpisah dari kolom minyak bumi.
Jika kebijakan
peralihan dari minyak tanah ke elpiji terjadi karena subsidi membengkak
lantaran sejak 2004 Indonesia sudah menjadi importir minyak, toh pada
kenyataanya sampai sekarang masih ada subsidi. Pada 2007-2011, berdasarkan
data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tercatat penghematan
subsidi dari digantikannya minyak tanah (kerosin) oleh elpiji mencapai Rp
45,3 triliun.
Saat ini, 60 persen
bahan baku elpiji diperoleh melalui jalur impor. Pada 2015, jumlah total
subsidi elpiji mencapai sekitar Rp 28 triliun, atau hampir separuh dari angka
total subsidi BBM pada tahun yang sama sebesar Rp 64 triliun. Artinya, dari
sisi subsidi, sebenarnya kita telah terjebak, dari mulut buaya subsidi minyak
tanah hingga mulut dinosaurus subsidi elpiji.
Bahkan, dengan dalih
beban subsidi itu pulalah pemerintah sudah mulai berencana melepas elpiji ke
harga pasar. Pemerintah juga berniat menggantikan pemberian subsidi melalui
mekanisme tunai langsung dengan pembiayaan kepada masyarakat tidak mampu,
sehingga mereka dapat membeli bahan bakar yang merupakan andalan rakyat
jelata tersebut (Detikfinance, Jumat 26/6/2015).
Kondisi tersebut
menggambarkan betapa tidak logis dan tidak ekonomisnya kebijakan jangka
panjang pemerintah soal keberlangsungan prioritas penggunaan energi dalam
bentuk tabung berisi elpiji untuk rakyat. Sebab, kenyataannya, harga yang
dipatok lebih mahal.
Konversi dari minyak
tanah ke elpiji sesungguhnya telah meninggalkan persoalan yang tidak selesai, selain "hanya" menjadi
kejutan mental supaya paradigma rakyat bisa segera diubah. Sungguh sangat
disayangkan. Padahal, ketika gebrakan konversi minyak tanah ke elpiji
dilakukan, pada saat bersamaan, pemerintah seharusnya bisa pol-polan
menggenjot program Jaringan Gas Kota (Jargas) melalui pembangunan jaringan
infrastruktur gas alam yang dapat langsung disalurkan ke rumah-rumah rakyat
dengan bahan baku gas alam, baik berupa gas alam cair (LNG) atau CNG. Sebab,
dari segi jumlah cadangan, terbukti bahwa keberadaan gas alam di Indonesia
jauh lebih berlimpah dan potensial dibanding minyak bumi. Sementara cadangan
minyak bumi Indonesia 7 miliar barel, cadangan gas alam kita mencapai 103
triliun kaki kubik (TCF) atau setara dengan 18 miliar barel minyak bumi.
Sebanyak 50 persen gas alam kita diekspor. Hal ini berbanding terbalik dengan
minyak bumi. Kita justru mengimpor separuh dari kebutuhan minyak bumi kita
dari luar negeri, termasuk untuk kebutuhan elpiji.
Jargas dengan LNG atau
CNG inilah satu-satunya pilihan atau kompetitor yang bisa dijadikan program
unggulan untuk menggantikan atau mengakhiri era elpiji. Jargas memang sudah
ada dan sedang berjalan. Sayangnya, program ini tidak dirancang untuk
dijalankan secara masif di seluruh Indonesia hingga ke pelosok Nusantara.
Padahal, kita berharap jangan sampai ketergantungan terhadap elpiji
berlangsung berlarut-larut.
Tentunya, bagi
daerah-daerah yang terdapat di pulau-pulau yang tidak memiliki cadangan gas
alam, elpiji masih harus menjadi sumber energi darurat. Solusi lainnya, harus
dicarikan dan diterapkan kebijakan yang dapat mendorong pengembangan energi
terbarukan. Di situlah bahan bakar nabati, termasuk energi surya, angin laut,
dan energi baru terbarukan lainnya, dimanfaatkan.
Gas alamiah dalam
tingkat produksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu elpiji dan CNG-keduanya
didominasi metana. Keduanya dibedakan dari proses "packaging"-nya
untuk memudahkan transportasi. Yang satu diubah fasanya dari gas menjadi cair
(LNG), sedangkan yang lain hanya dikompres/ditekan (tidak berubah fasa)
sehingga tetap dalam bentuk gas (CNG).
Untuk pemakaian
langsung di rumah tangga dan/atau industri, tentunya LNG dan CNG harus
menggunakan jaringan pipa gas. Apabila dibangun secara masal, hal ini akan
lebih ekonomis sehingga gas alam dapat langsung disalurkan ke rumah-rumah
rakyat. Sebab, akan terlalu mahal dan berbahaya, jika masing-masing rumah
dikirimi tabung-tabung atau vessel-vessel LNG atau CNG untuk digunakan
langsung. Dengan demikian, mudah-mudahan kasus meledaknya tabung gas tidak
lagi kerap terdengar.
Format transportasi
LNG dan CNG juga perlu dipikirkan secara serius, terutama karena kondisi
geografis negara kita terdiri atas kepulauan, sedangkan lokasi sumber daya
yang ada tidak berada dalam satu pulau dengan lokasi pengguna. Berbeda dengan
kondisi geografis negara kontinental, seperti Amerika dan Eropa, serta
negara-negara pengimpor gas. Urusan distribusi LNG dan/atau CNG hanya sampai
terminal/lokasi penerima di pinggiran benua/pulau negara. Selebihnya
digunakan pipeline.
Karena itu, saat ini
Dewan Energi Nasional (DEN) akan menetapkan Rencana Umum Energi Nasional
(RUEN) dari bahan-bahan yang diajukan oleh Pemerintah melalui Kementerian
ESDM. Diharapkan, dalam RUEN tersebut, ditetapkan juga rencana umum yang
lebih masif dan revolusioner dalam rangka mengalihkan minyak tanah dan elpiji
sebagai bahan bakar rakyat jelata ke gas alam, baik LNG maupun CNG, yang
disalurkan lewat Jargas.
Mudah-mudahan
penjelasan logis teknis, bisnis, serta politis pengalihan itu juga bisa
dibeberkan secara detail agar segera dibuat program unggulan Jargas Masif
Seluruh Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar