Perguruan Tinggi Agen Perubahan Budaya
Hendra Gunawan ; Guru Besar FMIPA ITB
|
KOMPAS,
01 September 2015
Pada 1960-an,
perekonomian Ghana dan Korea Selatan sangat mirip. Produk domestik bruto
kedua negara ini hampir sama, juga porsi ekonomi di antara produk,
manufakturing, dan jasa primer.
Bantuan ekonomi yang
mereka terima (dari Bank Dunia dan lain-lain) juga setara. Tiga puluh tahun
kemudian, Korsel menjadi raksasa industri dengan ekonomi terbesar ke-14
dunia, sementara Ghana tetap seperti semula. Menurut Samuel P Huntington,
”budaya memainkan peran besar”.
Pada akhir 2005, MT
Zen menulis di Kompas tentang ”Menjadi Bangsa Berdaya”. Menurut MT Zen,
ciri-ciri bangsa yang maju adalah: (1) berpegang pada prinsip-prinsip etika
yang kuat; (2) berdisiplin tinggi; (3) bertanggung jawab; (4) menghormati
hukum; (5) menghargai hak warga lain; (6) senang bekerja; (7) bekerja keras
untuk menabung dan berinvestasi; (8) berkemauan untuk bertindak hebat; (9)
menghargai waktu; dan (10) memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek).
Sejak zaman Babilonia
dan Mesir Kuno, iptek memang telah mewarnai peradaban. Tidak ada bangsa yang
maju tanpa ditopang penguasaan iptek. Bahkan negara-negara maju tiga abad
terakhir adalah negara-negara penghasil iptek, yang memimpin dunia memasuki
era ekonomi berbasis iptek. Di sana pulalah perguruan tinggi (PT) besar
berdiri.
Peran perguruan tinggi
Filsuf Yunani
Aristoteles (384-322 SM) menyadari bahwa PT adalah tempat mengembangkan
iptek. Belakangan, filsuf dan politisi Romawi, Cicero (106-43 SM),
berpendapat bahwa PT merupakan tempat untuk ”membentuk” manusia.
Di Indonesia, selain
pengembangan iptek dan penyelenggaraan pendidikan, ada misi ketiga, yaitu
pengabdian kepada masyarakat, sehingga muncul istilah Tridarma PT. Sayangnya,
kinerja PT kita dalam pengembangan iptek belum signifikan, sementara
kiprahnya dalam pengabdian kepada masyarakat masih dipertanyakan. Setelah 70
tahun Indonesia merdeka, PT sebagai pusat ilmu pengetahuan dan
kebudayaan—sebagaimana dicita-citakan Prof Supomo dan Prof Sunarjo
Kalapaking—belum terwujud.
Terkait misi
pendidikan pun, kontribusi PT belum optimal. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indonesia sangat rendah. Laporan Program Pembangunan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UNDP), IPM Indonesia pada tahun 2014 tak beranjak dari tahun
sebelumnya, tetap di posisi ke-108 dari 187 negara yang dipantau, jauh di
bawah Singapura (9), Brunei (30), Malaysia (62), dan Thailand (89), tetapi
lebih baik daripada Filipina (117), Vietnam (121), Kamboja (136), Laos (139),
dan Myanmar (150).
Banyak survei yang
mengindikasikan kualitas lulusan dan iptek yang dihasilkan PT Indonesia
umumnya masih sangat rendah. Ini mengarah pada kesimpulan bahwa kualitas
program pendidikan dan penelitian yang diselenggarakan PT Indonesia masih
sangat rendah. Padahal, kita tentu sepakat bahwa PT mestinya menjadi agen
penting dalam pembangunan bangsa.
Menatap masa depan
Mengetahui posisi dan
keadaan kita di satu sisi, serta peluang dan potensi kita di sisi lain,
pertanyaannya sekarang adalah: kapankah kita dapat menikmati kesejahteraan
dan kehidupan bangsa yang cerdas (dan turut melaksanakan ketertiban dunia)
sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa? Di mana posisi PT, dan
bagaimana seharusnya PT berperan? Siapa yang harus mengawalnya?
Seperti halnya MT Zen,
saya membayangkan PT berperan sebagai agen perubahan budaya, dengan tugas
utama mengembangkan iptek dan membangun manusia Indonesia yang (1) produktif
dan kontributif, (2) memanfaatkan iptek (dalam menyelesaikan berbagai permasalahan),
(3) bekerja keras untuk mencapai hasil yang ”besar” (great), (4)
mengedepankan nalar dalam kehidupan sehari-hari, (5) tak pernah berhenti
belajar, (6) memiliki integritas, berdisiplin tinggi, menghargai waktu,
bertanggung jawab, menghormati hukum, dan menghargai hak warga lain, serta
(7) menjadi sosok panutan bagi masyarakat.
Menurut hemat saya,
itulah pekerjaan rumah yang belum selesai dan harus terus digarap perguruan
tinggi kita. Pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya mesti serius memerhatikan
PT yang ada. Siapa yang berkarya di sana? Mestinya tidak bisa sembarang orang
bekerja dan/atau mengurus PT.
Saran Jim Collins
dalam Good to Great mungkin dapat diterapkan juga pada perguruan tinggi kita:
start by getting the right people on the bus, the wrong people off the bus,
and the right people in the right seats. Meminjam kata Daoed Joesoef, jangan
mempermainkan perguruan tinggi kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar